Selasa, 21 Juni 2016

"Kebanyakan masyarakat memandang CSR sebagai ‘donasi perusahaan’. CSR versi ‘donasi perusahaan’ justru dianggap tentang bagaimana perusahaan menciptakan keuntungan dan bukan tentang perusahaan berbagi sebagian keuntungan itu.

Pembahasan dan implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) telah lama diberlakukan di Indonesia. Bahkan, sejumlah peraturan perundang-undangan juga telah mengatur mengenai CSR dengan sebutan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Namun, apakah makna dan implementasi dari CSR pada sejumlah perusahaan telah tepat dan sesuai dengan konsep awalnya? Itulah yang mengemuka dalam diskusi serial #KajiKota yang diselenggarakan oleh Thamrin School of Climate Change and Sustainbility di Jakarta, Selasa (14/6).

Chairperson of Advisory Board–Social Investment Indonesia, Jalal, mengatakan bahwa masih banyak pemahaman yang keliru mengenai CSR. Sejatinya, CSR adalah tanggung jawab perusahaan atas dampak yang timbul dari keputusan dan aktivitasnya. Di mana, CSR punya tujuan untuk menyumbang pada pencapaian pembangunan berkelanjutan, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Sayangnya, pemahaman CSR bagi kebanyakan orang justru bukan pada poin tanggung jawab atas dampak yang timbul dari aktivitas perusahaan. “Regulasi pun sangat sedikit mengatur soal CSR, di UU PT (Perseroan Terbatas) hanya satu pasal,” kata Jalal.

Sebagaimana diketahui, Pasal 1 angka 3 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa TJSL adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseoran sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Hal tersebut dipertegas melalui PP Nomor 47 Tahun 2012tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Pasal 4 PP Nomor 47 Tahun 2012 mengatur bahwa TJSL mesti dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Minimnya rujukan implementasi CSR, kata Jalal, membuat pelaksanaan CSR oleh perusahaan-perusahaan justru melenceng jauh dari konsep dasar yang telah tumbuh sejak tahun 1953 tersebut.

Namun yang terjadi, lanjut Jalal, kebanyakan masyarakat memandang CSR sebagai ‘donasi perusahaan’. CSR versi ‘donasi perusahaan’ justru dianggap tentang bagaimana perusahaan menciptakan keuntungan dan bukan tentang perusahaan berbagi sebagian keuntungan itu. Satu kesalahan lagi, perusahaan menganggap ketika CSR versi ‘donasi perusahaan’ dicairkan, seolah-olah tanggung jawab atas dampak negatif atas aktivitas perusahaannya menjadi gugur.

Menurut Jalal, perusahaan yang melakukan donasi perusahaan adalah perbuatan yang sah sepanjang hal itu menjadi salah satu cara melakukan CSR namun tidak menghapus tanggung jawab yang lebih esensi. Akibatnya, pemahaman bahwa CSR versi ‘donasi perusahaan’ itu banyak menimbulkan penyelewengan dana CSR oleh oknum tertentu.

Jalal melihat upaya mereduksi CSR sekedar ‘donasi perusahaan’ membuat perusahaan ataupun perantara dan penerima dana CSR cenderung melakukan tindakan koruptif dan lari dari tanggung jawab atas dampak negatif yang ditimbulkan. “Banyak di antara perusahaan kemudian menempatkan banyak uang yang mereka gunakan untuk menyuap atau memberi gratifikasi ke dalam apa yang mereka namakan dana CSR,” katanya.

Ia mengatakan, perusahaan yang berusaha ‘membelokkan’ makna CSR untuk menutupi dampak negatif disebut sebagai CSR-Wasing. Selain bertentangan dengan tujuan utama CSR, pelaku CSR-Washing umumnya menginginkan citra sebagai perusahaan yang ramah secara ekonomi, sosial-lingkungan. Padahal, CSR menekankan pada kinerja yang benar-benar ramah.

Selain itu, melaksanakan tanggung jawab sosial dalam rangka CSR membutuhkan angggaran dan sumber daya. Dari segi anggaran, banyak pakar yang berpendapat bahwa setiap anggaran perusahaan dalam kegiatan operasional merupakan anggaran untuk melakukan CSR. Padahal, anggaran tersebut tidak bisa diberikan kepada pihak lain kecuali pihak lain tersebut sebagai mitra perusahaan untuk meminimalisir dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya.

“Penting dicatat, bahwa bisa sebagian anggaran diberikan kepada pihak lain, tanggungjawab atas dampak tetap melekat pada perusahaan, bukan pada pihak lain yang menjadi mitra atau kontraktor perusahaan,” paparnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, selain UU Nomor 40 Tahun 2007 terdapat undang-undang lain yang mengatur mengenai CSR. Sebut saja, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Hambatan
Beragam upaya mengembalikan makna CSR telah dilakukan oleh Pemerintah. Kini, Komisi VIII DPR RI tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Tak cuma DPR, ternyata DPD juga tengah membahas hal tersebut. Dari draft yang ia punya, Jalal masih belum melihat ada upaya mengembalikan makna CSR ke khittah-nya sebagai perbaikan berkelanjutan melainkan masih sebagai ‘donasi perusahaan’.

“Perkembangan ini sangat berpotensi mendatangkan dampak negatif bagi perkembangan CSR. Dahulu, niatan memasukkan persentase dana CSR pada UU Perseroan Terbatas ditentang habis-habisan, lalu persentase pun tak jadi masuk ke dalam teks pasal,” katanya.

Sebagaimana diketahui, mengutip data dari PIRAC, setidaknya ada 11 Provinsi, 34 Kabupaten, dan 15 Kotamadya yang memiliki Perda CSR. Yang cukup memprihatinkan, kebanyakan Perda menjadikan dana perusahaan sebagai sumber alternatif pendanaan pembangunan daerah.

Akibat hal itu, penentuan program hingga kegiatan CSR justru lebih mengarah pada pelimpahan tanggung jawab Pemerintah Daerah kepada perusahaan.  Tak cuma itu, sejumlah Perda bahkan ada yang menentukan seumber pendanaan, program yang boleh dilakukan perusahaan, hingga audit independen untuk melakukan penilaiannya.

Bahkan, beberapa Pemda malah mengambilalih wewenang perusahaan dimana forum CSR dapat menentukan lokasi dan pendistribusian donasi perusahaan. Di tataran ini, CSR justru menjadi agak birokratis dan menimbulkan biaya yang tidak sedikit melalui pembentukan forum CSR serta tim pendampingnya. Hal itu sangat berolak belakang dengan tujuan dimana setiap perusahaan seharusnya melakukan CSR yang sesuai dengan dampak bisnis intinya terhadap keberlanjutan.

“CSR bukanlah sekadar donasi perusahaan seperti yang selama ini dipahami.  Ini juga akan bisa memisahkan mana perusahaan yang serius ber-CSR untuk mencapai keberlanjutan dengan perusahaan yang ‘hobi’-nya hanya melakukan CSR-washing untuk pencitraan, menutupi dosa, dan membeli pengaruh politik tertentu,” tutupnya.
residen Jokowi saat memberikan keterangan pers, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/6) sore. Foto: Setkab RI
Semua Perda itu dinilai menghambat kapasitas nasional, menghambat kecepatan untuk memenangkan kompetisi, serta bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan persatuan.

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 Peraturan Daerah (Perda) bermasalah yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Pembatalan ini untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, yang toleran, dan yang memiliki daya saing,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam keterangan persnya, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/6).

Jokowi menegaskan, sebagai bangsa besar Indonesia harus menyiapkan diri sehingga mempunyai kapasitas nasional yang kuat, yang tangguh untuk menghadapi persaingan antar negara yang semakin ketat. Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia juga harus memperkuat diri dengan semangat toleransi dengan persatuan di tengah kebhinekaan.

“Dengan toleransi dan persatuan, kita akan semakin kokoh dalam menghadapi tantangan-tantangan bangsa ke depan,” tuturnya.

Menurut Jokowi, dalam menghadapi tantangan kebangsaan yang semakin berat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus menjadi satu kesatuan yang utuh, visi yang sama, arah tujuan yang sama serta saling berbagi tugas.

Terkat hal itu, dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah, terdapat 3.143 Perda dan Peraturan Kepala Daerah bermasalah yang menghambat kapasitas nasional, menghambat kecepatan untuk memenangkan kompetisi, serta bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan persatuan.

“Untuk itu, saya sampaikan bahwa Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya telah membatalkan 3.143 Peda yang bermasalah tersebut,” ujar Jokowi

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo, menambahkan 3.143 Perda bermasalah yang dibatalkan oleh pemerintah pusat adalah peraturan yang menghambat investasi. “Jadi kita ingin memotong jalur panjangnya birokrasi di daerah. Jadi, paket kebijakan pemerintah yang sudah diterapkan oleh Bapak Presiden harus mengikuti ini. Saya kira itu intinya,” kata Tjahjo.

Selain itu, lanjut Tjahjo, Perda yang dibatalkan adalah Perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi di daerah. Ia mencontohkan, orang yang ingin buat usaha di daerah seharusnya tidak perlu ada izin prinsip, tidak perlu harus ada izin usaha, tidak perlu harus ada IMB (Izin Mendirikan Bangunan), tidak perlu harus ada izin HO.

“Empat ini kan cukup satu saja izin usaha titik. Tidak harus semuanya diurus ini yang saya kira harus dipotong, termasuk retribusi-retribusi yang tidak perlu, termasuk izin-izin gangguan yang saya kira itu masih digunakan zaman Belanda. Saya kira itu yang menjadi prinsip,” terang Tjahjo seraya menyampaikan apresiasi bahwa daftar perda yang telah dibatalkan itu juga ada yang atas inisiatif gubernur sendiri.

Tak Terkait Kasus Serang
Tjahjo Kumolo membantah kalau Perda yang dibatalkan terkat dengan razia bulan puasa di Serang.“Oh Bukan, ini masih dalam konteks ekonomi yang menghambat investasi perizinan yang bertele-tele, yang terlalu panjang termasuk retribusi-retribusi yang dianggap masih bermasalah, saya kira baru pada tahap itu,” tegas Tjahjo.

Menurutnya, hampir semua daerah berinisiatif memotong Perda bermasalah. Misalnya di Lampung, ketentuan yang berkaitan dengan retribusi daerah, kemudian Maluku yang berkaitan dengan retribusi jasa umum, kemudian Maluku Utara yang berkaitan dengan bagaimana untuk meningkatkan penanaman modal di daerah itu lebih ditingkatkan.

Selanjutnya, di Jawa Timur ada Perda tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, seperti di Malang, Pasuruan, Mojokerto, Madiun yang berbeda-beda. “Saya kira perlu ada keseragaman yang ada. Ini kebanyakan di sini,” kata Tjahjo.

Kemudian, lanjut Tjahjo, ada juga yang berkaitan dengan retribusi penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil, ini di-drop karena apapun itu harus bagian dari pelayanan kepada masyarakat. “Kebanyakan yang tadi retribusi penggantian biaya cetak dokumen akte kependudukan, dan dokumen akte catatan sipil, ini yang paling banyak di sejumlah daerah-daerah di tingkat dua,” jelas Tjahjo.

Menurut Tjahjo, pihaknya sudah menginstruksikan bahwa pada prinsipnya masyarakat gratis mengurus KTP, akte kelahiran, akte kematian, dan kepemakaman. Ia menegaskan, ada yang membayar, tetapi disesuakan dengan kemampuan seperti masalah jual-beli, memberikan IMB.

“IMB itu bagi menegah ke bawah sama menengah ke atas dibedakan, bagi karyawan kecil misalnya dia beli rumah sederhana Rp10 juta aturan IMB itu memang harus membayar retribusi. Tapi kalau rumah atau rusunnya harganya Rp10 juta, tapi bayarnya retribusi sampai Rp2 juta kan tidak pas, itu makanya diberi kebijakan pemotongan diskon pembayaran IMB dipotong mencapai 95%. Soal bayar karena undang-undang, jadi dia bayar Rp1 pun sah,” terang Tjahjo.

Meski demikian, masih ada perda-perda lain yang menyangkut APBD, menyangkut RT/RW, menyangkut pajak daerah, menyangkut retribusi daerah, menyangkut RPJPM (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah) yang belum dibatalkan. Menurut Tjahjo, sebelum daerah melaksanakan aturan itu, daerah harus meminta izin Mendagri untuk dilakukan evaluasi. “Setelah dievaluasi oke, ya jalan,” pungkasnya.

Setidaknya terdapat 11 jenis data dan informasi yang bisa dimintakan, untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi PPATK.


PPATK Berwenang Meminta Data dan Informasi dari Organisasi Advokat
Kepala PPATK M Yusuf dalam acara buka bersama ILUNI FHUI, Senin (13/6). Foto: Istimewa
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berwenang menerima data dan informasi profesi advokat dari asosiasi atau organisasi advokat. Hal itu tertuang dalam PP No. 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi Oleh Instansi Pemerintah dan atau Lembaga Swasta dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kepala PPATK Muhammad Yusuf saat menyampaikan tausiyah di acara buka bersama yang dihadiri oleh sejumlah Alumni FHUI mengatakan, data dan informasi tersebut diperlukan untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi PPATK. Permintaan data dan informasi oleh PPATK berasal dari instansi pemerintah dan lembaga swasta.

Untuk organisasi advokat, lanjut Yusuf, merupakan bagian dari lembaga swasta. Hal tersebut ditegaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2). Sisanya yang lain adalah asosiasi notaris, asosiasi akuntan, kustodian sentral efek Indonesia dan kliring penjamin efek Indonesia.

Termasuk instansi pemerintah adalah kementerian, lembaga, dan badan lain yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun daerah atau pemerinth daerah. Instansi tersebut wajib memiliki fungsi dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Permintaan data dan informasi ini juga merupakan amanat dari Pasal 41 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. “Bahwa PPATK memiliki kewenangan untuk memperoleh akses terhadap data dan informasi dari instansi pemerintah dan atau lembaga swasta yang berwenang terhadap data, informasi dan pengelolaannya,” kata Yusuf di Jakarta, Senin (14/6).

Menurutnya, tujuan penerimaan data dan informasi tersebut agar PPATK memiliki kerangka aturan (legal framework) yang jelas dan sesuai prinsip-prinsip keamanan informasi. Selain itu, penyampaian data tersebut juga untuk memberikan perlindungan bagi instansi pemerintah atau lembaga swasta yang menyampaikan data dan informasi ke PPATK.

Setidaknya terdapat 11 jenis data dan informasi yang bisa dimintakan PPATK kepada instansi pemerintah atau lembaga swasta. Data dan informasi tersebut antara lain, daftar pencarian orang, laporan harta kekayaan penyelenggara negara, data dan informasi terkait profil pengguna jasa, data dan informasi yang berkaitan dengan kliring atau settlement di industri jasa keuangan.

Data dan informasi yang berkaitan dengan politically exposed persons, data dan informasi kependudukan, data dan informasi di bidang administrasi badan hukum, data dan informasi mengenai lalu lintas orang atau barang dari dan keluar wilayah Indonesia. Data dan informasi di bidang pertanahan, data dan informasi di bidang perpajakan serta data dan informasi lain yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

Untuk diketahui, PP ini menegaskan bahwa penyampaian data dan infomrasi oleh instansi pemerintah atau lembaga swasta tersebut dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan. Penyampaian data dan informasi ini bisa dilakukan secara elektronik maupun nonelektronik. Penyampaian dan penerimaan data dan informasi bisa dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang ditunjuk pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swasta.

PP ini memberikan hak imunitas kepada pimpinan, pejabat atau pegawai instansi pemerintahan atau lembaga swasta yang dimintakan data oleh PPATK. Pasal 9 ayat (2) PP No. 2 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swasta serta pejabat atau pegawai yang ditunjuk sebagaimana dimaksud, tidak dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata atas penyampaian data dan informasi, kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.

Meski begitu, permintaan data dan informasi oleh PPATK itu wajib dirahasiakan oleh pimpinan, pejabat atau pegawai instansi pemerintahan atau lembaga swasta. PPAT juga wajib merahasiakan data dan informasi tersebut kecuali untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Belum ada tanggapan
NAMA

EMAIL

JUDUL

TANGGAPAN



Seluruh judul dan isi tanggapan adalah tanggung jawab masing-masing penulis tanggapan. Redaksi hukumonline berhak untuk menayangkan atau tidak menayangkan tanggapan dengan mempertimbangkan kepatutan serta norma-norma yang berlaku.

Info Penting!! 5 Pedoman Pemberian THR Tahun 2016
Ilustrasi THR. Ilustrator: BAS
Lazimnya Pemerintah menerbitkan regulasi yang mengatur pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) oleh perusahaan kepada para pekerja. Untuk tahun ini, Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 6 Tahun 2016 tentang THR Bagi Pekerja di Perusahaan. Beleid ini merevisi Permenaker No. Per.04/Men/1994.

Khusus tahun 2016, ada kebijakan yang berbeda dari ketentuan terdahulu. Pekerja yang baru bekerja sebulan pun sudah berhak mendapatkan THR. Perhitungannya proporsional sesuai dengan masa kerja. Inilah salah satu yang menjadi poin penting dalam pedoman pemberian THR yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No.1/MEN/VI/2016 tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2016 (SE THR).

SE Menaker tertanggal 6 Juni 2016 itu menegaskan kembali ketentuan pembayaran THR sebagaimana amanat Permenaker No. 6 Tahun 2016. Setidaknya ada lima pedoman yang dimuat dalam SE THR. Pertama, itu tadi, setiap pekerja yang telah mempunyaimasa kerja satu bulan atau lebih secara terus menerus berhak mendapatkan THR. Pedoman pertama ini mendorong pertanyaan lebih lanjut tentang nasib pekerja harian lepas. (Baca artikel: Ketentuan THR Bagi Buruh Harian).

Kedua, besaran THR diberikan dengan perhitungan tertentu. Bagi yang sudah bekerja selama 12 bulan atau lebih secara terus menerus diberikan THR satu bulan upah. Bagi buruh yang baru bekerja satu bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 bulan maka besaran THR dihitung proporsional: lamanya masa kerja dibagi 12 bulan, lalu dikalikan 1 bulan upah.

Ketiga, perusahaan bisa memberikan THR lebih besar dari yang seharusnya. Bagi perusahaan yang telah menetapkan THR dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR yang disebutkan pada pedoman kedua, maka THR disesuikan dengan apa yang diperjanjikan tersebut

Keempat, THR keagamaan diberikan satu kali dalam satu tahun dan pembayarannya disesuaikan dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja.

Pedoman kelima adalah waktu pembayaran THR. Ditegaskan bahwa THR harus dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Jika lebaran Idul Fitri tahun 2016 jatuh pada 6 Juli, maka THR paling lambat dibayar pada akhir Juni 2016.

Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri mengirimkan SE THR itu kepada para kepala daerah: gubernur, bupati/walikota untuk dilaksanakan. Menteri juga mengamanatkan agar dibentuk Posko Satgas Ketenagakerjaan Peduli Lebaran Tahun 2016. Pembentukan posko pada dasarnya untuk menerima keluhan atau pengaduan pekerja dan pengusaha yang menghadapi masalah pembayaran THR. Misalnya, jika perusahaan tidak menjalankan pembayaran THR sebagaimana diatur dalam pedoman ini. (Baca artikel: Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar THR).

Respons
Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, mengatakan Permenaker No.6 Tahun 2016 dan SE Menaker No.1 Tahun 2016 mengatur THR secara berlebihan. Sebab pekerja/buruh yang masa kerjanya 1 bulan sebelum hari raya keagamaan jumlahnya tidak banyak.

Menurut Hariyadi, ketentuan yang mengatur pembayaran THR kepada pekerja dengan masa kerja 1 bulan itu muncul karena dikhawatirkan perusahaan melakukan PHK pada pekerja yang baru direkrut mendekati hari raya keagamaan. Lagi-lagi ia menilai hal itu berlebihan. “Semakin ketat peraturan yang diterbitkan maka penyerapan tenaga kerja semakin rendah karena perusahaan kesulitan mau merekrut pekerja baru,” katanya kepada hukumonline lewat telpon, Jumat (10/6).

Hariyadi lebih sepakat dengan Permenaker No. 04 Tahun 1994 yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan THR kepada buruh yang masa kerjanya minimal 3 bulan secara terus menerus. Pasalnya, dalam merekrut buruh baru ada masa percobaan (probation) selama 3 bulan. Jika lolos masa percobaan, buruh yang bersangkutan diangkat jadi buruh tetap.

Dalam membayar THR, Hariyadi menjelaskan anggota Apindo biasanya memberikan THR kepada buruh dua pekan sebelum hari raya. Besarannya mengikuti ketentuan yang diatur peraturan perundang-undangan.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai SE Menaker itu tidak mampu menjamin buruh mendapat THR sesuai ketentuan. Persoalan yang ada selama ini seputar THR terkait kepastian buruh mendapat THR sesuai peraturan. Walau Permenaker No.6 Tahun 2016 membenahi beberapa ketentuan soal THR tapi dirasa belum bisa memberi dampak signifikan terhadap buruh.

Beberapa ketentuan yang diubah dalam Permenaker No. 6 Tahun 2016 diantaranya buruh yang mendapat THR masa kerjanya minimal 1 bulan, dalam ketentuan sebelumnya 3 bulan. Kemudian, ada sanksi denda dan administratif yang dapat dijatuhkan kepada pemberi kerja yang tidak patuh membayar THR. “Penerapan sanksi belum jelas, padahal itu penting untuk mendorong adanya kepastian agar perusahaan membayar THR kepada buruh yang besarannya paling sedikit sesuai ketentuan,” tukas Timboel.

SE Menaker itu menurut Timboel sama seperti SE sebelumnya yang diterbitkan Menaker setiap tahun menjelang hari raya keagamaan. Intinya, tidak ada terobosan yang dihadirkan untuk memberi kepastian pembayaran THR oleh pengusaha kepada buruh. Mestinya, regulasi yang diterbitkan diarahkan untuk mengantisipasi tindakan perusahaan yang tidak patuh aturan THR seperti THR dibayar sebagian, tidak dibayar seluruhnya atau malah buruh diputus hubungan kerja (PHK).

Pembentukan Posko Satgas THR yang diamanatkan SE Menaker itu menurut Timboel tidak efektif. Sebab, buruh baru bisa mengetahui THR tidak dibayar oleh pengusaha saat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Pada hari keenam, buruh melapor ke Posko Satgas, kemudian petugas melakukan tindak lanjut di hari berikutnya. Itu tidak akan efektif karena beberapa hari menjelang hari raya keagamaan perusahaan sudah libur, begitu pula dengan instansi pemerintahan.

Timboel mengusulkan agar Kemenaker dan dinas ketenagakerjaan di daerah aktif memantau berbagai perusahaan yang sering dilaporkan karena masalah THR. Selama ini pengawasan yang dilakukan sifatya pasif, hanya menerima pengaduan yang masuk. Akibatnya, banyak persoalan pembayaran THR tidak bisa dituntaskan, penyelesaiannya berlarut sampai ke pengadilan hubungan industrial (PHI).

Unordered List

Sample Text

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Facebook

Translate

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Recent

Popular Posts

Recent Posts

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Text Widget