BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
konstitusional, Pasca amandemen ke 2 Undang-undang Dasar 1945 pada Sidang
Tahunan Majelis Permusyawaratan Indonesia Republik Indonesia (MPR RI) pada
tanggal 7 – 18 Agustus Tahun 2000, Indonesia kembali menegaskan adanya otonomi
daerah.
Sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap Provinsi, kabupaten, kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur oleh Undang-undang.
Pada
Ayat (2)-nya, Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Ayat (3), Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
Mengutip
pernyataan Joni Najwan, SH, MH, Phd, Direktur Program Magister Hukum
Pascasarjana Universitas Jambi yang
menyebutkan bahwa tujuan perubahan konstitusi guna menyempurnakan aturan
dasar negara mengenai tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian
kekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum
serta hal-hal lain sesuai dengan perkembangan anspirasi dan kebutuhan bangsa.
Terkait
dengan adanya pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum
serta seiring berkembangnya aspirasi dibutuhkan suatu norma yang mengatur lebih
tegas atas perintah konstitusi tersebut. Dan sesuai dengan Pasal 18 Ayat (7)
menyatakan bahwa susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur
dalam Undang-undang.
Hal
itu juga sempat menjadi perhatian Prof. DR. Solly Lubis, SH yang disampaikannya
pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Denpasar Bali 14-18 Juli 2003
yang selenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Dia
mengatakan bahwa wacana tentang desentralisasi dan kebijakan otonomi daerah
terus mengggelinding. Saking ramainya perdebatan tentang imselementasi dan
implikasi otonomi, banyak orang melupakan hakekat otonomi itu sendiri.[1]
Padahal, sejak lahirnya NKRI sejak 1945 lalu, Otonomi daerah sebetulnya sudah
dikenal.
“Semenjak lahirnya Negara Kesatuan R.I.
tahun 1945 Otonomi Daerah telah menjiwai ketatanegaraan Indonesia (ps. 18 UUD
1945). Bukti realitasnya beberapa UU tentang Pemerintahan Daerah berotonomi
telah diterbitkan, menyusul dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik
yang terjadi di wilayah dan daerah-daerah di Indonesia dalam kurun waktu 5
(lima) dekade, yang terdiri dari:
- UU
No. 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah,
- UU No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok
tentang Pemerintahan Daerah,
- UU No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah,
- UU No. 18 Tahun 1965, tantang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPRS No. XXI Tahun 1966, tentang
pemberian otonomi seluas-luasnya Kepada Daerah, (tetapi tidak pernah ditindak
lanjuti oleh rejim Orde Baru),
- UU No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPR No. XV Tahun 1998,
- UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan
Daerah,
- UU No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.[2]
Mengutip
pernyataan Jhon Glissen dan Frits Gorle, oleh karena hukum adalah suatu produk
hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan maka didalam
proses penciptaan dan perkembangannya, ditentukan oleh sejumlah aspek
hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan tersebut. Dan ada beberapa faktor
yang menentukan terjadinya perkembangan hukum yakni faktor – faktor politik,
faktor – faktor ekonomi, faktor agama dan ideologi serta faktor kultur.[3]
Menurut
penulis, dari salah satu faktor tersebut ikut mempengaruhi terjadinya perubahan
atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang pada akhirnya mendorong terciptanya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Lantas
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Pemda) apakah sudah memenuhi norma yang diinginkan konstitusi. Ternyata
masih ada norma hukum yang belum diatur didalamnya.
Diantaranya
dalam hal pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan
kepala daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus.
Pekerjaan
rumah lainnya yakni, belum diaturnya juga pengisian kekosongan jabatan wakil
kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya
didalam.
Begitu
juga terkait penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
telah terjadi perubahan, terutama setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi
tentang calon perseorangan.
Disamping
itu dalam rangka efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah, perlu adanya pengaturan untuk mengintegrasikan
jadwal penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Bahwa
untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokratis yang memperhatikan prinsip
persamaan dan keadilan, penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah
memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi
persyaratan.
Dan
dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Pasal 18 ayat (4), Pasal 20, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat
(3), dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
Dan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548).
Bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan agar mampu melahirkan kepemimpinan
daerah yang efektif dengan memperhatikan prinsip demokrasi, persamaan, keadilan,
dan kepastian hukum dalam sistem Negara, maka dari itu, Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004, maka perlu dilakukan perubahan.
B. Permasalahan
Berlakunya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan
Undang-undang Nonor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah awalnya diharapkan
mampu menjawab pemenuhan hukum bagi terselenggaranya otonomi daerah, khususnya
terkait dengan sistem demokrasi pemilihan kepala daerah dari calon
perseorangan.
Disisi
lain, juga belum menjawab tentang bagaimana tatacara pengisian kekosongan
jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah serta pengisian
kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
Oleh
karenanya, perlu ada suatu rumusan di dalam undang-undang yang tegas mengatur
tentang status calon perseorangan dan tata cara pengisian kekosongan jabatan
wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah serta pengisian kekosongan
jabatan wakil kepala daerah.
Berikut
rumusan masalah dalam makalah ini.
1.
Bagaimana kedudukan calon kepala daerah
dari perseorangan sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.
2.
Bagaimana sistem pengisian kekosongan
jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah dan pengisian
kekosongan jabatan wakil kepala daerah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Calon Perseorangan Kepala Daerah.
Mengutip
pernyataan Jhon Glissen dan Frits Gorle, oleh karena hukum adalah suatu produk
hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan kemasyarakatan maka didalam
proses penciptaan dan perkembangannya, ditentukan oleh sejumlah aspek
hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan tersebut.
Hubungan
– hubungan dan perimbangan-perimbangan tersebut erat kaitannya dengan faktor –
faktor politik, faktor – faktor ekonomi, faktor agama dan ideologi dan faktor
kultur.
Namun
menurut hemat penulis, khusus terkait pemberlakuan Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah selain faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi terjadinya
perubahan atas undang-undang ada hal lain yang juga menjadi perhatian.
Hal
ini mengingat pandangan Prof. (EM). DR. H. Lili Rasjidi, SH, S.Sos, LL,M dam
Ira Thania Rasjidi, SH, MH CELCS (M) dalam bukunya Pengantar Filsafat Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2010, yang menyebutkan unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor
penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimiliknya sesuai dengan kehendak
masyarakat.
Karena
disamping itu, keharusan adanya hukum sebagai alat pembatas, juga bagi pemegang
kekuasaan ini diperlukan syarat-syarat lainnya seperti memiliki watak yang
jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat. Kesadaran hukum yang
tinggi dari masyarakat juga merupakan pembatas yang ampuh bagi pemegang
kekuasaan.
Antara
hukum dan kekuasaan terdapat hubungan yang erat. Adanya hubungan ini dapat
diperlihatkan dengan dua cara yakni menelaahnya dari konsep sanksi dan
menalaahnya dari konsep penegakan konstitusi.[4]
Undang-undang
dasar sudah tegas mengatur bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing
sebagai kepala pemerintahan di Provinsi, Kabupaten dan kota yang dipilih secara
demokratis.
Dan
mengingat pentingnya posisi Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai kepala
daerah, maka undang-undang dasar memandatkan untuk segera dibuat susunan dan
tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah lewat produk undang-undang,
termasuk juga proses pemilihan, pelantikan dan pemberhentian sebagai kepala
daerah.
Norma
inilah yang tidak terpenuhi secara menyeluruh didalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004. Sehingga perlu ada pengaturan baru terkait hal tersebut. Ini dapat
dilihat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merubah sejumlah pasal
dalam undang-undang sebelumnya, khusus kaitannya dengan calon perseorangan.
Di
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 59 tidak mengenal adanya calon
perseorangan, sementara konstitusi mengenal asas demokrasi yang artinya semua
orang yang dianggap cakap secara hukum mempunyai hak yang sama untuk memilih
dan dipilih sebagai kepala daerah. Hal itu tergambar dalam Pasal 18 ayat (4),
Pasal 20, Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Semangat
itu sebetulnya juga sudah tergambar sebelumnya dalam risalah rapat pleno ke 12
Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR pada tanggal 26 Februari 2003 berkaitan
dengan TAP MPR Nomor No.XIV/MPR/1998 junto Tap MPR No.III/MPR/1988 dikoreksi
Tap MPR No.III/MPR/1988 tentang
pemilihan umum.
“TAP MPR Nomor No.XIV/MPR/1998 junto Tap
MPR No.III/MPR/1988 dikoreksi Tap MPR No.III/MPR/1988 tentang pemilihan umum, dicabut karena tidak
sesuai lagi dengan ketentun pemilihan umum yang berlaku sekarang dan ini
penting supaya tidak membingungkan masyarakat.”[5]
Setidaknya,
ini bisa juga dijadikan dasar pemikiran kenapa diberlakukannya Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, kaitannya dengan calon perseorangan.
Dengan
adanya pemberlakuan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008, dapat dilihat dari pasal
per pasal terkait syarat dan tata cara pencalonan kepala daerah dari
perseorangan.
1. Syarat
Pencalonan.
Bila
melihat dari pada isi dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah daerah, calon kepala daerah sebagaimana Pasal 56 ayat (1) dan (2)
tegas menyatakan bahwa hanya berasal dari partai politik atau gabungan partai
politik. Calon kepala dan wakil kepala daerah dari perseorangan jelas tidak
dikenal dalam undang-undang tersebut.
Disinilah
yang menjadi persoalan. Disatu sisi, negara menjamin bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 D Ayat (1) Undang-undang Dasar
1945.
Dan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan sesuai Pasal 28 I Ayat (5).
Disisi lain, juga pada Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
Kepala Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Dengan demikian, maka diubahlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
guna mengakomodir masuknya calon kepala daerah dari perseorangan. Maka
terbitlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
undang-undang tersebut.
Merujuk
ada Pasal 59 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 mengatur menyatakan
peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, selain dari pasangan
calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik, juga pasangan
calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.
Ayat
(2a)-nya, pasangan calon perseorangan harus memenuhi syarat dukungan sebagai
calon gubernur dan wakil gubernur 6,5
persen bagi provinsi yang memiliki penduduk sampai dengan 2 juta jiwa, 5 persen
jika penduduknya 2 juta – 6 juta, 4 persen jika provinsi dengan jumlah penduduk
lebih dari 6 juta – 12 juta jiwa. Jika lebih dari 12 juta maka dukungannya
hanya 3 persen.
Pada
ayat (2b), pasangan calon perseorangan harus memenuhi syarat sebagai calon
bupati / wakil bupati atau walikota/wakil walikota yakni harus didukung 6,5
persen dari 250 ribu jumlah penduduk kabupaten / kota. Sementara jika kabupaten
/ kota dengan jumlah penduduk 250 ribu – 500 ribu jiwa maka sekurang-kurangnya
didukung 5 persen, 500 ribu – 1 juta jiwa maka harus didukung minimal 4 persen
dan jika jumlah pendudukan kabupaten / kota diatas 1 juta jiwa, dukungan
minimal 3 persen.
Ayat
(2c), jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2a) tersebar di
lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud. Sedangkan pada
ayat (2d), Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2b)
tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota dimaksud.
Ayat
(2e), dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dibuat dalam
bentuk surat dukungan yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
surat keterangan tanda penduduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.
Syarat
Mendaftar Sebagai Calon Kepala Daerah Dari Perseorangan
Calon perseorangan pada
saat mendaftar sesuai Pasal 59 ayat (5b) wajib menyerahkan :
a)
Surat pencalonan yang ditandatangani
oleh pasangan calon perseorangan,
b)
Berkas dukungan dalam bentuk pernyataan,
dukungan yang dilampiri dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau surat
keterangan tanda penduduk,
c)
Surat pernyataan tidak akan mengundurkan
diri sebagai pasangan calon,
d)
Surat pernyataan kesanggupan mengundurkan
diri dari jabatan apabila terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e)
Surat pernyataan mengundurkan diri dari
jabatan negeri bagi calon yang berasal dari pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
f)
Surat pernyataan nonaktif dari
jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat yang bersangkutan menjadi calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah di daerah wilayah kerjanya,
g)
Surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi
anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah
h)
Kelengkapan
persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58,
i)
Visi, misi, dan program dari pasangan
calon secara tertulis.
3. Verifikasi Calon Perseorangan.
Pada Pasal 59A (1), verifikasi dan
rekapitulasi dukungan calon perseorangan untuk pemilihan gubernur/wakil
gubernur dilakukan oleh KPU provinsi yang dibantu oleh KPU kabupaten/kota, PPK,
dan PPS.
Ayat (2), verifikasi dan rekapitulasi
dukungan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dilakukan oleh KPU kabupaten/kota yang dibantu oleh PPK
dan PPS.
Ayat (3), bakal pasangan calon
perseorangan untuk pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota
menyerahkan daftar dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat
21 (dua puluh satu) hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.
Ayat (4), bakal pasangan calon
perseorangan untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur menyerahkan daftar
dukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 28 (dua puluh
delapan) hari sebelum waktu pendaftaran pasangan calon dimulai.
Pada Ayat (5), verifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari
sejak dokumen dukungan bakal pasangan calon perseorangan diserahkan. Dan Ayat (6), hasil verifikasi dukungan calon
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita acara,
yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasil verifikasi disampaikan
kepada bakal pasangan calon.
Ayat (7), PPK melakukan verifikasi dan
rekapitulasi jumlah dukungan bakal pasangan calon untuk menghindari adanya
seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu bakal pasangan calon
dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan paling lama 7
(tujuh) hari.
(8), Hasil verifikasi dan rekapitulasi
dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam
berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU kabupaten/kota dan salinan
hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada bakal pasangan calon.
(9), Dalam pemilihan bupati/wakil bupati
dan walikota/wakil walikota, salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dipergunakan oleh bakal pasangan calon dari
perseorangan sebagai bukti pemenuhan persyaratan dukungan pencalonan.
(10), KPU kabupaten/kota melakukan
verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukungan bakal pasangan calon untuk
menghindari adanya seseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satu
bakal pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukungan yang dilaksanakan
paling lama 7 (tujuh) hari.
(11), Hasil verifikasi dan rekapitulasi
dukungan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dituangkan
dalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPU provinsi dan salinan
hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada bakal pasangan calon untuk
dipergunakan sebagai bukti pemenuhan persyaratan jumlah dukungan untuk pencalonan
pemilihan gubernur/wakil gubernur.
Pada
Pasal 59 Ayat (5b) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) huruf b hanya
diberikan kepada satu pasangan calon perseorangan.
4. Penetapan Pasangan Calon
Perseorangan
Pasal
60 ayat (3A) Apabila belum
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 59 ayat (5a)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i,
calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki
surat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon paling lama 7 (tujuh) hari
sejak saat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPU provinsi dan/atau
KPU kabupaten/kota.
Pada
Ayat (3b) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (5a) huruf a, calon perseorangan diberi kesempatan untuk melengkapi
dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon paling
lama 14 (empat belas) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian
persyaratan oleh KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota.
Pada
Ayat (3c) Apabila calon perseorangan ditolak oleh KPU provinsi dan/atau KPU
kabupaten/kota karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 atau Pasal 59 ayat (5a), pasangan calon tidak dapat mencalonkan kembali
Dalam
proses penetapan pasangan calon perseorangan, KPU provinsi dan/atau KPU kabupaten/kota
memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
5. Sanksi
Sesuai Pasal 62 ayat, pasangan calon
perseorangan atau salah seorang di antaranya dilarang mengundurkan diri
terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi dan/atau
KPU kabupaten/kota.
Apabila pasangan calon perseorangan atau
salah seorang di antaranya yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1a), dikenai sanksi tidak dapat mencalonkan diri atau dicalonkan oleh
partai politik/gabungan partai politik sebagai calon kepala daerah/wakil kepala
daerah untuk selamanya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Apabila pasangan calon perseorangan atau
salah seorang di antaranya mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1a) setelah ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon sehingga tinggal 1
(satu) pasang calon, pasangan calon tersebut dikenai sanksi sebagaimana diatur
pada ayat (1b) dan denda sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Apabila pasangan calon perseorangan atau
salah seorang di antaranya mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1a), pasangan calon perseorangan dimaksud dinyatakan gugur dan tidak dapat
diganti pasangan calon perseorangan lain.
6. Calon Pengganti
Pada Pasal 63 Ayat (6), dalam hal salah
seorang atau pasangan calon perseorangan
berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai dengan hari pemungutan
suara sehingga jumlah pasangan calon kurang dari 2 (dua) pasangan, tahapan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lama
60 hari.
Ayat (7)-nya, KPU provinsi dan/atau KPU
kabupaten/kota membuka kembali pendaftaran pengajuan pasangan calon
perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 30 (tiga puluh)
hari.
Pasal 108 Ayat (5a) Dalam hal pasangan
calon terpilih dari calon perseorangan berhalangan tetap, pasangan calon yang
meraih suara terbanyak kedua dan ketiga diusulkan KPU provinsi dan/atau KPU
kabupaten/kota kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala
daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari
B. Sistem Pengisian Kekosongan Jabatan
Wakil Kepala Daerah Yang Menggantikan Kepala Daerah dan Pengisian Kekosongan Jabatan
Wakil Kepala Daerah
Terkait
pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala
daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus.
Kemudian
juga pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia,
berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara
terus-menerus dalam masa jabatannya didalam, hanya mengalami sedikit perubahan
pada pasal 26 yakni menambah 4 ayat didalamnya (ayat (4), ayat (5), ayat (6),
dan ayat (7).
Isinya,
Ayat (4), Untuk mengisi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari partai politik atau gabungan partai
politik dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih,
kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan
usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya
terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih
oleh Rapat Paripurna DPRD.
Pada
Ayat (5) Untuk mengisi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari calon perseorangan dan masa jabatannya
masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2
(dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Kemudian
Ayat (6)-nya, dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang
berasal dari partai politik atau gabungan partai politik karena meninggal
dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama
6 (enam) bulan secara terusmenerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya
masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2
(dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Terakhir, Ayat (7)
menyebutkan dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang
berasal dari calon perseorangan karena meninggal dunia, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan
secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18
(delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon
wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Calon perseorangan.
Untuk membangun sistem
demokrasi yang sehat, maka Partai Politik adalah tempat yang tepat untuk
menyalurkan aspirasi politik dari warga negara secara demokratis. Namun adanya putusan
Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan bahwa calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya boleh
berasal dari Partai Politik bertentangan dengan konstitusi.
Dengan demikian membuka
peluang bagi calon kepala daerah dari perseorangan untuk turut serta dalam
ajang pemilihan kepala daerah dengan memenuhi syarat-syarat tertentu yang
diatur oleh undang-undang dan ini merupakan hak konstitusional sebagai warga
negara Indonesia.
Pengisian jabatan
eksekutif dari pemerintahan daerah (propinsi/kota/kabupaten) di Indonesia
diatur melalui Pasal 18 ayat (4) Perubahan II UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi “Gubernur,
Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Akan tetapi, ini
menggambarkan sedari awal, para perumus Naskah Perubahan II ini tidak menyadari
konsekuensi dari kalimat “dipilih secara demokratis”. Frasa tersebut
menunjukkan bahwa khusus pengisian jabatan eksekutif di tingkat daerah dapat
dilakukan melalui jalur partai maupun melalui jalur non partai. Tak salah jika kemudian Mahkamah Konstitusi
memperluas tafsir “dipilih secara demokratis” tersebut dengan mencakup calon
dari kelompok non partai.
Namun didalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hal tersebut
tidak diatur secara tegas. Bahkan boleh dikatakan, tidak dikenal adanya calon
dari perseorangan. Sehingga dalam tata cara dan syarat calon kepala daerah dari
perseorangan pun tidak diatur didalam undang-undang tersebut. Dan dalam hal ini
dipastikan Komisi Pemilihan Umum menolak calon perseorangan sebagai calon
kepala daerah karena tidak ada landasan hukum yang mengatur itu.
Dengan melihat kerangka
sejarah dan susunan hukum ketatanegaraan di Indonesia, jelas Undang-undang
tersebut harus menjalani revisi. Mak dari itu lahirnya Undang-undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Didalam undang-undang
tersebut diatur tegas tentang syarat calon kepala daerah / wakil kepala daerah
dari perseorangan, syarat mendaftar, verifikasi calon, penetapan hingga sanksi
bagi calon perseorangan yang mengundurkan diri sebagai calon dan calon
pengganti.
B.
Pengisian
Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah Yang Menggantikan Kepala Daerah dan
Pengisian Kekosongan Jabatan Wakil Kepala Daerah
Pengisian
kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang
meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dan pengisian kekosongan jabatan
wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya
didalam, hanya mengalami sedikit perubahan pada pasal 26 yakni menambah 4 ayat
didalamnya (ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).
Isinya,
Ayat (4), Untuk mengisi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari partai politik atau gabungan partai
politik dan masa jabatannya masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih,
kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan
usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya
terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih
oleh Rapat Paripurna DPRD.
Pada
Ayat (5) Untuk mengisi kekosongan jabatan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari calon perseorangan dan masa jabatannya
masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2
(dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Kemudian
Ayat (6)-nya, dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang
berasal dari partai politik atau gabungan partai politik karena meninggal
dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama
6 (enam) bulan secara terusmenerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya
masih tersisa 18 (delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2
(dua) orang calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
Terakhir, Ayat (7)
menyebutkan dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang
berasal dari calon perseorangan karena meninggal dunia, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan
secara terus-menerus dalam masa jabatannya dan masa jabatannya masih tersisa 18
(delapan belas) bulan atau lebih, kepala daerah mengajukan 2 (dua) orang calon
wakil kepala daerah untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD.
[1] Prof. DR. Solly
Lubis, SH, Masalah-masalah Hukum Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Seminar diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusi RI, Denpasar, 2003.
[2] Ibid.
[3] Prof. DR. Emeritus Jhon Glissen
dan Prof. DR. Emeritus First Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Rafika
Aditama, Jakarta, 2009, Hal 91 - 131.
[4] Prof. (EM). DR. H. Lili Rasjidi,
SH, S.Sos, LL,M dam Ira Thania Rasjidi, SH, MH CELCS (M), Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal 76 – 79.
[5] MPR RI, Risalah Rapat Pleno ke 12 Panitia Ad Hoc II, Badan Pekerja MPR RI,
Jakarta, 26 Februari 2003
makasih untuk refrensinya yah kak
BalasHapuscold milling