Rabu, 23 Mei 2012

RepublikaKam, 10 Mei 2012
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Demo terbang pesawat Sukhoi Superjet 100 yang mengalami kecelakaan, Rabu (9/5) siang kemarin, di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat, dinilai melanggar UU No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Anggota Komisi V DPR RI Yudi Widiana Adia mengatakan sesuai dengan pasal 38 UU Penerbangan, semua pesawat yang akan melakukan uji terbang harus mendapatkan izin dan sertifikat kelaikudaraan dari pemerintah.
"Pernyataan Kemenhub yang menegaskan belum mengeluarkan sertifikat layak terbang standar Indonesia bagi pesawat Sukhoi Superjet 100 membuktikan ada pelanggaran dalam pelaksanaan UU Penerbangan yang dilakukan penyelenggara joy flight Shukoi Superjet 100 ini. Pemerintah dalam hal ini Kemenhub selaku pembina penerbangan juga lalai karena membiarkan hal ini terjadi," tutur Yudi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika, Kamis (10/9).
Politikus PKS itu mengatakan berdasarkan pasal 38 Sertifikat kelaikudaraan khusus diberikan untuk pesawat udara yang penggunaannya khusus secara terbatas (restricted), percobaan (experimental), dan kegiatan penerbangan yang bersifat khusus.
Hal ini dipertegas dalam penjelasan pasal 38 ayat c yang berbunyi penggunaan pesawat udara untuk kegiatan penerbangan yang bersifat khusus adalah izin terbang khusus yang diterbitkan untuk pengoperasian pesawat udara untuk keperluan perbaikan atau perawatan, pengiriman atau ekspor pesawat udara, uji terbang produksi (production flight test), evakuasi pesawat dari daerah berbahaya atau demonstrasi terbang.
Terkait dengan kelalaian ini, Yudi meminta pihak penyelenggara dan Kemenhub bertanggung jawab. "Musibah ini menunjukkan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Kemenhub. Seharusnya joy flight ini bisa dicegah jika memang tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU yang berlaku di Indonesia, untuk hal-hal yang tidak diinginkan bisa dihindari," beber Yudi.
Dalam kesempatan itu, Yudi juga melihat adanya kelalaian pihak otoritas bandar udara dan penyelenggaran demo terbang pesawat Shukoi seperti Manifes penumpang terbawa panitia yang ikut joy flight. Selain itu, penetapan rute penerbangan yang hanya dilakukan sepihak oleh PT Trimarga Rekatama selaku representatif dan penghubung produsen Shukoi dengan pembeli di Indonesia.
"Pihak keluarga korban mengeluhkan lambannya pengumuman kepastian penumpang Shukoi naas kemarin. Bahkan, sampai sehari setelah musibah pihak bandara masih terpaksa meralat jumlah penumpang.
Seharusnya hal ini tidak terjadi jika saja, pihak penyelenggara dan otoritas bandara mengantongi manifes penumpang. Tapi, fakta di lapangan, manisfes terbawa oleh panitia yang ikut dalam joy flight tersebut. Ini juga merupakan pelanggaran atas UU penerbangan," jelas Yudi.
Di sisi lain, Yudi juga meminta penjelasan pihak Bandara Halim Perdanakusuma yang mengizinkan penurunan ketinggian dari 10 ribu kaki menjadi 6 ribu kaki. Padahal saat itu pesawat berada di sekitar Gunung Salak dan dalam kondisi berkabut.
Karena tugas otoritas bandar udara sebagaimana diatur dalam pasal 228 mempunyai tugas dan tanggung jawab di antaranya memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan.
"Otoritas Bandar Udara memiliki tugas memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan. Tapi, saat komunikasi terakhir dengan menara, pilot Shukoi meminta izin menurunkan ketinggian penerbangan dan mengapa diizinkan? Padahal saat itu posisi pesawat berada di wilayah pegunungan," tandas Yudi.

Selasa, 22 Mei 2012



 Pendahuluan :
      1.Mengingat sidang permusyawaratan Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat sebagaimana diatur di dalam pasal 19 ayat ( 5 ) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka saya hakim anggota berbeda pendapat hukum dengan empat hakim lainnya akan menyampaikan pendapat hukum sebagaimana diuraikan, dibawah ini yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan putusan perkara.
    2.Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc : -Kesatu ; Melanggar pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b jis pasal 7 huruf b, - pasal 9 huruf a dan pasal 37 Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kedua; Melanggar pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h dan pasal 40 Undang-Undang Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3.         Terdakwanya adalah : Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman ( Mantan Dansat
Brimob Polda Irian Jaya /Papua di Jayapuara ).
4.         Fakta-fakta hukum seperti termuatdalam berita acara persidangan.
Permasalahan :
1.    Apakah benar terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh
bawahan Terdakwa berupa pembunuhan dan penganiayaan?
2.    Apakah kejahatan tersebut pada poin 1 Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan ?
1.    Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan :
Untuk dapat menjawab permasalahan di atas maka terlebih dahulu harus dipahami
pengertian dari kejahatan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc
sebagai berikut :
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan
kebijakan Penguasa atau Organisasi (Penjelasan pasal 9 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000) yang berupa tersebut pada huruf a sampai dengan huruf j pasal 9
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
2.    Unsur-unsur umum kejahatan terhadap kemanusiaan adalah :
a.      Salah satu perbuatan
Setiap tindakan yang disebut dalam pasal 9 merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengatur jika lebih dari satu tindak
pidana dilakukan misalnya pembunuhan dan perkosaan atau kombinasi dari
tindak pidana itu ( Keputusan kasus Akayesu, Case No. ICTR – 96 – 4 – T, Trial
Chamber, September 2, 1998, para.676 – 678 menyebutkan bahwa pelaku
didakwa karena melakukan pemerkosaan saja).
b.      Yang dilakukan sebagai bagian dari serangan.
Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang unsur-unsur
adalah sebagai berikut :
*        Serangan adalah tindakan baik secara sistematis atau meluas yang
dilakukan secara berganda yang dihasilkan atau merupakan bagian dari
kebijakan Penguasa atau Organisasi. Tindakan berganda berarti bukan
tindakan tunggal atau terisolasi.
*        Serangan baik secara meluas atau sistematis tidaklah semata-mata serangan militer seperti yang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional (pasal 49 para.1 Protokol Tambahan I Tahun 1977)
*        Syarat terpenuhi jika penduduk sipil adalah objek utama dari serangan.
c.       Meluas atau sistematis yang ditujukan secara Iangsung terhadap penduduk
sipil
3.    Syarat meluas atau sistematis :
Syarat meluasatau sistematis adalah syarat yang fundamental untuk membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan kejahatan internasional. Kata meluas menunjuk pada jumlah korban, massive (berulang – ulang), tindakan dengan skala yang besar dilaksanakan secara kolektif dan berakibat yang serius (Case No. ICTR – 96 – 4 – T, September 2, 1998, para 580). Istilah sistematis mencerminkan suatu pola atau metode tertentu yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap.
Kata – kata meluas atau sistematis tidak mensyaratkan bahwa setiap kejahatan yang
dilakukan harus selalu meluas atau sistematis. Dengan kata lain jika terjadi
pembunuhan, perkosaan dan penganiayaan, maka setiap kejahatan itu tidak perlu
harus meluas atau sistematis, kesatuan tindakan – tindakan di atas sudah memenuhi
unsur meluas atau sistematis.
Unsur meluas (widespread) atau sistematis (systematic) tidak harus dibuktikan keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan yang meluas semata atau sistematis saja, dan tidak harus dibuktikan keduanya.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maupun Statuta Roma 1998 tidak memberikan definisi mengenai arti meluas atau sistematis. Oleh karena itu, pengertian sistematis atau meluas tersebut perlu menggunakan yurisprudensi, antara lain dalam ICTY dan ICTR dan doktrin.
Berdasarkan yurisprudensi internasional, sebagaimana tampak dalam putusan
ICTR, dalam perkara Akayesu, yang mengartikan kata “meluas” sebagai
“tindakan massive, berulang-ulang, dan berskala besar, yang dilakukan secara
kolektif dengan dampak serius dan diarahkan terhadap sejumlah besar korban (multiplicity of victim)”. Sedangkan sistematis diartikan sebagai : diorganisasikan secara mendalam dan mengikuti pola tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumberdaya publik atau privat yang substansial, meskipun kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan Negara secara formal. Rencana tidak harus dinyatakan secara tegas atau terang-terangan.
Indikator untuk menentukan terpenuhinya unsur “sistematis” dapat dilihat dari perencanaan operasional dengan membedakan :
*   Mencapai tujuan legal dengan cara – cara legal
*   Mencapai tujuan legal tapi dengan menggunakan cara – cara ilegal
*   Mencapai tujuan ilegal
*   Unsur-unsur setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan
a.    Pembunuhan.
Dalam kasus Akayesu Pengadilan menyatakan bahwa pembunuhan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan adalah : (1) korban mati; (2) kematiannya sebagai akibat tindakan melawan hukum atau kelalaian (ommission) dari pelaku atau bawahannya; (3) ketika pembunuhan terjadi, pelaku atau bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa
tindakan menyakiti korban seperti itu dapat menyebabkan kematian.
Penganiayaan (persecution) Perlu dijelaskan mengenai istilah penganiayaan yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah penganiayaan dalam arti persecution sebagaimana dimaksud dalam Statuta Roma 1998. Bukan dalam konteks penganiayaan yang diatur dalam KUH Pidana pasal 351. Unsur-unsur
penganiayaanlpersecution adalah sebagai berikut :
(1)     pelaku dengan kejam ( severely) mencabut hak-hak fundamental satu orang atau lebih yang bertentangan dengan ketentuan Hukum Internasional;
(2)     pelaku menjadikan seorang atau beberapa orang sebagai target dengan alasan identitas suatu kelompok atau kolektif atau menargetkan tindakannya pada suatu kelompok atau kolektif;
(3)     penargetan semacam itu didasarkan pada politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 atau dasar-dasar lain yang diakui secara universal sebagai tindakan yang dilarang oleh Hukum Internasional;
(4)     tindakan itu dilakukannya dalam kaitannya dengan berbagai perbuatan yang dimaksud dalam pasal 7 ayat ( 1 ) Statuta Roma 1998.
Analisa Hukum
Setelah memahami pengertian umum dan khusus kejahatan terhadap kemanusiaan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc, fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan ( sesuai berita acara persidangan ) tibalah saya menjawab pertanyaan : Apakah peristiwa yang terjadi pada hari Kamis tanggal 7 Desember tahun 2000, kira-kita pukul 02.00 WIT atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada bulan Desember tahun 2000 bertempat di Markas Komando Brimob Polda Irian Jaya/Papua di Kotaraja, Markas Kepolisian Sektor Abepura adalah kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 9 huruf a dan huruf h Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan apakah Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan? Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas maka yang pertama-tama diperiksa adalah apakah terdapat kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahan Terdakwa yang berupa pembunuhan dan penganiayaan (persecution) sebagaimana tersebut dalam dakwaan kesatu dan kedua. Seperti telah diuraikan pada angka omawi I mengenai pengertian kejahatan yang didakwakan maka apakah perbuatan tersebut dibawah ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan?
1.      Adanya pasukan yang digerakkan dari Markas Komando Brimob Irian Jaya/Papua
di Kotaraja ke Markas Kepolisian Sektor Abepura pada tanggal 7 Desember 2000
dinihari dalam rangka melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap orangorang
yang diduga melakukan penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor
Abepura;
2.      Pasukan digerakkan dalam dua periode, periode pertama diperintahkan oleh
petugas piket yang kemudian dilaporkan kepada Terdakwa dan periode kedua
diperintahkan langsung oleh Terdakwa setelah dilakukan APP;
3.      Pasukan yang melakukan pengejaran dan penangkapan tersebut dilengkapi
dengan senjata jenis SS1 dengan amunisi peluru hampa, peluru karet dan peluru
tajam;
4.      Lokasi pengejaran dan penangkapan meliputi asrama Ninmin asrama IMI asrama
Yawa, pemukiman di jalan baru Kotaraja, pemukiman Abepantai dan pemukiman
Skyline yang penghuninya ditengarai dari suku Wamena;
5.      Penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh pasukan bawahan Terdakwa
tidak ditemukan adanya surat penangkapan dan penahanan;
6.      Dalam pengejaran dan penangkapan tersebut ditemukan korban meninggal satu
orang ( Elkius Suhuniap ) berdasar Visum et Repertum nomor 353/174 tertangal
13 Desember 2000 dan puluhan orang mengalami luka-Iuka pada bagian kepalaJ
muka, tangan, kaki dan badan berdasarkan kesaksian dQkter Markus L. SiganaJ
dokter Evi T oriki dan dokter Widi Budianto;
7.      Pasukan tersebut adalah bawahan Terdakwa secara de jure berdasarkan SK
Kapolri Nomor Polisi : Skep/1434/XI/2000 tanggal 8 November 2000 dan secara
de facto Terdakwa berada di tempat kejadian (Markas Kepolisian Sektor Abepura) saat pasukan bawahan Terdakwa melakukan pengejaran dan penangkapan;
8.      Tidak ditemukan adanya pelaporan pasukan bawahan Terdakwa kepada Terdakwa
tentang pelaksanaan tugas dalam rangka penangkapan dan pengejaran, jumlah
orang yang ditangkap, keadaan orang yang ditangkap dan berapa senjata yang
digunakan? jumlah amunisi khususnya peluru tajam yang digunakan dan berapa
jumlah amunisi peluru tajam setelah pelaksanaan penangkapan dan pengejaran;
9.      Tidak ditemukan adanya upaya oleh Terdakwa untuk melakukan pencegahan
pada saat terjadi pengejaran dan penangkapan yang mengakibatkan kematian dan
luka-Iuka para korban dan tidak ditemukan upaya-upaya yang dilakukan oleh
Terdakwa setelah kejadian untuk melakukan penindakan terhadap para pelaku
untuk diserahkan kepada yang berwenang untuk dilakukan peyelidikan,
penyidikan dan penuntutan;
Perbuatan nomor 1 sampai dengan nomor 6 dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan bawahan Terdakwa yaitu adanya
penyerangan sebuah pasukan dengan cara kekerasan terhadap penduduk sipil secara
meluas dengan bukti kombinasi korban terbunuh dan puluhan luka-Iuka di lokasi
yang tersebar di asrama Ninmin, asrama IMI, asrama Yawa, pemukiman di jalan baru Kotaraja, pemukiman Abepantai dan \ pemukiman Skyline yang merupakan satu kesatuan tindakan. Walaupun pasukan bawahan Terdakwa melakukan kegiatan pengejaran dan penangkapan atas perintah atasan sekaligus tugas kepolisian namun demikian tugas yang positif seperti ini sama sekali dilarang melanggar ketentuan – ketentuan perlindungan hak  asasi manusia baik secara nasional maupun secara internasional.
Perbuatan nomor 2, 5, 6 sampai dengan nomor 9 dapat dikualifikasikan sebagai pertanggungjawaban pidana secara individual Terdakwa sebagai atasan polisi yang harus bertanggungjawab terhadap pasukan bawahannya yang telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan (persecution). Terdakwa sebagai atasan gagal melakukan pengendalian secara efektif yang merupakan kewenangannya terhadap pasukan bawahannya, hal ini dibuktikan tidak adanya pelaporan pasukan bawahan, tidak adanya upaya pencegahan dan tidak adanya upaya penindakan setelah kejadian terhadap pelaku kejahatan.
Harus diakui bahwa dalam peristiwa pengejaran dan penangkapan tersebut timbul suatu akibat berupa :
1.      Korban meninggal dan puluhan orang luka-Iuka;
2.      Timbul kerugian bagi korban dan Keluarganya.
Sehubungan dengan masalah ini saya berpendapat bahwa telah diputuskan dalam
putusan sela yang memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mengajukan tuntutan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Terdakwa Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan penganiayaan (pesecution) sebagaimana didakwakan pada :
- Dakwaan Kesatu pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b jis pasal 7 huruf b dan pasal 9 huruf a; dan
- Dakwaan Kedua pasal 42 ayat ( 2 ) huruf a dan huruf b jis pasal 7 huruf b, pasal 9
huruf h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.

Makassar, 8 September 2005
Hakim Tersebut,

HM Kabul Supriyadhie

Unordered List

Sample Text

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Facebook

Translate

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Recent

Popular Posts

Recent Posts

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Text Widget