Selasa, 22 Mei 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Salah satu tujuan reformasi adalah mewujudkan Indonesia baru yang lebih demokratis, dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Kedaulatan itu selama ini berada tangan lembaga tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Namun diawal reformasi, kedaulatan rakyat justru berada ditangan partai politik. Hegemoni partai melalui fraksinya di MPR / Dewan Pewakilan Rakyat (DPRD) / Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melukiskan betapa besar pengaruh partai politik dapat menentukan calon presiden / wakil calon presiden, pejabat publik lainnya,[1] termasuk juga kepala daerah.
Kedaulatan rakyat boleh dikatakan hanya sebatas memberikan suara pada waktu pemilu digelar, dengan mencoblos tanda gambar partai politik tertentu. Sesudah itu, peralihan hak politik itu beralih ke tangan partai politik dan selanjutnya akan menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR / DPRD berdasarkan sistem nomor urut.
Namun jauh sebelumnya, Indonesia belum mengenal sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Konstitusi lebih menitik-beratkan pada sistem keterwakilan. Dimana anggota legislatif yang terpilih pada pemilihan umum dan duduk di kursi MPR (DPR dan Utusan Golongan) memiliki hak memilih dan dipilih sebagai presiden dan wakil presiden.
Ini sesuai dengan dasar negara, yakni Pancasila yang termaktub didalam Preambule Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Perihal ini sesuai dengan keinginan para pendiri Negara Republik Indonesia. [2]
Setelah reformasi bergulir, sejak 1998, usaha untuk mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat dilakukan melalui amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dengan menambah beberap pasal sebagai berikut :
1.      Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa MPR terdiri dari atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.[3]
2.      Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.[4]
3.      Pasal 18 Ayat (3) menengaskan bahwa pemerintah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum[5]
4.      Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing – masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.[6]
5.      Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.[7]
6.      Pasal 22C UUD 1945 Ayat (1) menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum[8]
 Bicara soal pemilihan umum, Indonesia mengenal asas penyelenggaraan yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.  Ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (5) bahwa dalam penyelenggaraannya tidak lepas dari peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Menurut Rozali Abdulah, pemilu yang berkualitas dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi porses dan hasilnya. [9] Untuk mewujudkan itu, selaku penyelenggara, KPU jelas dituntut untuk mampu melaksanakan hajatan lima tahunan itu dengan baik dan wajib mentaati 12 asas penyelenggara pemilu.
Asas dimaksud antara lain mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas.
Meskipun demikian, di dalam UUD 1945, konstitusi lebih mengenal KPU selaku penyelenggara Pemilu. Namun pada prakteknya, pelaksanaan pemilu baik Pemilu DPR, DPD dan DPRD atau yang penulis sebut dengan istilah Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) maupun Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada), dikenal juga lembaga Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Meskipun tidak diatur secara tegas didalam konstitusi, keberadaan Panwaslu dilihat dari aspek kelembagaan mempunyai kedudukan yang sama didalam penyelenggaraan pemilu. Keduanya mitra dan saling bekerja sama dalam mewujudkan Pemilu yang berkualitas. Bedanya, hanya pada tugas dan kewenangan.[10]
KPU dapat diistilahkan selaku “even organizer” yang merencanakan, menyusun dan menyelenggarakan hajatan pesta demokrasi lima tahunan, baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilu Kada. Sementara Panwaslu lebih bertindak sebagai “wasit” yang mengawasi jalannya pertandingan agar proses “permainan politik” yang dilakukan para kandidat dan timnya tetap berada pada koridor hukum. Termasuk juga kegiatan yang dilakukan KPU.
 Uniknya lagi, sebelumnya, keberadaan kedua lembaga ini diatur oleh undang-undang yang berbeda namun dengan tugas dan fungsi yang sama. Bila yang selenggarakan adalah Pileg, maka berlakulah Undang – undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Kemudian, apabila hajatan yang diselenggarakan adalah Pilpres, maka kedua lembaga itu terikat pada Undang – undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Sementara, apabila yang digelar adalah Pemilu Kada, maka berlaku pula Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam perjalanannya telah dirubah sebanyak dua kali dan kini berlaku Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.
Mengerucut pada permasalahan Pemilu Kada, menurut penulis menjadi semakin menarik untuk dikupas apalagi berhubungan dengan keberadaan Pengawas Pemilu Kada sebagaimana yang diatur didalam Undang – undang Nomor  22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu Umum.
Secara hiraki, lembaga pengawasan pemilu untuk pusat di kenal dengan istilah Badan Pengawas Pemilu atau yang disingkat Banwaslu dan berkedudukan di Jakarta. Meskipun bersifat adhoc, akan tetapi Banwaslu mempunya masa kerja hingga lima tahun sama dengan KPU.
Sementara untuk di daerah, dikenal dengan istilah Panwaslu Provinsi dan Kabupaten / kota. Kaitannya dengan Pemilu Kada, istilah yang digunakan adalah Panwaslu Pemilu Kada Provinsi dan Panwaslu Kada Kabupaten / Kota. Keberadaan lembaga ini sifatnya sama dengan dipusat. Akan tetapi, ia akan dibentuk paling lama satu bulan menjelang tahapan Pemilu Kada  dimulai dan dua bulan sejak dilantiknya kepala daerah terpilih.

B.       Perumusan Masalah.
Merujuk pada landasan filosofis berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum bahwa  pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemikiran filosofis lainnya bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Perihal ini jelas ditegaskan dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Pada Ayat (5) pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Kemudian, berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum sebelumnya, diperlukan penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilihan umum.
Bahwa penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan 4 fungsi. Diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Maka diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa penyelenggaraan Pemilu Kada yang berkualitas tidak terlepas dari peran Panwaslu Kada dalam melakukan fungsi pengawasan. Maka dari itu, penulis mencoba menguraikan lebih spesifik pada lembaga ini kaitannya dengan kontroversi pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi akibat berlakunya Undang - undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dari perspektif sejarah hukum.
Adapun pokok masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya antara lain :
1.  Dasar Pemberlakuan undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilu
2. Konflik dalam pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi dan pengaturan penyelenggaraan  Pemilu Kada yang baik dimasa mendatang.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah berlakunya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Sebelum penulis mengurai sejarah berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, ada baiknya penulis uraikan terlebih dahulu mengapa pentingnya hukum itu dikodifikasi untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat modern.
 Mungkin untuk sebagian besar orang tentunya masih bertanya-tanya, apa itu hukum. Untuk apa hukum itu diatur. Sejauh mana mengikatnya hukum terhadap prilaku dan tindakan manusia dalam kehidupan beradab.  Kenapa orang yang dianggap bersalah dalam hukum mesti dijatuhi sanksi. Lantas siapa yang berhak membuat hukum itu sehingga mengikat.
Dan ini akan ada kaitanya dengan mengapa sampai terjadinya kontroversi pembentukan lembaga Pengawas Pemilu Kada di Provinsi Jambi guna mengawasi jalannya pemilihan Gubernur Jambi Periode 2010 – 2015 pada Juni 2010 lalu.
Jika hukum diartikan sebagai keseluruhan peraturan-peraturan dimana tiap-tiap orang yang bermasyarakat wajib mentaatinya. Sistem peraturan untuk menguasai tingkah laku manusia dalam masyarakat atau bangsa yang dibuat dalam bentuk udang-undang, ordonansi, atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan ditanda-tangani ke dalam undang-undang.[11]
Akan tetapi, pendefenisian hukum itu sendiri sepenuhnya mempunyai arti yang cukup luas. Seperti yang dikatakan Imanuel Kant pada 150 tahun yang lalu. Ia berkata “Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von rech.” Pernyataan itu bila diterjemahkan berbunyi, tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat defenisi tentang hukum.[12]
Kemudian, menurut Profesor. Dr. Satjipto Rahardjo, SH dalam bukunya Ilmu Hukum,[13] kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkordinasikan kepentingan – kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan – tubrukan itu bisa ditekan sekecil – kecilnya.
Namun dalam perjalannya, khususnya di Indonesia, telah terjadi perubahan sosial yang mendasar dan mencakup berbagai bidang kehidupan dengan pergeseran nilai beserta manifestasinya dalam sikap dan prilaku kemasyarakatannya, seperti yang juga terjadi pada bangsa-bangsa lain.
Proses tersebut belum mencapai tahap pengendapan, belum memunculkan keseimbangan baru yang mantap dan terintegrasi seperti yang dimaksud oleh teori fungsionalistik tentang masyarakat dan perubahan sosial. [14]
Penulis sepakat dengan pendapat diatas, bahwasanya hukum itu dibentuk untuk mengatur norma yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat sehingga tingkah dan prilaku tertata dan bertanggung jawab. Sejalan dengan itu, perkembangan hukum pun terjadi didalam kehidupan sosial masyarakat sehingga mendorong diperlukannya suatu aturan baru yang mampu mengakomodir tiap kepentingan yang ada didalam masyarakat.
Kaitannya dengan maksud penulis diatas, berlakunya undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, terutama kaitannya dengan pembentukan Panwaslu Kada, tentunya tidak terlepas dari sejarah hukum sebelumnya.
Seperti yang digambarkan Prof. Dr. Emeritus Jhon Glissen  dan Prof. Dr. Emeritus Frist Gole dalam bukunya Sejarah Hukum Suatu Pengantar sebagai berikut :
“Hal ini dapat dilihat dari kesimpulan – kesimpulan atau dalil – dalil yang diturunkan dari sejarah karenanya tidak dapat tiada adalah dalil – dalil atau hukum – hukum perekembangan masyarakat, sebagaimana itu ditegaskan oleh Meskiewicz.
Hal tersebut dibenarkan pula bahwa perlu diihktiarkan agar atas dasar dalil – dalil tersebut disusun prognosis – prognosis untuk masa depan. Namun untuk mencapai hal tersebut, terutam menyangkut dalil – dalil atau hukum- hukum perkembangan sejarah, kita harus bekerja dengan penuh kehati – hatian .
Selain itu, kita harus mewaspadai bahwa karena ada ketidakmungkinan prinsipil untuk melakukan suatu verifikasi yang serba lengkap, maka hukum – hukum perkembangan sejarah, bahkan lebih banyak lagi daripada ilmu – ilmu pengetahuan alam, hanya menghasilkan temuan – temuan sementara, yang tentunya perlu diuji kembali terhadap kenyataan yang ada.
Di dalam kaitannya dengan sejarah, maka kenyataannya ini mempunyai dua sisi yakni, pertama temuan – temuan baru hasil penelitian yang menyangkut  masa lampau dan kedua, pengamatan hal – ihkwal masa kini yang nyata.[15]  

Untuk lebih jelasnya maksud penulis, maka akan diuraikan sejarah perjalanan keberadaan
Pemilihan Umum di Indonesia berdasarkan tahun penyelenggaraannya, yang dikutip dari www.kpu.go.id dan www.id.wikipedia.org,  yang nantinya diyakini turut mempengaruhi keberlakuan hukum terkait keberadaan lembaga pengawas pemilu. Sejarah pemilu dimaksud dibagi dalam beberapa periode, sebagai berikut :
1.         Periode Pemilu 1955
Ini merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Diusianya yang ke 10 tahun, Republik Indonesia mengadakan pemilu untuk menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi.
Sebetulnya, sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah masa itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946.
Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu bukan tanpa sebab.
Tetapi, berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Meskipun masuk kategori sukses namun ditemukan sejumlah masalah. Terkait keterlambatan penyelenggaraan maupun penyimpangan. Sumber penyebabnya antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu lantaran belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara.
Selain itu ada kesan adanya sikap keenganan dari pemerintah untuk menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Disisi lain, Indonesia masih dalam kondisi terlibat peperangan.
Pemerintah punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung). Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Setelah Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Pemilu yang pertama kali boleh dikatakan berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Peserta Pemilu periode ini memiliki kesadaran tinggi berkompetisi secara sehat. Itu terlihat dari, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan partainya.
Karena itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Pemilu kali ini dilakukan untuk dua keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante, maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Pemilu untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514.
Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Akan tetapi, kaitannya dengan proses Pemilu Kada, era ini tidak mengenal pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bahkan proses pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.
Ini juga dapat dilihat dari keberlakuan Undang – undang Darurat Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1950 tentang Pembentukan Jabatan Gubernur Militer Ibukota. Pada pasal 1 Ayat (1) menyebutkan adanya Gubernur Militer untuk Gewes Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya dilangsungkan dengan sebutan "Gubernur Militer Ibu Kota".
Pada Ayat (2), menyebutkan Gubernur Militer termaksud dalam ayat (1) pasal ini merangkap jabatan Komandan Territorial di daerahnya. Pada Pasal 2, menyebutkan Staatsblad 1940 No. 78 pasal 1 sub c ditambah kata-kata : "Gubernur Militer Ibu Kota untuk Gewes Jakarta dan Daerah-daerah Sekitarnya".
Dan Pasal 3, menyebutkan Undang-undang darurat ini mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 sejak saat pemulihan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Undang – undang darurat ini pada Tahun 1955, juga mengalami perubahan dengan dikeluarkannya 7 TAHUN 1955 tentang Penetapan UU Darurat No. 33 TAHUN 1950 untuk mencabut kembali UU Darurat Republik Indonesia Serikat No.6 Tahun 1950 tentang Pembentukan Jabatan Gubernur Militer Ibu Kota Sebagai Undang – undang.

2.         Periode Demokrasi Terpimpin.
Kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak bisa dilanjutkan pada lima tahun berikutnya. Suksenya penyelenggaraan Pemilu 1955 hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958, Presiden Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Kemudian terjadi berubahan format politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959 membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967) setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963 MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya, sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Periode ini juga sama sekali tidak ada Pemilihan Umum, Pemilu Kada, apalagi lembaga Panwaslu. Akan tetapi, periode ini akan mengarah pada akan diselenggarakannya Pemilu dua tahun berikutnya karena pada tahun 1969 telah diberlakukannya Undang – undang Nomor 1969 tentang sususnan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1970 Tanggal 17 Januari 1970).

3.         Periode Orde Baru (Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997)
Ketika Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat presiden, Soeharto senantiasa menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno, hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden Soekarno.
UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal.
Tetapi pada prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta Pemilu itu.
Kondisi ini menjadi catatan sejarah dimana banyaknya terjadi kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu demi kepentingan penguasa, saat itu didominasi Golkar. Kecurangan terjadi karena tidak adanya lembaga pengawas.
Kemudian, pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Penyelenggaraa pada Pemilu 1977 kurang lebih sama dengan periode 1971. Bahkan kecurangan itu dilakukan secara masif dan keberadaan lembaga pengawas pun belum ada. Akan tetapi keinginan untuk menggelar Pemilu yang berkualitas akan dimulai pada periode 1982.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, hasil Pemilu 1997 menjadi sorotan banyak pihak yang pada akhirnya mereka melakukan aksi protes sehingga menimbulkan gerakan reformasi.
Gerakan yang mengingikan adanya perubahan guna penyempurnaan aturan dasar, terkait tatanan Negara, Kedaulatan rakyat, HAM, Pembagian kekuasaan, Kesejahteraan sosial, Eksistensi Negara demorasi dan Negara hukum dan hal-hal lain sesuai dengan perkembangan anspirasi dan kebutuhan bangsa saat itu.
Dari data yang dirilis dari web resmi Banwaslu, menyebutkan Proses pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu. Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982, Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971.
Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan ‘kualitas’ Pemilu 1982.
Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.
Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu).
Namun pada periode ini juga belum dikenal istilah pemilihan Kepala Daerah secara langsung sehingga penyelenggaraan Pemilu Kada yang membutuhkan peran Panwaslu otomatis tidak ada.
 4.         Periode Reformasi
Awalnya, pada periode ini, Pemilu Kada belum dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasalnya, proses pemilihan masih melalui wakil rakyat di DPRD provinsi, kabupaten dan kota.
Ini dapat dilihat dari Undang – undang Nomor 3 tahun 1999 Pasal 34 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa  DPRD, sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
Pada Ayat (2), DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubemur/Wakil Gubemur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota,  mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubemur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota kepada Presiden.
Namun dalam perkembangannya, pada periode juga ini keberadaan lembaga pengawas mulai dibahas. Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu).
Perubahan terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12/2003, yang isinya menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Khusus Panwaslu Kada, berikut penulis uraikan dasar – dasar mengapa penyelenggaraan Pemilu Kada dan Panwaslu diperlukan dalam melakukan tugas pengawasan penyelenggaraan hajatan demokrasi lima tahunan itu.
Pertama, adanya Amandemen UUD 1945 hingga empat kali dari tahun 1998 – 2002
a.       Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa MPR terdiri dari atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
b.      Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
c.       Pasal 18 Ayat (3) menengaskan bahwa pemerintah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
d.      Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing – masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
e.       Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.
f.       Pasal 22C UUD 1945 Ayat (1) menegaskan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum
Khusus kaitannya dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, meskipun tidak disebutkan dipilih secara langsung, namun mengingat pelaksanaan pemilu lainnya dipilih langsung oleh rakyat sebagai bentuk kedaulatan rakyat, maka penyelenggaraan pemiliha kepala dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Dan kaitannya dengan keseluruhan isi pada pasal 18 UUD 1945 yang menjelaskan adanya otonomi daerah, maka dibentuklah Undang – undang Nomor 32 Tahun  2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam aturan itu tegas diatur tentang Pemilihan Kepala Daerah dan adanya keberadaan Panwaslu Kada. Dilihat lembaga yang berwenang membentuk Panwaslu Kada di daerah awalnya adalah DPRD hal itu sesuai dengan Pasal 52 Ayat (1) huruf i yang menyebutkan bahwa DPRD memiliki tugas dan wewenang membentuk Panwaslu  Kada.
Sebagai catatan, keberadaan Panwaslu provinsi, kabupaten / kota juga diakui didalam Undang – undang Pemiihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD serta Undang – undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Namun untuk lebih meningkatkan peran KPU dan Panwaslu selaku penyelenggaran dan pengawas Pileg, Pilpres dan Pemilu Kada dan dalam perkembangannya, dibutuhkan suatu aturan yang khusus mengatur tentang penyelenggara pemilu.
Hal itu dapat dilihat dari landasan filosofis berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum bahwa  pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemikiran filosofis lainnya bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Perihal ini jelas ditegaskan dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Pada Ayat (5) pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Kemudian, berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum sebelumnya, diperlukan penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilihan umum.
Bahwa penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan 4 fungsi. Diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Maka diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara pemilihan umum, dan dalam hal ini erat kaitannya dengan pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi.

B.       Kontroversi pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi
Merujuk pada Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004, maka huruf i pada Pasal 52 Ayat (1) dihapus. Dengan demikian belum diketahui siapa yang berwenang membentuk Panwaslu Kada.
Namun dengan berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007, yang keberadaannya diharapkan dapat lebih tegas dalam pengaturan terkait penyelenggara pemilu, jelas menggambarkan bahwa Pemilu Kada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Untuk diketahui, khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, kegiatan yang sama diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh) dengan aturan yang berbeda.[16]
Atas dasar undang – undang diatas, menggambarkan bahwa kedua lembaga itu memiliki hubungan kemitraan yang sejajar. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, terutama terkait dengan pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi, justru terbalik.
Kenapa bisa demikian, karena dalam Pasal 93 Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 mengatur tegas bahwa calon anggota Panwaslu Provinsi diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Sementara, pihak Panwaslu Kada, yang notabene sebelumnya bertugas sebagai Panwaslu Pileg dan Pilpres dan belum berakhir masa tugasnya, sementara pelaksanaan Pemiulu Kada Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi Periode 2010 – 2015 mulai memasuki tahapan pelaksanaan di pertengahan tahun 2009 lalu, menimbulkan gejolak diantara kedua lembaga tersebut.
Banwaslu pusat, melihat dengan banyaknya agenda Pemilu Kada hampir di 245 daerah di Indonesia dalam waktu yang bersamaan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk melakukan fit and propertes daftar nama yang diusulkan KPU sebagai calon Panwaslu Kada mengambil inisiatif untuk menentapkan kembali anggota Panwaslu Pileg dan Pilpres menjadi Panwaslu Kada.[17]
Hal itu dapat dilihat dengan dikeluarkannya Keputusan Banwaslu Nomor 15 Tahun  2009 pada Pasal 39A Ayat (1) yang menyebutkan bahwa Banwaslu dapat menetapkan anggota Panwaslu Provinsi dan Kabupaten / kota pada Pileg dan Pilpres tahun 2009 yang masih memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai anggota Panwaslu Kada pada Pemilu Kada yang digelar pada tahun 2009 dan 2010.
Karena ini bukan saja menjadi persoalan di Provinsi Jambi semata, tapi juga persoalan nasional, maka lahir pula kesepakatan diantara kedua lembaga itu melalui surat edaran bersama yang menghasilkan kesepakatan bahwa apabila penyelenggaraan pemilu kada digelar pada tahun 2009 dan 2010, menjelang berakhirnya masa jabatan gubernur / bupati / walikota dan KPU belum merekrut dan mengusulkan calon anggota Panwaslu ke Banwaslum, maka Banwaslu berwenang menetapkan anggota Panwaslu Pileg – Pipres sebagai Panwaslu  Kada. Sisanya dikembalikan pada mekanisme yang ada.
Menurut pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Jambi, Zarkasi, SH, MH[18], penegasan penolakan KPU terhadap proses yang dilakukan oleh Bamwaslu atas penetapan calon anggota Panwaslu yang dinilai telah menabrak aturan tentang penyelenggara pemilu, sudah sesuai dengan role of law.  Harusnya proses tersebut tetap melalui KPU meskipun limit waktu mendesak dan jumlah Pemilu Kada banyak terjadi ditempat lain. Ada pertentangan norma disana terkait dengan perekrutan calon Panwaslu Kada Provinsi Jambi hingga kabupaten / kota.
Jadi, menurut penulis meskipun pengaturan tentang lembaga pengawas ini sudah diberlakukan namun dalam pelaksanaannya, kerap menimbulkan benturan hukum yang pada akhirnya hukum dikesampingan untuk kepentingan yang bersifat politis.
Menurut penulis ini sejalan dengan pandangan Moh. Mahfud MD, yang mengatakan secara teoritis hubungan antara hukum dan politik memang dapat dibedakan atas tiga macam hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum determinan atas politik karena setiap agenda politik tunduk pada aturan – aturan hukum.
Kedua, sebagai das sein, politik determinan atas hukum – hukum karena dalam faktanya, hukum adalah produk politik sehingga hukum apapun yang ada didepan kita tak lain merupakan kristalisasi dari kehendak – kehendak politik yang saling bersaing.
Ketiga, politik dan hukum  berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim. Sedangkan hukum tanpa tanpa pengawalan politik akan lumpuh.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Membicarakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak lengkap kalau tidak membahas Pengawas Pemilu, atau Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas Pemilu) atau dalam bahasa sehari-hari biasa cukup disebut Panwas. Menurut undang-undang pemilu, Panwas Pemilu sebetulnya adalah nama lembaga pengawas pemilu tingkat nasional atau pusat. Sedang di provinsi disebut Panwas Pemilu Provinsi, di kabupaten/kota disebut Panwas Pemilu Kabupaten/Kota, dan di kecamatan disebut Panwas Pemilu Kecamatan.
Pengawas Pemilu adalah lembaga adhoc yang dibentuk sebelum tahapan pertama pemilu (pendaftaran pemilih) dimulai dan dibubarkan setelah calon yang terpilih dalam pemilu dilantik. Lembaga pengawas pemilu adalah khas Indonesia, dimana Pengawas Pemilu dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu.
Proses pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu. Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatar-belakangi oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971.
Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan ‘kualitas’ Pemilu 1982.
Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.
Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu).
Berdasarkan Undang – undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dikenal dengan istilah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang.
Seblumnya, Perubahan terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12 tahun 2003, yang isinya menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Kemudian, terkait dengan Pemilu Kada, berlaku juga Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan Undang – undang Nomor 12 Tahun 2008.
Persoalan Pemilu Kada, khususnya pembentukan Panwaslu Kada masih bermasalah. Mulai dari pembentukan, hingga kewenangan melakukan pengawasan. Bahkan posisi Panwaslu Kada sangat lemah dalam menegakan hukum disetiap terjadinya pelanggaran.
Selain itu, pengawas kerap dibentuk setelah memasuki masa tahapan pemilu kada, sehingga banyak tahapan pemilu kada yang luput dari pantauan sehingga dapat mengurangi kualitas penyelenggaraan dan hasilnya.
Untuk itu, penulis menyarangkan agar kedepan ada aturan yang lebih tegas tentang peran dan fungsi Panwaslu Kada. Bila perlu, pengawas diberi kewenangan untuk melakukan eksekusi atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan kandidat kepala daerah maupun tim suksesnya.
Bahkan penulis juga menyarankan agar Panwaslu Kada tidak lagi dijadikan lembaga adhoc, mengingat pentinganya peran mereka dalam melakukan pengawasan sehingga menghasilkan Pemilu Kada yang berkualitas.


[1] Prof. Rozali Abdullah, SH, Pemilihan Umum : Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Hakim, dalam Jurnal  Konstitusi P3KP Fakultas Hukum Universitas Jambi, Mahkamah Konstitutsi, Jakarta, 2009, Hal 7 – 9.
[2] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, Hal 30 – 33.
[3] Amandemen keempat UUD 1945
[4] Amandemen ketiga UUD 1945
[5] Amandemen kedua UUD 1945
[6] Amandemen Kedua UUD 1945
[7] Amanademen kedua UUD 945
[8] Amanademen ketiga UUD 1945
[9] Prof. Rozali Abdullah, Op cit, Hal  12 – 16.
[10] Lihat Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
[11] Drs. M, Marwan, Sh dan Jimmy P, SH, Kamus Hukum  - Dictionary of Law Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal 258.
[12] Prof. (EM.) DR. H. Lily Rasjidi, SH, S.Sos, LL.M dan Ira Thania Rasjidi, SH, MH, CELCS(M), Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal 38.
[13] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, Hal 53 – 54,
[14] Prof. Dr. Benard Arief Sidartha, SH, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2009, Hal 25 – 29.
[15] Prof. Dr. Emeritus Jhon Glissen  dan Prof. Dr. Emeritus Frist Gole dalam bukunya Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2009, Hal 10.
[16] Id.wikipedia.org.
[17] SKM Media Jambi, Tarik Menarik Soal Rekruitmen Anggota Panwaslu Provinsi Jambi,  CV. Tujuh Sepakat Jambi, Jambi, 2009, Edisi 366.
[18] Ibid.

1 komentar:

Unordered List

Sample Text

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Facebook

Translate

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Recent

Popular Posts

Recent Posts

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Text Widget