Merosotnya kualitas lingkungan yang dibarengi dengan semakin menipisnya
persediaan sumber daya alam serta timbulnya berbagai permasalahan lingkungan
telah menyadarkan manusia betapa pentingnya dukungan lingkungan dan peran
sumber daya alam terhadap kehidupan di alam semesta. Lingkungan tidak dapat
mendukung jumlah kehidupan yang tanpa batas. Apabila bumi ini sudah tidak mampu
lagi menyangga ledakan jumlah manusia beserta aktivitasnya, maka manusia akan
mengalami berbagai kesulitan. Pertumbuhan jumlah penduduk bumi mutlak harus
dikendalikan dan aktivitas manusianya pun harus memperhatikan kelestarian
lingkungan.[1]
Pelestarian lingkungan hidup mempunyai arti bahwa lingkungan hidup harus
dipertahankan sebagaimana keadaannya. Sedangkan lingkungan hidup itu justru
dimanfaatkan dalam kerangka pembangunan. Hal ini berarti bahwa lingkungan hidup
mengalami proses perubahan. Dalam proses perubahan ini perlu dijaga agar
lingkungan hidup itu tetap mampu menunjang kehidupan yang normal.
Jika
kondisi alam dan lingkungan sekarang dibandingkan dengan kondisi beberapa puluh
tahun yang lalu, maka segera terasa perbedaan yang sangat jauh. Pembangunan
telah membawa kemajuan yang besar bagi kesejahteraan rakyat, di balik itu telah
terjadi pula perubahan lingkungan. Sebagai negara yang sedang berkembang,
Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang.
Pembangunan di sini merupakan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan taraf
hidupnya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya[2], di mana peningkatan
manfaat itu dapat dicapai dengan menggunakan lebih banyak sumberdaya.
Hakikat
pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan
seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan mencakup: (1)
kemajuan lahiriah seperti sandang, pangan, perumahan dan lain-lain.; (2)
kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat dan
lain-lain; serta (3) kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana
tercermin dalam perbaikan hidup berkeadilan sosial.[3]
Pembangunan yang membawa perubahan pesat ini,
tentu saja menimbulkan perubahan pada lingkungan. Perubahan pada lingkungan
telah melahirkan dampak negatif. Sebagai contoh, pembangunan di sektor
perumahan. Dengan menjamurnya perumahan-perumahan yang berdiri di atas
lahan-lahan pertanian yang masih produktif membuahkan sempitnya areal-areal
pertanian, sehingga petani tergerak untuk membuka atau menggarap lahan marginal
seperti tanah di tepi sungai, di bukit dan di gunung, serta pembukaan lahan
baru di kawasan hutan lindung yang dapat berakibat terjadinya erosi tanah
sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan.[4]
Pembangunan fisik yang tidak didukung oleh
usaha kelestarian lingkungan akan mempercepat proses kerusakan alam.[5] Kerusakan alam tersebut,
sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan dan perilaku manusia itu sendiri yang
tidak berwawasan lingkungan. Untuk itu perlu diupayakan suatu bentuk
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Pembangunan
berwawasan lingkungan merupakan upaya sadar dan berencana menggunakan dan
mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan
untuk meningkatkan mutu hidup.[6] Sedangkan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development) didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri.[7]
Lahirnya konsep
pembangunan yang berwawasan lingkungan didorong oleh lahirnya kesadaran
terhadap masalah-masalah lingkungan dan lahirnya hukum lingkungan sebagai
konsep yang mandiri, terdorong oleh kehendak untuk menjaga, membina dan
meningkatkan kemampuan lingkungan dan sumber daya alam agar dapat mendukung
terlanjutkannya pembangunan.
Lingkungan hidup
seharusnya dikelola dengan baik agar dapat memberikan kehidupan dan
kesejahteraan bagi manusia. Adapun tujuan pengelolaan
lingkungan hidup adalah sebagai berikut:[8]
1.
Tercapainya keselarasan
hubungan antara manusia dan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia
seutuhnya.
2.
Terkendalinya pemanfaatan
sumber daya secara bijaksana.
3.
Terwujudnya manusia sebagai
pembina lingkungan hidup.
4. Terlaksananya pembangunan berwawasan
lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang.
5. Terlindunginya Negara terhadap dampak
kegiatan luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Unsur penting bagi
tercapainya pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah terwujudnya manusia
sebagai pembina lingkungan hidup di mana pun berada. Manusia dengan
lingkungannya senantiasa terjadi interaksi yang aktif dan kontinu. Dia
mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, sehingga bisa
dikatakan membentuk dan terbentuk oleh lingkungan hidupnya. Ketergantungan
manusia terhadap alam tidak hanya dikaitkan dengan kebutuhan pangan dan mineral
saja, tapi saling tergantung dan berinteraksi dalam bidang materi dan
non-materi. Namun demikian, manusia dimanapun juga selalu memperoleh predikat
yang demikian pahit yaitu selalu dianggap sebagai agen perusak (Agent of
Destruction).[9]
Setiap orang
mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sebaliknya setiap
orang juga mempunyai kewajiban untuk memelihara lingkungan hidup, termasuk
mencegah dan menanggulangi perusakan lingkungan hidup. Hak dan kewajiban ini
dapat terlaksana dengan baik kalau subjek pendukung hak dan kewajiban berperan
serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Hal tersebut berarti pula
bahwa hak dan kewajiban itu dapat terlaksana dengan baik kalau subjek pendukung
hak dan kewajiban itu mempunyai hak akses terhadap data dan informasi mengenai
keadaan dan kondisi lingkungan hidup.[10] Subjek hukum yang berada
di pemerintahan mempunyai peran yang sangat strategis yaitu mengeluarkan
kebijakan dan mengawasinya. Subjek hukum yang bergerak di sektor dunia usaha
berperan langsung untuk mencemari atau tidak mencemari lingkungan hidup. Subjek
hukum yang bergerak di sektor pendidikan
mempunyai peran penting untuk jangka panjang karena akan membentuk manusia yang
seutuhnya agar mempunyai wawasan dan kepedulian terhadap lingkungan hidup.
Untuk itu diperlukan suatu bentuk pengaturan dan hukum yang tegas.
Hukum lingkungan
dalam pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan berfungsi untuk
mencegah terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan agar lingkungan
dan sumberdaya alam tidak terganggu kesinambungan dan daya dukungnya. Di
samping itu hukum lingkungan berfungsi sebagai sarana penindakan hukum bagi
perbuatan-perbuatan yang merusak atau mencemari lingkungan hidup dan sumber
daya alam.[11]
Selain itu, eksistensi hukum harus dipandang dari dua dimensi. Di satu pihak
hukum harus dilihat sebagai suatu bidang atau lapangan yang memerlukan
pembangunan dan pembinaan, di sini hukum berfungsi sebagai objek pembangunan.
Di pihak lain, dimensi hukum sebagai sarana penunjang terlanjutkannya pembangunan.
Hukum harus mampu berperan sebagai sarana pengaman pelaksanaan pembangunan
beserta hasil-hasilnya. Tegasnya, hukum lingkungan harus mampu berperan sebagai
sarana pengaman bagi terlanjutkannya pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Pembangunan berwawasan lingkungan sudah sepatutnya dipikirkan lebih lanjut
oleh bangsa ini. Salah satu kunci pembangunan berwawasan lingkungan adalah yang
sering kita dengar meski belum jauh kita pahami, yaitu AMDAL (Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan). AMDAL mengajak manusia untuk memperhitungkan resiko dari
aktifitasnya terhadap lingkungan. Penyusunan AMDAL didasarkan pada pemahaman
bagaimana alam ini tersusun, berhubungan dan berfungsi. Hal yang perlu
diperhatikan juga adalah interaksi antara kekuatan- kekuatan sosial, teknologi
dan ekonomis dengan lingkungan dan sumber daya alam. Pemahaman ini memungkinkan
adanya prediksi tentang konsekuensi tentang pembangunan. Konsep
AMDAL pertama kali tercetus di Amerika Serikat pada tahun 1969 dengan istilah Environmental
Impact Assesment (EIA), akibat dari bermunculannya gerakan-gerakan dari
aktivis lingkungan yang anti pembangunan dan anti teknologi tinggi.[12] AMDAL adalah hasil studi
mengenai dampak suatu kegiatan yang sedang direncanakan terhadap lingkungan
hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. AMDAL mempunyai
maksud sebagai alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan
lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh suatu aktivitas pembangunan yang
sedang direncanakan. Di Indonesia, AMDAL tertera dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan pelaksanaannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999. Dengan demikian AMDAL
merupakan sarana teknis yang dipergunakan untuk memperkirakan dampak negatif
dan positif yang akan ditimbulkan oleh suatu kegiatan yang direncanakan
terhadap lingkungan hidup. Dengan dilaksanakannya AMDAL, maka pengambilan
keputusan terhadap rencana suatu kegiatan telah didasarkan kepada pertimbangan
aspek ekologis. Dari uraian di atas, maka permasalahan yang kita hadapi adalah
bagaimana malaksanakan pembangunan yang tidak merusak lingkungan dan
sumber-sumber daya alam, sehingga pembangunan dapat meningkatkan kemampuan
lingkungan dalam mendukung
terlanjutkannya pembangunan. Dengan dukungan kemampuan lingkungan yang terjaga
dan terbina keserasian dan keseimbangannya, pelaksanaan pembangunan, dan
hasil-hasil pembangunan dapat dilaksanakan dan dinikmati secara
berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Berangkat dari
pemaparan mengenai pembangunan dan Amdal di atas, maka dilema permasalahan
penegakan hukum lingkungan terhadap pelaksanaan pembangunan sudah menjadi
konsekuensi yang patut untuk diangkatkan dalam suatu karya tulis ilmiah
berbentuk tesis dengan judul “PERANAN AMDAL DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DI INDONESIA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penegakan hukum lingkungan hidup di
Indonesia melalui konsep AMDAL?
2. Bagaimana peranan AMDAL dalam mewujudkan
pembangunan berwawasan lingkungan?
3. Kendala-kendala apa saja yang menghambat
pelaksanaan AMDAL di Indonesia?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan yang hendak
dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia
melalui konsep AMDAL.
2. Peranan AMDAL dalam mewujudkan pembangunan
berwawasan lingkungan.
3. Kendala-kendala apa saja yang menghambat
pelaksanaan AMDAL di Indonesia..
D. Manfaat Penelitian
Penelitian
tentang Peranan AMDAL dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan
diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat secara teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan
informasi dan menambah pengetahuan secara akademis serta dapat menjadi
literatur di bidang hukum lingkungan.
2. Manfaat secara praktis
Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran
hingga terbentuk suatu naskah untuk merumuskan prinsip-prinsip AMDAL dalam
mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1.
Kerangka
Teoritis
a.
Pembangunan
dan Lingkungan Hidup
Peningkatan usaha
pembangunan sejalan dengan peningkatan penggunaan sumber daya untuk menyokong
pembangunan dan timbulnya permasalahan-permasalahan dalam lingkungan hidup
manusia. Pembangunan ini merupakan proses dinamis yang terjadi pada salah satu
bagian dalam ekosistem yang akan mempengaruhi seluruh bagian. Kita tahu bahwa
pada era pembangunan dewasa ini, sumber daya bumi harus dikembangkan semaksimal
mungkin secara bijaksana dengan cara-cara yang baik dan seefisien mungkin.[13]
Dalam pembangunan,
sumber alam merupakan komponen yang penting karena sumber alam ini memberikan
kebutuhan asasi bagi kehidupan. Dalam penggunaan sumber alam tadi hendaknya
keseimbangan ekosistem tetap terpelihara. Acapkali meningkatnya kebutuhan
proyek pembangunan, keseimbangan ini bisa terganggu, yang kadang-kadang bisa
membahayakan kehidupan umat.
Kerugian-kerugian
dan perubahan-perubahan terhadap lingkungan perlu diperhitungkan, dengan
keuntungan yang diperkirakan akan diperoleh dari suatu proyek pembangunan.
Itulah sebabnya dalam setiap usaha pembangunan, ongkos-ongkos sosial untuk
menjaga kelestarian lingkungan perlu diperhitungkan. Sedapat mungkin tidak
memberatkan kepentingan umum masyarakat sebagai konsumen hasil pembangunan
tersebut.
Beberapa hal yang
dapat dipertimbangkan dalam mengambil keputusan-keputusan demikian, antara lain
adalah kualitas dan kuantitas sumber daya alam yang diketahui dan diperlukan;
akibat-akibat dari pengambilan sumber kekayaan alam termasuk kekayaan hayati
dan habisnya deposito kekayaan alam tersebut. Bagaimana cara pengelolaannya,
apakah secara tradisional atau memakai teknologi modern, termasuk pembiayaannya
dan pengaruh proyek pada lingkungan, terhadap memburuknya lingkungan serta
kemungkinan menghentikan pengrusakan lingkungan dan menghitung biaya-biaya
serta alternatif lainnya.
Hal-hal tersebut
di atas hanya merupakan sebagian dari daftar persoalan, atau pertanyaan yang
harus dipertimbangkan bertalian dengan setiap proyek pembangunan. Juga sekedar
menggambarkan masalah lingkungan yang masih harus dirumuskan kedalam
pertanyaan-pertanyaan konkrit yang harus dijawab. Setelah ditemukan
jawaban-jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan tadi, maka disusun
pedoman-pedoman kerja yang jelas bagi pelbagai kegiatan pembangunan baik berupa
industri atau bidang lain yang memperhatikan faktor perlindungan lingkungan
hidup.
Maka dalam rangka
pembangunan dan pemanfaatan sumber-sumber alam yang dapat diperbaharui,
hendaknya selalu diingat dan diperhatikan hal-hal sebagai berikut:[14]
v Generasi yang akan datang harus tetap mewarisi
suatu alam yang masih penuh sumber kemakmuran untuk dapat memberi kehidupan
kepada mereka.
v Tetap adanya keseimbangan dinamis diantara
unsur-unsur yang terdapat di alam.
v Dalam penggalian sumber-sumber alam harus tetap
dijamin adanya pelestarian alam, artinya pengambilan hasil tidak sampai merusak
terjadinya autoregenerasi dari sumber alam tersebut.
v Perencanaan kehidupan manusia hendaknya tetap
dengan lingkungan dan terciptanya kepuasan baik fisik, ekonomi, sosial, maupun
kebutuhan spiritual.
Selain itu, dalam
perencanaan dan pelaksanaan proyek pembangunan dan penggalian sumber daya alam
untuk kehidupan harus disertai dengan:
v Strategi pembangunan yang sadar akan permasalahan
lingkungan hidup, dengan dampak ekologi yang sekecil-kecilnya.
v Suatu politik lingkungan se-Indonesia yang
bertujuan mewujudkan persyaratan kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik
untuk puluhan tahun yang akan datang (kalau mungkin untuk selamanya).
v Eksploitasi sumber hayati didasarkan tujuan
kelanggengan atau kelestarian lingkungan dengan prinsip memanen hasil tidak
akan menghancurkan daya autoregenerasinya.
v Perencanaan pembangunan dalam rangka memenuhi
kebutuhan penghidupan, hendaknya dengan tujuan mencapai suatu keseimbangan
dinamis dengan lingkungan hingga memberikan keuntungan secara fisik, ekonomi,
dan sosial spiritual.
v Usahakan agar sebagian hasil pembangunan dapat
dipergunakan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akibat proyek pembangunan
tadi, dalam rangka menjaga kelestraian lingkungan.
v Pemakaian sumber alam yang tidak dapat diganti,
harus sehemat dan seefisien mungkin.
b.
Pembangunan
Berwawasan Lingkungan
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem
terdiri dari berbagai daerah, masing-masing sebagai subsistem yang
meliputi aspek sosial budaya, ekonomi
dan fisik, dengan corak ragam yang berbeda antara subsistem yang satu dengan
yang lain, dan dengan daya dukung lingkungan yang berlainan. Pembinaan dan
pengembangan yang didasarkan pada keadaan daya dukung lingkungan akan
meningkatkan keselarasan dan keseimbangan subsistem yang juga berarti
meningkatkan ketahanan subsistem.[15]
Menurut Emil Salim, secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala
benda, kondisi, keadaan, dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita
tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Sedangkan
Soedjono mengartikan lingkungan hidup sebagai lingkungan hidup fisik atau
jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmaniah yang
terdapat dalam alam.[16]
Pengertian pembangunan berwawasan lingkungan menurut Pasal 1 butir 13
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan
mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan
untuk meningkatkan mutu hidup.
Mengacu pada The World Commission
on Environmental and Development menyatakan bahwa pembangunan berwawasan
lingkungan adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi
masa sekarang tanpa mengesampingkan atau mengorbankan kemampuan generasi
mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya Holdren dan Erlich dalam Zul
Endria(2003) menyebutkan tentang pembangunan berkelanjutan dengan
terpeliharanya Total Natural Capital Stock pada tingkat yang sama atau
kalau bisa lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan sekarang.
Pembangunan berkelanjutan yang dikonsep oleh Stren, While, dan Whitney
sebagai suatu interaksi antara tiga sistem: sistem biologis dan sumberdaya,
sistem ekonomi, dan sistem sosial, yang dikenal dengan konsep trilogi
keberlanjutan: ekologi-ekonomi-sosial. Konsep keberlanjutan tersebut menjadi
semakin sulit dilaksanakan terutama di Negara berkembang.
Menurut Hariyadi sebagaimana dikutip oleh Zul Endria (2003), pembangunan
berwawasan lingkungan memerlukan tatanan agar sumber daya alam dapat secara
berlanjut menunjang pembangunan, pada masa kini dan mendatang, generasi demi
generasi dan khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Prinsip pembangunan berkelanjutan mencakup pemikiran aspek lingkungan hidup
sedini mungkin dan pada setiap tahapan pembangunan yang memperhitungkan daya
dukung lingkungan dan pembangunan di bawah nilai ambang batas.
Sejak dilaksanakannya Konferensi Stockholm 1972, masalah-masalah
lingkungan hidup mendapat perhatian secara luas dari berbagai bangsa.
Sebelumnya, sekitar tahun 1950-an masalah-masalah lingkungan hidup hanya
mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan. Sejak saat itu berbagai himbauan
dilontarkan oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu tentang adanya bahaya yang
mengancam kehidupan, yang disebabkan oleh pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup.[17]
Masalah lingkungan pada dasarnya timbul karena:
v Dinamika penduduk
v Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang
kurang bijaksana.
v Kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan
dan teknologi maju.
v Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan
ekonomi yang seharusnya positif.
v Benturan tata ruang.
Dengan adanya Stockholm Declaration, perkembangan hukum lingkungan
memperoleh dorongan yang kuat. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai
tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa diantara para ahli hukum dengan
menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama. Perkembangan baru
dalam pengembangan kebijaksanaan lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World
Commission on the Environment and Development (WCED).[18]
WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari enam sudut pandang,
yaitu:[19]
v
Keterkaitan (interdependency)
v
Sifat
perusakan yang kait mengkait (interdependent) diperlukan pendekatan lintas
sektoral antar negara.
v
Berkelanjutan
(sustainability)
v
Berbagai
pengembangan sektoral memerlukan sumber daya alam yang harus dilestarikan
kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan. Untuk itu
perlu dikembangkan pula kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan wawasan
lingkungan.
v
Pemerataan (equity)
v
Desakan
kemiskinan bisa mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan,
untuk perlu diusahakan kesempatan merata untuk memperoleh sumber daya alam bagi
pemenuhan kebutuhan pokok.
v
Sekuriti dan
risiko lingkungan (security and environmental risk)
v
Cara-cara
pembangunan tanpa memperhitungkan dampak negatif kepada lingkungan turut memperbesar
risiko lingkungan. Hal ini perlu ditanggapi dalam pembangunan berwawasan
lingkungan.
v
Pendidikan
dan komunikasi (education and communication)
v
Penduduk dan
komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan untuk ditingkatkan di berbagai
tingkatan penduduk dan lapisan masyarakat.
v
Kerjasama
internasional (international cooperation)
v
Pola
kerjasama internasional dipengaruhi oleh pendekatan pengembangan sektoral,
sedangkan pertimbangan lingkungan kurang diperhitungkan. Karena itu perlu
dikembangkan pula kerjasama yang lebih mampu menanggapi pembangunan yang
berwawasan lingkungan.
Untuk menganalisis berbagai kendala yang dihadapi dalam pembangunan yang
berwawasan lingkungan, maka dapat digunakan keenam segi penglihatan tersebut di
atas, masalah-masalah tersebut misalnya adalah sebagai berikut; (1) perspektif
kependudukan, pembangunan ekonomi, teknologi dan lingkungan; (2) pengembangan
energi berwawasan lingkungan, termasuk masalah CO2, polusi udara,
hujan asam, kayu bakar, dan konversi sumber energi yang bisa diperbaharui dan
lain-lain; (3) pengembangan industri berwawasan lingkungan, termasuk di
dalamnya masalah pencemaran kimia, pengelolaan limbah dan daur ulang; (4)
pengembangan pertanian berwawasan lingkungan, termasuk erosi lahan,
diversifikasi, hilangnya lahan pertanian, terdesaknya “habitat wildlife”,
(5) kehutanan, pertanian dan lingkungan, termasuk hutan tropis dan diversitas
biologi; (6) hubungan ekonomi internasional dan lingkungan, termasuk di sini
bantuan ekonomi, kebijaksanaan moneter, kebijaksanaan perdagangan, dan
internasional externalities; dan (7) kerjasama internasional.[20]
Selanjutnya dalam World Summit on Sustainable Development (WSSD)
yang diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 26 Agustus-4
September 2002 ditegaskan kembali kesepakatan untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan (Sustainable Development) dengan menetapkan “The
Johannesburg Declaration on Sustainable Development” yang terdiri atas:[21]
a) From our Origins to the Future
b) From Stockholm to Rio de Janeiro to Johannesburg
c) The Challenge we Face
d) Our Commitment to Sustainable Development
e) Making it Happen!
Sebagai tindak lanjut ditetapkan pula World Summit Sustainable Development,
Plan of Implementation yang mengedepankan integrasi tiga komponen
pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan
perlindungan lingkungan sebagai tiga pilar kekuatan. Pada Konferensi Nasional
Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Yogjakarta tanggal 21 Januari
2004, Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan
diterima oleh Presiden RI dan menjadi dasar semua pihak untuk melaksanakannya.[22]
Dalam kaitannya dengan hal di atas, menurut Emil Salim terdapat lima pokok
ikhtiar yang perlu dikembangkan dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan
pembangunan yang berwawasan lingkungan, yaitu:[23]
v Menumbuhkan sikap
kerja berdasarkan kesadaran saling membutuhkan antara satu dengan yang lain.
Hakikat lingkungan hidup adalah memuat hubungan saling kait mengkait dan
hubungan saling membutuhkan antara satu sektor dengan sektor lainnya, antara
satu negara dengan negara lain, bahkan antara generasi sekarang dengan generasi
mendatang. Oleh karena itu diperlukan sikap kerjasama dengan semangat
solidaritas.
v Kemampuan menyerasikan kebutuhan dengan
kemampuan sumber alam dalam menghasilkan barang dan jasa. Kebutuhan manusia
yang terus menerus meningkat perlu dikendalikan untuk disesuaikan dengan pola
penggunaan sumber alam secara bijaksana.
v Mengembangkan
sumber daya manusia agar mampu menanggapi tantangan pembangunan tanpa merusak
lingkungan.
v
Mengembangkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat
sehingga tumbuh menjadi kesadaran berbuat.
v
Menumbuhkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dapat
mendayagunakan dirinya untuk menggalakkan partisipasi masyarakat dalam mencapai
tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
c.
Pengembangan
Sistem Pembangunan Berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu standar
yang tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga penting bagi kebijakan
lingkungan sebaik mungkin.[24] Adapun ciri-ciri
pembanguan yang berkelanjutan meliputi:[25]
v Menjaga
kelangsungan hidup manusia dengan cara melestarikan fungsi dan kemampuan
ekosistem yang mendukungnya, secara langsung maupun tidak langsung.
v Memanfaatkan
sumber daya alam secara optimal dalam arti memanfaatkan sumber daya alam
sebanyak alam dan teknologi pengelolaan mampu menghasilkannya secara lestari.
v Memberi
kesempatan kepada sektor dan kegiatan lainnya di daerah untuk berkembang
bersama-sama baik dalam kurun waktu yang sama maupun kurun waktu yang berbeda
secara berkelanjutan.
v Meningkatkan dan
melestarikan kemampuan dan fungsi ekosistem untuk memasok sumber daya alam,
melindungi serta mendukung kehidupan secara terus menerus.
v Menggunakan
prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fngsi dan kemampuan
ekosistem untuk mendukung kehidupan baik sekarang maupun masa yang akan
datang.
Dalam upaya mendukung tujuan pembangunan yang
berkelanjutan telah dilakukan upaya-upaya memasukkan unsur lingkungan dalam
memperhitungkan kelayakan suatu pembangunan. Unsur-unsur lingkungan yang
menjadi satu paket dengan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan akan lebih
menjamin kelestarian lingkungan hidup dan mempertahankan dan/atau memperbaiki
daya dukung lingkungannya.[26]
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
merupakan bagian dari setiap kegiatan yang berkaitan, baik secara sektoral
maupun regional. Kegiatan itu akan dilaksanakan melalui pembentukan suatu
sistem tata laksana dan tata cara yang dapat memantapkan kerjasama antar
berbagai lembaga. Salah satu lembaga yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan
keterpaduan antar sektor dalam pembangunan yang berkelanjutan ini adalah
prosedur AMDAL yang merupakan sistem terpadu antar sektor yang membimbing dan
menilai serta menyerasikan tindak lanjut dari hasil AMDAL suatu kegiatan di
lokasi tertentu.[27]
Penyelamatan dan pengelolaan lingkungan hidup
serta proses pembangunan berkelanjutan pada umumnya merupakan suatu proses
pembaruan yang memerlukan wawasan, sikap dan prilaku yang baru yang didukung
oleh nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Wawasan ini dapat diperkaya lagi dengan
kearifan tradisional mengenai lingkungan hidup dan keserasian lingkungan hidup
dengan kependudukan.[28]
Peran serta masyarakat dalam pembangunan amat
penting pengaruhnya dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna
pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Sumber daya
alam menjadi milik bersama akan lebih terpelihara kelestariannya apabila
seluruh masyarakat memahami dan memeliharanya.[29]
d.
Prinsip
– prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan
dilakukan oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang dengan
maksud untuk menyejahterakan warganya. Tetapi yang menjadi keprihatinan
sekarang adalah adanya desakan semakin keras untuk melanjutkan pola pembangunan
konvensional., terutama di negara berkembang disebabkan oleh pertambahan
penduduk yang semakin banyak dan keinginan mengatasi kemiskinan yang cukup
parah.[30]
Untuk mempertahankan
fungsi keberlanjutan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, maka ada
beberapa prinsip kehidupan yang berkelanjutan yang seharusnya diadopsi ke dalam
pembangunan. Imam Supardi merinci prinsip tersebut sebagai berikut:
v Menghormati dan memelihara komunitas kehidupan
prinsip ini mencerminkan kewajiban untuk peduli kepada orang lain dan kepada
bentuk-bentuk kehidupan lain, sekarang dan di masa datang.
v Memperbaiki kualitas hidup manusia.
Tujuan
pembangunan yang sesungguhnya adalah memperbanyak mutu hidup manusia. Ini
sebuah proses yang memungkinkan manusia menyadari potensi mereka, membangun
rasa percaya diri mereka dan masuk kekehidupan yang bermanfaat dan
berkecukupan.
v Melestarikan daya hidup dan keanekaragaman bumi.
Prinsip ini menuntut kita untuk:
o
melestarikan
sistem-sistem penunjang kehidupan
o
melestarikan
keanekaragaman hayati
o
menjamin agar
penggunaan sumber daya yang dapat diperbaharui berkelanjutan.
v Menghindari sumber daya yang tak terbarukan.
Sumber daya yang tak
terbarukan adalah bahan-bahan yang tidak dapat digunakan secara berkelanjutan.
Tetapi umur mereka dapat diperpanjang dengan cara daur ulang, penghematan, atau
dengan gaya pembuatan suatu produk pengganti bahan-bahan tersebut.
v Berusaha untuk tidak melampaui kapasitas daya
dukung bumi.
Kapasitas daya dukung ekosistem bumi mempunyai
batas-batas tertentu. Sampai tingkat tertentu ekosistem bumi dan biosfer masih
tahan bertahan terhadap gangguan atau beban tanpa mengalami kerusakan yang membahayakan.
v Mengubah sikap dan gaya hidup orang perorang.
Guna menerapkan etika baru untuk hidup
berkelanjutan, kita harus mengkaji ulang tata nilai masyarakat dan mengubah
sikap mereka. Masyarakat harus memperkenalkan nilai-nilai yang mendukung etika baru
ini dan meninggalkan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan falsafah hidup
berkelanjutan.
v Mendukung kreatifitas masyarakat untuk memlihara
lingkungan sendiri.
v Menyediakan kerangka kerja nasional untuk
memadukan upaya pembangunan pelestarian.
Dalam hal ini diperlukan suatu program nasional
yang dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan.
v Menciptakan kerjasama global.
Untuk mencapai keberlanjutan yang global, maka
harus ada kerja sama yang kuat dari semua negara. Tingkat pembangunan di setiap
negara tidak sama. Negara-negara yang penghasilannya rendah harus dibantu agar
bisa membangun secara berkelanjutan.
Kesembilan prinsip
diatas, sebetulnya bukan merupakan hal yang baru. Prinsip-prinsip tersebut
mencerminkan pernyataan-pernyataan yang telah sering muncul dalam berbagai
pemberitaan mengenai perlunya persamaan hak, pembangunan yang berkelanjutan,
dan pelestarian alam.
Selanjutnya Sudharto
P. Hadi mengemukakan empat prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu:[31]
1. Pemenuhan
kebutuhan dasar baik materi maupun non-materi.
Pemenuhan kebutuhan materi sangat penting
karena kemiskinan dipandang baik sebagai penyebab maupun hasil dari penurunan
kualitas lingkungan. Kerusakan lingkungan menyebabkan timbulnya kemiskinan dan
penurunan kualitas hidup, karena masyarakat tidak lagi memiliki sumber daya
alam yang bisa dijadikan aset untuk menopang kehidupan.
Kebutuhan non-materi yang dicerminkan
dalam suasana keterbukaan, bebas dari rasa tertekan, demokratis yang merupakan
syarat penting bagi masyarakat untuk bisa mengambil bagian dalam pengambilan
keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Keikutsertaan masyarakat akan
mampu meningkatkan kualitas keputusan, karena sesungguhnya masyarakat adalah
para pakar lokal dalam arti lebih memahami kondisi dan karakter lingkungan di
sekitar tempat tinggal mereka.adanya kesempatan menyampaikan pendapat akan
menumbuhkan perasaan sebagai part of process.
2. Pemeliharaan
lingkungan.
Berkaitan
dengan pemeliharaan lingkungan, ada dua prinsip penting yaitu prinsip
konservasi dan mengurangi konsumsi. Pemeliharaan lingkungan hidup sebenarnya
sangat terkait dengan prinsip pemenuhan kebutuhan manusia. Bahkan jika
kerusakan sudah sedemikian parah akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa penyebab pencemaran dan kerusakan
lingkungan adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Oleh
karena itu konservasi dimaksudkan untuk perlindungan lingkungan. Sedangkan
prinsip mengurangi konsumsi bermakna ganda. Pertama, mengurangi konsumsi
ditujukan pada negara maju sehubungan dengan pola konsumsi energi yang besar
yang menyebabkan terjadinya polusi dan penurunan kualitas lingkungan. Kedua,
perubahan pola konsumsi merupakan seruan yang ditujukan kepada siapa saja
(sebagai individu) baik di negara maju maupun di negara berkembang agar
mengurangi beban bumi.
3. Keadilan
sosial.
Berkaitan dengan keadilan, prinsip
keadilan masa kini menunjukkan perlunya pemerataan dalam prinsip pembangunan.
Kadilan masa kini berdimensi luas termasuk di dalamnya pengalokasian sumber
dayaalam antara daerah dan pusat. Sedangkan keadilan masa depan berarti perlunya
solidaritas antar generasi. Hal ini menunjukkan perlunya pengakuan akan adanya
keterbatasan (limitations) sumber daya alam yang harus diatur penggunaannya
agar tidak mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang.
4. Penentuan
nasib sendiri.
Penentuan nasib sendiri meliputi
prinsip terwujudnya masyarakat mandiri dan partisipatori demokrasi. Masyarakat
mandiri (self relient community) adalah masyarakat yang mampu mengambil
keputusan sendiri atas hal-hal yang berkaitan dengan nasib dan masa depannya.
Hal ini termasuk penentuan alokasi sumber-sumber daya alam. Sedangkan prinsip
partisipatori demokrasi adalah adanya keterbukaan dan transparansi. Dengan
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengambil bagian dalam setiap
proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib mereka maka masyarakat akan
merasa menjadi bagian dari proses sehingga tumbuh rasa memiliki dan pada
gilirannya bisa memperoleh manfaat atas perubahan yang terjadi di sekitar
mereka.
Prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan di atas, akan bisa terwujud jika didukung oleh
pemerintahan yang baik (good governance). Dari uraian tentang
prinsip-prinsip pembangunan berklanjutan di atas, nampak bahwa konsep ini
menghendaki suatu transformasi dalam pola kehidupan dan kelembagaan.
Jika interpretasi
tentang pembangunan berkelanjutan termasuk mengurangi konsumsi dari
negara-negara industri, maka agendanya akan meliputi perubahan perilaku dan
gaya hidup. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana mendorong konsumsi
barang-barang non material dan jasa daripada energi dan barang-barang
konsumtif.
2.
Kerangka
Konseptual
a.
Pengertian
AMDAL dan Pengaturannya dalam Tata Hukum Indonesia.
Analisis
mengenai dampak lingkungan atau Environmental Impact Analysis (EIA)
muncul sebagai jawaban atas keprihatinan tentang dampak negatif dari kegiatan
manusia, khususnya pencemaran lingkungan akibat kegiatan industri pada tahun
1960-an. Sejak itu AMDAL telah menjadi alat utama untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan manajemen yang bersih lingkungan dan selalu melekat pada
tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
AMDAL
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1969 oleh National Environmental
Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 23 tahun 1997 tentang
pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP no 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup. Jika Indonesia mempunyai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang harus dibuat jika seseorang ingin mendirikan suatu
proyek yang diperkirakan akan memberikan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan, Belanda pun mempunyai milieu effect apportage disingkat
m.e.r. Sebenarnya Indonesia dan Belanda
bukanlah penemu sistem ini, tetapi ditiru dari Amerika Serikat yang diberi nama
Environmental Impact Assesment (EIA). AMDAL adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Pada
dasarnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah keseluruhan proses
yang meliputi penyusunan berturut-turut sebagaimana diatur dalam PP nomor 27
tahun 1999 yang terdiri dari:
v
Kerangka Acuan (KA) adalah ruang lingkup kajian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan.
v
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) adalah
telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu
rencana usaha atau kegiatan.
v
Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan.
v
Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) adalah
upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan
penting akibat dari rencana usaha atau kegiatan.
Sehubungan
dengan prosedur/tata laksana AMDAL, Peraturan Pemeritah Nomor 27 Tahun 1999
telah menetapkan mekanisme yang harus ditempuh sebagai berikut:
1.
Pemrakarsa menysun Kerangka Acuan (KA) bagi
pembuatan dokumen AMDAL. Kemudian disampaikan kepada Komisi AMDAL. Kerangka
Acuan tersebut diproses selama 75 hari kerja sejak diterimanya oleh komisi
AMDAL. Jika lewat waktu yang ditentukan ternyata Komisi AMDAL tidak memberikan
tanggapan, maka dokumen Kerangka Acuan tersebut menjadi sah untuk digunakan
sebagai dasar penyusunan ANDAL.
2.
Pemrakarsa menyusun dokumen Analisis Dampak
Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL), kemudian disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab
untuk diproses dengan menyerahkan dokumen tersebut kepada komisi penilai AMDAL
untuk dinilai.
3.
Hasil penilaian dari Komisi AMDAL disampaikan
kembali kepada instansi yang ertanggung jawab untuk mengeluarkan keputusan
dalam jangka waktu 75 hari. Apabila dalam jangka waktu yang telah disediakan,
ternyata belum diputus oleh instansi yang bertanggung jawab, maka dokumen
tersebut tidak layak lingkungan.
4.
Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan,
ternyata instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan keputusan penolakan
karena dinilai belum memenuhi pedoman teknis AMDAL, maka kepada pemrakarsa
diberi kesempatan untuk memperbaikinya.
5.
Hasil perbaikan dokumen AMDAL oleh pemrakarsa
diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab untuk diproses dalam memberi
keputusan sesuai dengan Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1999.
6.
Apabila dari dokumen AMDAL dapat disimpulakn bahwa
dampak negatif tidak dapat ditanggulangi berdasarkan ilmu dan teknologi, atau
biaya penanggulangan dampak negatif lebih besar dibandingkan dampak positifnya.[32]
Pasal 16 UULH menyatakan sebagai berikut:
Setiap
rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib
dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya
diatur dengan peraturan pemerintah.
Dari
ketentuan pasal 16 UULH dapat disimpulkan dua hal yaitu:
1.
Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian
dari proses perencanaan, dan instrumen pengambilan keputusan.
2.
Tidak semua rencana kegiatan itu wajib dilengkapi
dengan analisis mengenai dampak lingkungan, yang wajib dilengkapi dengan
analisis mengenai dampak lingkungan hanyalah yang mempunyai dampak penting
terhadap lingkungan.
Untuk
mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut diantaranya
digunakan kriteria mengenai:
1.
Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan
2.
Luas wilayah penyebaran dampak
3.
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
4.
Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak
5.
Sifat kumulatif dampak
6.
Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible)
dampak.
Menurut
PP No. 27 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1), usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan
dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi:
1.
Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
2.
Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui
maupun yang tak terbaharui
3.
Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat
menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta
kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya
4.
Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
5.
Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat
mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan
cagar budaya
6.
Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan
jenis jasad renik
Tujuan
AMDAL secara umum adalah menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan serta
menekan pencemaran sehingga dampak negatifnya menjadi serendah mungkin.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah komisi penilai AMDAL,
pemrakarsa dan masyarakat yang berkepentingan. Komisi penilai AMDAL adalah
komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di
Kementrian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda atau
instansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota
berkedudukan di Bapedalda/Instansi pengelola lingkungan hidup kabupaten/Kota.
Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena
dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Pemrakarsa adalah
orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dilaksanakan. Masyarakat yang berkepentingan adalah
masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL
berdasarkan; kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan,
faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada
lingkungan hidup, dan atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang
dipercaya. Masyarakat yang berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan
menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
AMDAL
merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat mencegah
kerusakan lingkungan dan menjamin upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL
merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek itu sendiri.
b.
Pihak
– pihak yang berkepentingan dengan AMDAL.
Ada tiga pihak yang berkepentingan dengan AMDAL
yaitu:[33]
1.
Pemrakarsa
Yaitu
orang atau badan yang mengajukan yang bertanggung jawab atas suatu rencana
kegiatan yang akan dilaksanakan. Dipandang dari sudut pemrakarsa, pada dasarnya
perlu dibedakan antara proses pengambilan keputusan intern dan ekstern. Dalam
proses pengambilan keputusan intern pemrakarsa menghadapi pertanyaan apakah dia
akan memprakarsai suatu rencana kegiatan dan melaksanakannya.
Proses pengambilan keputusan ekstern dihadapi oleh pemrakarsa
apabila rencana kegiatannya diajukan kepada instansi yang bertanggungjawab
untuk memperoleh persetujuan. Dalam proses ini pemrakarsa harus menyadari
mengenai rencana yang diajukan itu. Apabila instansi yang bertangggungjawab
juga bertindak sebagai pemrakarsa, maka proses pengambilan keputusan tersebut
harus dipisahkan secara intern organisasi instansi yang bersangkutan.
2. Aparatur Pemerintah
Aparatur
pemerintah yang berkepentingan dengan AMDAL dapat dibedakan antara instansi
yang bertanggungjawab dan instansi yang terkait. Instansi yang bertanggungjawab
merupakan instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan
hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada pada kepala
instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah
berada pada Gubernur (Pasal 1 angka 9 PP No. 27 Tahun 1999).
3. Masyarakat
Pelaksanaan
suatu kegiatan menimbulkan dampak terhadap lingkungan Bio-Geofisik dan
lingkungan sosial. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh pelaksanaan suatu
kegiatan mempunyai arti semakin pentingnya peran serta masyarakat dalam
kaitannya dengan kegiatan tersebut. Karena itu masyarakat sebagai subyek hak
dan kewajiban perlu diikutsertakan dalam proses penilaian AMDAL. Selain itu,
diikutsertakannya masyarakat akan memperbesar kesediaan masyarakat memerima
keputusan yang pada gilirannya akan memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa
lingkungan.
Keterbukaan
dan peran serta masyarakat merupakan asas yang esensial dalam pengelolaan
lingkungan yang baik (good environmental governance), terutama dalam
prosedur administratif perizinan lingkungan sebagai instrumen pencegahan
pencemaran lingkungan.[34]
Dalam
hubungan ini OECD menekankan tentang fungsi peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan serta mengemukakan pula pemikiran mengenai akses
terhadap informasi dan hakekat peranserta: “....Information is a
prerequisite to effective public participation, and goverments have a
responsibility not only to make information on environmental matters available
to the public in a tonely and open manner, but also to ensure that citizens are
able to provide constructive and timely feedback to goverment.....”.[35]
Maksud
dan tujuan dilaksanakannya ketertiban masyarakat dalam keterbukaan informasi
dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah untuk:[36]
1. Melindungi kepentingan masyarakat
2.
Memberdayakan masyarakt dalam pengambilan keputusan atau rencana usaha dan atau
kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan.
3.
Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAL dari rencana usaha
dan atau kegiatan.
4.
Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang
berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk mendaptkan
informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan informasi yang harus
diketahui oleh pihak lain yang terpengaruh.
c.
Pihak
– pihak yang berkepentingan dengan AMDAL.
Dalam
peraturan penerapan AMDAL tercermin beberapa prinsip yang dianut, yaitu sebagai
berikut:
1.
Suatu rencana kegiatan yang diperkirakan menimbulkan
dampak penting terhadap lingkungan hidup dapat dilaksanakan setelah
dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan hidup.
Dalam
prinsip ini terkandung pengertian bahwa dampak lingkungan yang harus
dipertimbangkan mencakup semua aspek lingkungan, baik biofisik, sosial ekonomi
maupun sosial budaya yang relevan dengan rencana kegiatan yang akan
dilaksanakan.
2.
AMDAL merupakan instrumen pengambilan keputusan dan
merupakan bagian dari proses perencanaan.
Sebagai
instrumen pengambilan keputusan, AMDAL dapat memperluas wawasan pengambilan
keputusan sehingga dapat diambil keputusan yang paling optimal dari berbagai
alternatif yang tersedia. Keputusan itu diambil berdasarkan pertimbangan
kelayakan dari segi teknologi, ekonomi dan lingkungan.
3.
Kriteria dan prosedur untuk menentukan apakah suatu
rencana kegiatan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup harus
secara jelas dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
4.
Prosedur AMDAL harus mencakup tata cara penilaian yang
tidak memihak.
5.
AMDAL bersifat terbuka, kecuali yang menyangkut rahasia
negara.
6.
Keputusan tentang AMDAL harus dilakukan secara tertulis
dengan mengemukakan pertimbangan pengambilan keputusan.
7.
Pelaksanaan rencana kegiatan yang AMDAL-nya telah
disetujui harus dipantau.
8.
Penerapan AMDAL dilaksanakan dalam rangka kebijaksanaan
nasional pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan secara jelas.
9.
Untuk menerapkan AMDAL diperlukan aparat yang memadai.
Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan diperuntukkan bagi perencanaan program dan proyek.
Karena itu AMDAL itu sering pula disebut preaudit. Baik menurut
undang-undang maupun berdasarkan pertimbangan teknis. AMDAL bukanlah alat untuk
mengaji lingkungan setelah program atau proyek selesai dan operasional. Sebab
setelah program atau proyek selesai lingkungan telah berubah, sehingga garis
dasar seluruhnya atau sebagian telah terhapus dan tidak ada lagi acuan untuk
mengukur dampak.
Di
dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan seyogyanya arti dampak diberi
batasan: perbedaan antara kondisi lingkungan yang diprakirakan akan ada tanpa
adanya pembangunan dan yang diprakirakan akan ada dengan adanya pembangunan.
Dengan batasan ini dampak yang disebabkan oleh aktivitas lain di luar
pembangunan, baik alamiah maupun oleh manusia tidak ikut diperhitungkan dalam
prakiraan dampak. Dampak meliputi baik dampak biofisik, maupun dampak
sosial-ekonomi-budaya dan kesehatan, serta seyogyanya tidak dilakukan analisis
dampak sosial dan analisis dampak kesehatan lingkungan secara terpisah dari
AMDAL.
F. Metoda Penelitian
1.
Jenis
Penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis lebih cendrung
menekankan penelitian dengan pendekatan hukum normatif, karena penelitian yang
dilakukan adalah studi literatur dan dokumentasi peraturan perundang-undangan
dan kebijakan serta mempelajari teori-teori maupun asas-asas yang berkaitan
dengan AMDAL dan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dilihat
dari sifatnya, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif tanpa
bermaksud untuk menguji hipotesa atau teori, tetapi merupakan kegiatan menganalisis
dan mengklasifikasikan atau mensistematisasi bahan-bahan hukum.
2.
Sumber
Bahan Hukum.
Untuk menjawab permasalahan penelitian, penulis
memerlukan bahan hukum melalui studi kepustakaan untuk mencari konsep-konsep,
teori-teori, pendapat-pendapat, ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat
dengan pokok-pokok masalah. Dalam penulisan ini data yang penulis perlukan
adalah data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah
penelitian yaitu: Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup dan
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang diperoleh
melalui bahan pustaka maupun dari dokumen berupa bahan hukum. Data ini penulis
peroleh dari derbagai buku dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah
yang dibahas serta berbagai artikel, jurnal dan majalah yang memberikan
penjelasan mengenai permasalahan yang dibahas.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti
kamus hukum dan ensiklopedi
3.
Tehnik
Pengumpulan Data.
Teknik
pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen dan studi kepustakaan
yang merupakan suatu metode pengumpulan data yang diperlukan untuk menjawab
masalah penelitian yang diambil dari dokumen atau bahan pustaka. Data yang
diperlukan sudah tertulis atau diolah orang lain atau suatu lembaga. Dalam mendapatkan data ini penulis akan
melakukan studi kepustakaan baik itu melalui literatur yang penulis miliki
sendiri maupun dari literatur yang telah tersedia di perpustakaan. Selain itu
penulis juga akan melakukan studi terhadap dokumen-dokumen yang tersedia di
instansi yang akan penulis datangi sehubungan dengan permasalahan penelitian.
4.
Pengolahan
Data.
Bahan
hukum yang penulis peroleh, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan pengkajian
lebih dalam untuk menjamin keakuratan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai
peraturan, teori dan konsep. Metode atau cara analisa data yang digunakan
adalah analisa deskriptif kualitatif[37] yaitu analisa terhadap
data yang tidak bisa dihitung. Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan
pembahasan, pemeriksaan dan pengelompokan ke dalam bagian-bagian tertentu untuk
diolah menjadi data informasi. Hasil analisa bahan hukum akan diinterpretasikan untuk menjawab
persoalan dalam rumusan masalah dan diharapkan dapat memperluas wawasan
khususnya dalam bidang hukum lingkungan
|
AMDAL DAN PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN DI INDONESIA
A.
Pelaksanaan
AMDAL Di Indonesia.
Dalam rangka melaksanakan pembangunan
berkelanjutan, lingkungan perlu dijaga kerserasian hubungan antar berbagai
kegiatan. Salah satu instrumen pelaksanaan kebijaksanaan lingkungan adalah
AMDAL sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UULH. Sebagai pelaksanaan Pasal 16
UULH, pada tanggal 5 Juni 1986 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang mulai berlaku
tanggal 5 Juni 1987 berdasarkan Pasal 40 PP tersebut.[38]
Dalam upaya melestarikan kemampuan
lingkungan, analisis mengenai damapak lingkungan bertujuan untuk menjaga agar
kondisi lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin
kesinambungan pembangunan. Peranan instansi yang berwenang memberikan keputusan
tentang proses analisis mengenai dampak lingkungan sudah jelas sangat penting.
Keputusan yang diambil aparatur dalam proses administrasi yangditempuh pemrakarsa
sifatnya sangat menentukan terhadap mutu lingkungan, karena AMDAL berfungsi
sebagai instrumen pencegahan pencemaran lingkungan.[39]
Pada waktu berlakunya PP No. 29 Tahun
1986, pemerintah bermaksud memberikan waktu yang cukup memadai yaitu selama
satu tahun untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
efektifitas berlakunya PP tersebut. Hal ini erat hubungannya dengan persiapan
tenaga ahli penyusun AMDAL. Di samping itu diperlukan pula waktu untuk
pembentukan Komisi Pusat dan Komisi Daerah yang merupakan persyaratan esensial
bagi pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 tersebut. PP 29 Tahun 1986 kemudian
dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan yang diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 1993.
Perbedaan utama antara PP tahun 1986 dengan PP tahun 1993 adalah ditiadakannya
dokumen penyajian informasi lingkungan (PIL) dan dipersingkatnya tenggang waktu
prosedur (tata laksana) AMDAL dalam PP yang baru. PIL berfungsi sebagai filter
untuk menentukan apakah rencana kegiatan dapat menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan atau tidak.
Sebagai instrumen pengelolaan
lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini
dalam perencanaan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan
pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek.
Dengan cara ini proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap
lingkungan. Di sisi lain, studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi
upaya-upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.[40]
Instrumen AMDAL dikaitkan dengan
sistem perizinan. Menurut Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun 1993, keputusan tentang
pemberian izin usaha tetap oleh instansi yang membidangi jenis usaha atau
kegiatan dapat diberikan setelah adanya pelaksanaan Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah disetujui
oleh instansi yang bertanggung jawab.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993 dimaksudkan untuk menyempurnakan kelemahan yang dirasakan dalam PP Nomor
29 Tahun 1986 tentang AMDAL. Namun, upaya penyempurnaan itu ternyata tidak
tercapai, bahkan terdapat ketentuan baru yang menyangkut konsekuensi yuridis
yang rancu (Pasal 11 ayat (1) PP AMDAL 1993). Meski demikian yang penting dalam
PP AMDAL 1993 ialah Studi Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) bagi kegiatan
yang sedang berjalan pada saat berlakunya PP AMDAL 1986 menjadi ditiadakan.,
sehingga AMDAL semata-mata diperlukan bagi usaha atau kegiatan yang masih
direncanakan. Selanjutnya PP Nomor 51 Tahun 1993 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999. Dalam PP 27 tahun 1999 ditetapkan
4 jenis studi AMDAL, yaitu:
1. AMDAL proyek, yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada dalam kewenangan
satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil, yang mmpunyai
kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen
Perindustrian.
2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana
kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal
perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan
ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah salah satu kegiatan pabrik pulp
dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek Hutan Tanaman Industri (HTI)
untuk penyediaan bahan bakunya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk
menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini
terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen
Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen
Perhubungan.
3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada suatu rencana kegiatan pembangunan yang
berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem dan menyangkut kewenangan satu
instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan pembangunan kawasan industri. Dalam
kasus ini masing-masing kegiatan di dalam kawasan tidak perlu lagi membuat
AMDALnya karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.
4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan pembangunan yang
sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan waktu pelaksanaan
kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada
dalam satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana
Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota-kota
baru.
Secara teknis instansi yang
bertanggung jawab dalam merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di Indonesia
adalah BAPEDAL (Badan Pengendali Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam
PP No. 51 tahun 1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi-instansi
sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. dengan kata lain, BAPEDAL Pusat hanya
menangani studi-studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional.
Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah dengan memberikan
kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah
diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan AMDAL.
Dalam sebuah lokakarya regional
koordinasi tata lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten
Deputi Urusan Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup
menyatakan bahwa hanya 119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL dari 474 kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka
tersebut, hanya 50% yang berfungsi menilai AMDAL.
Sementara 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas
buruk sampai sangat buruk.[41]
Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL memerlukan waktu proses sangat cepat, tidak ada
penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL, kontribusi
pengelolaan lingkungan yang masih rendah, menjadi beban biaya, dan dipandang
sebagai komoditas ekonomi oleh (oknum) aparatur pemerintah, pemrakarsa atau konsultan.
Lebih rusaknya, ketika AMDAL justru hanya sebagai alat
retribusi, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan, sehingga sering
kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata
ruang.
Jangka waktu pemrosesan dokumen AMDAL menurut PP
No. 29 Tahun 1986 adalah 90 hari, tetapi berdasarkan Pasal 10 PP Nomor 51 Tahun
1993, sanggup selambat-lambatnya 45 hari. Ketentuan tentang jangka waktu terasa
maju, namun sudahkah sesuai dengan realita kemampuan aparatur? Sungguh
mengejutkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) tersebut: “dinyatakan diberikan
persetujuan atas kekuatan PP ini”. Tanpa diproses apakah konsekuensi yuridis
ketentuan seperti itu terhadap prosedur AMDAL? Keruntuhan sistem AMDAL sebagai
instrumen hukum lingkungan yang berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran
lingkungan.[42]
AMDAL ketika pertama
kali dikeluarkan sebagai sebuah kebijakan yang
merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau
kegiatan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai
bahan perencanaan pembangunan wilayah. Namun dikarenakan minimnya pengetahuan
dari pemerintah dan rakyat dalam memahami AMDAL,
menjadikan pemrakarsa dan konsultan menggunakan AMDAL
sebagai sebuah dokumen asal jadi, dan kecenderungan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi. Sehingga AMDAL
tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah kegiatan berjalan.
Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL,
sangat sering ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL
meninggalkan berbagai prinsip dalam AMDAL. Terutama
posisi rakyat dalam proses penyusunan dokumen AMDAL.
Proses keterbukaan informasi dijamin oleh kebijakan, di mana Pasal 33 PP No. 27/1999 menegaskan kewajiban pemrakarsa untuk
mengumumkan kepada publik dan saran, pendapat, masukan publik wajib untuk
dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL. Dan Pasal 34
menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam
proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.
Keterbukaan dan peran serta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan (khusunya izin lingkungan) perlu dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran serta masyarakat oleh seorang kelompok orang
(organisasi lingkungan hidup) atau badan hukum merupakan konsekuensi dari “hak
yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH[43]
Maksud dan tujuan
dilaksanakannya ketertibatan masyarakat dalam keterbukaan informasi dalam
proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk:
1.Melindungi kepentingan masyarakat.
2.Memberdayakan masyarakat dalam mengambil keputusan
atas rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
3.Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan
proses AMDAL dari rencana usaha dan atau kegiatan.
4.Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara
semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak
untuk mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan
informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh.[44]
Akan
tetapi, beberapa ketentuan tentang prosedur perizinan lingkungan tidak membuka
peluang bagi peran serta masyarakat, sehingga saran dan pemikiran dalam proses
pemngambilan keputusan tentang izin yang mempunyai dampak penting terhadap
lingkungan tidak ditampung secara prosedural.
Dokumen AMDAL (kelayakan
lingkungan hidup) yang merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi
(Pasal 2 PP No. 27/1999) selanjutnya merupakan syarat
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 7 PP No.
27/1999). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang
menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat
lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial
administratif.
Namun, dari sisi proses, bila menilik Pasal 20 PP No. 27 Tahun 1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya
kolusi dalam persetujuan AMDAL. Dalam ayat (1) pasal
tersebut dinyatakan bahwa instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan
kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan, dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Dan dalam ayat (2)
disebutkan apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan dianggap layak lingkungan. Kolusi kemudian bisa terjadi
disaat tidak adanya keputusan tentang persetujuan AMDAL
dalam jangka waktu 75 hari, maka secara otomatis suatu kegiatan dan/atau usaha
dianggap layak secara lingkungan.
PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup ternyata tetap tidak menyempurnakan PP Nomor 51 Tahun
1993. Kekeliruan perumusan dalam Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 51 Tahun 1993
tampaknya diabadikan oleh Pasal 20 PP AMDAL 1999.
PP yang menjabarkan UULH ini pada
akhirnya hanya menjadi pelengkap saja. Banyak orang berpendapat bahwa AMDAL
seakan-akan menjadi penyelemat, tetapi sebenarnya AMDAL tidaklah selalu
diperlukan karena AMDAL juga tidak berguna kalau proyek sudah jalan. AMDAL
hanya bermanfaat bagi pembangunan fisik yang belum dilaksanakan. Kenyataannya
sekarang di Indonesia, AMDAL dilakukan tatkala pembangunan fisik sedang
berjalan. Akhirnya AMDAL dijadikan alat pembenaran semata, tidak lebih dari
itu. Oleh karna itu tak heran kalau masih saja ditemukan persoalan lingkungan
padahal sudah dibuat AMDAL-nya.[45]
Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil
perannya dalam upaya pengendalian dampak lingkungan, termasuk dalam pengawasan AMDAL di berbagai tingkatan. Terlebih lagi, pasca
dikeluarkannya PP No. 25 tahun 2000, menjadikan
hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yang pada akhirnya menjadikan
lingkungan hidup sebagai bagian yang menjadi tidak begitu penting. Empat
kelompok parameter yang terdapat di studi AMDAL ,
meliputi Fisik – kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi;
Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi), Biologi
(Flora; Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), dan Kesehatan
masyarakat, ternyata juga masih sangat menekankan pada kepentingan formal saja.
Lalu kemudian, permasalahan sosial-budaya dan posisi rakyat menjadi bagian yang
dilupakan.
Satu hal dari proses di Komisi Penilai AMDAL, ketika ternyata terjadi pembohongan dalam dokumen AMDAL (dalam hal ini saat penilaian dokumen AMDAL
Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dianggap sebagai
kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan
politis dibalik sebuah rencana kegiatan. Hal ini bukan hanya terjadi sekali.
Dalam beberapa kali diskusi dengan para pihak yang dilibatkan dalam Komisi
Penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam
proses penilaian AMDAL. Tidak adanya kriteria dan
indikator penilaian, telah menjadikan proses penilaian AMDAL
menjadi sangat subyektif. Dan kemudian, penilaian yang sepotong-sepotong pun
pada akhirnya menjadikan aspek dampak lingkungan hidup (sebagai sebuah komponen
yang komprehensif) menjadi bagian yang sengaja untuk dilupakan.
Posisi kelayakan kegiatan dari AMDAL,
sebenarnya sangat tergantung pada kelompok Akademisi atau para ahli yang
dilibatkan dalam Komisi Penilai AMDAL. Ketika kemudian
independensi (kebebasan ikatan) dari akademisi dalam menilai dokumen diikat
saat kelompok ini pun menjadi konsultan penyusun AMDAL,
telah menjadikan kelompok akademisi atau para ahli tidak lagi profesional dalam
mengambil keputusan.
AMDAL yang pada awalnya ingin menaikkan posisi tawar
lingkungan hidup dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap
hilangnya hak lingkungan hidup. Setiap kali sebuah kegiatan dan/atau usaha
sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hidup maupun komunitas
rakyat, maka AMDAL berada di barisan terdepan untuk
mengeliminir gejolak yang terjadi. Dengan melihat kondisi ini, maka bukan tidak
mungkin AMDAL akan berkontribusi terhadap terjadinya
ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan seluruh atau sebagian dari sebuah
ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat terjadi dikarenakan tidak adanya
perangkat penyaring (filter) dari kegiatan pengrusakan lingkungan hidup.
Sebagaimana telah dievaluasi di atas, proses AMDAL
di Indonesia memiliki banyak kelemahan, yaitu:
1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses
perijinan suatu rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak terdapat kejelasan
apakah Amdal dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui suatu rencana kegiatan
pembangunan.
2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya
optimal. Selama ini LSM telah dilibatkan dalam sidang-sidang komisi AMDAL, akan
tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima di dalam proses pengambilan
keputusan.
3. Terdapatnya berbagai kelemahan di dalam penerapan
studi-studi AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai
rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan
oleh pihak pemrakarsa.
4. Masih lemahnya metode-metode penyusunan AMDAL,
khususnya aspek sosial budaya, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang
implikasi sosial budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.
Jadi, dapat dikatakan bahwa persoalan lingkungan
hidup di Indonesia baru didekati secara kelembagaan dan baru berhasil dalam
tingkat politis, tetapi masih gagal dalam tingkat pelaksanaannya.
2. Contoh Kasus AMDAL di Indonesia
Di Indonesia banyak sekali terdapat contoh kasus
dari suatu usaha atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan AMDAL hingga dapat
menimbulkan masalah. Berikut ini sebagian kecil dari contoh kasus tersebut :
1. Sebanyak 575 dari 719 perusahaan modal asing (PMA)
dan perusahaan modal dalam negeri (PMDN) di Pulau Batam tak memiliki Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti yang digariskan. Dari 274 industri
penghasil limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), hanya 54 perusahaan yang
melakukan pengelolaan pembuangan limbahnya secara baik. Sisanya membuang
limbahnya ke laut lepas atau dialirkan ke sejumlah dam penghasil air bersih.
Tragisnya, jumlah libah B3 yang dihasilkan oleh 274 perusahaan industri di
Pulau Batam yang mencapai 3 juta ton per tahun selama ini tak terkontrol. Salah
satu industri berat dan terbesar di Pulau Batam penghasil limbah B3 yang tak
punya pengolahan limbah adalah McDermot, ungkap Kepala Bagian Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(BAPEDALDA) kota Batam Zulfakkar di Batam. Menurut Zulfakkar, dari 24 kawasan
industri, hanya empat yang memiliki AMDAL dan hanya satu yang mempunyai unit
pengolahan limbah (UPL) secara terpadu, yaitu kawasan industri Muka Kuning,
Batamindo, Investment Cakrawala (BIC). Selain BIC, yang memliki AMDAL adalah
Panbil Industrial Estate, Semblong Citra Nusa, dan Kawasan Industri Kabil.
Semua terjadi karena pembangunan di Pulau Batam yang dikelola otorita Batam
selama 32 tahun, tak pernah mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial
kemasyarakatan. Seolah-olah investasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan
segalanya. Sesuai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa
mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), maka pengelolan sebuah kawasan industri
tanpa mengindahkan aspek lingkungan, jelas melanggar hukum. Semenjak Pemerintah
Kota Batam dan Bapedalda terbentuk tahun 2000, barulah diketahui bahwa Pulau
Batam ternyata kondisi lingkungan dan alamnya sudah rusak parah.[46]
2. Selama ini, pusat perbelanjaan diserahi tugas
membuat studi analisis mengenai dampak lingkungan. Untuk keperluan itu mereka
menggunakan jasa konsultan. Karena kebebasan itu, dokumen AMDAL umumnya baru
diterima Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup setelah pusat perbelanjaan
mengalami masalah, misalnya akan dijual ke bank dan membutuhkan rekomendasi
AMDAL. Padahal, sesuai prosedur, izin pembangunan pusat perbelanjaan baru
diterbitkan setelah rekomendasi dari BPLHD. Tetapi yang terjadi, AMDAL baru
diserahkan setelah pusat perbelanjaan itu berdiri dan mengalami masalah yang
membutuhkan rekomendasi dari BPLHD. Pembangunan pusat perbelanjaan sering
menimbulkan kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas disekitar tempat pusat
perbelanjaan tersebut.
B.
Penegakan Hukum Lingkungan
Di Indonesia Melalui Konsep AMDAL
- Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia
Penegakan hukum disebut dalam bahasa
Inggris law enforcement. Istilah
penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa
penegakan hukum selalu dengan paksaan (force) sehingga ada yang
berpendapat bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.[47]
Penegakan hukum memiliki arti yang sangat luas meliputi segi preventif dan
represif, cocok dengan kondisi Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif
dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.[48] Secara
konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[49]
Penegakan hukum lingkungan berkaitan
erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap
peraturan yang berlaku. Pengertian penegakan hukum lingkungan dikemukakan oleh
Biezeveld sebagai berikut:[50]
Environmental law enforcement can be
defined as the application of legal govermental powers to ensure compliance
with environmental regulations by means of:
a.
Administrative supervision of the compliance with
environmental regulations
b.
Administrative measures or sanctions in case of non
compliance
c.
Criminal investigation in case of presumed offences
d.
Criminal measures or sanctions in case of offences
e.
Civil action (law suit) in case of (threatening) non
compliance
Penegakan hukum lingkungan merupakan
penegakan hukum yang cukup rumit karena hukum lingkungan menempati titik silang
antara antara pelbagai bidang hukum klasik.[51]
Penegakan hukum lingkungan merupakan mata rantai terakhir dalam siklus
pengaturan perencanaan kebijajan tentang lingkungan yang urutannya sebagai
berikut:[52]
1.
Perundang-undangan
2.
Penentuan standar
3.
Pemberian izin
4.
Penerapan
5.
Penegakan hukum
Menurut Mertokusumo, kalau dalam
penegakan hukum, yang diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur
lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah
kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan. Oleh karena itu dalam
penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut yaitu kepastian, kemanfaatan,
dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus mendapat perhatian
secara proposional seimbang dalam penanganannya, meskipun di dalam praktek
tidak selalu mudah melakukannya.[53]
Berbeda halnya dengan M. Daud
Silalahi yang menyebutkan bahwa penegakan hukum lingkungan mencakup penaatan
dan penindakan (compliance and enforcement) yang meliputi hukum
administrasi negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana. [54]
Undang-Undang No.23 Tahun 1997
menyediakan tiga macam penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum
administrasi, perdata dan pidana. Diantara ke tiga bentuk penegakan hukum yang
tersedia, penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum
terpenting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih ditujukan kepada
upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan. Di samping itu,
penegakan hukum administrasi juga bertujuan untuk menghukum pelaku pencemaran
dan perusakan lingkungan.[55]
a. Penegakan Hukum Administrasi.
Penegakan
hukum lingkungan administrasi pada dasarnya berkaitan dengan pengertian dari
penegakan hukum lingkungan itu sendiri serta hukum administrasi karena
penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan
kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga
bidang hukum yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan demikian penegakan
hukum lingkungan merupakan upaya untuk mencapai ketaatan dan persyaratan dalam
ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan
penerapan (atur dan awasi) atau control and common sarana administratif,
keperdataan dan kepidanaan.[56]
Penggunaan hukum administrasi dalam
penegakan hukum lingkungan mempunyai dua fungsi yaitu bersifat preventif dan
represif. Bersifat preventif yaitu berkaitan dengan izin yang diberikan oleh
pejabat yang berwenang terhadap pelaku kegiatan, dan dapat juga berupa
pemberian penerangan dan nasihat. Sedangkan sifat represif berupa sanksi yang
diberikan oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku atau penanggung jawab
kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran.[57]
Penegakan hukum administrasi
memberikan sarana bagi warganegara untuk menyalurkan haknya dalam mengajukan
gugatan terhadap badan pemerintahan. Gugatan hukum administrasi dapat terjadi
karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses penerbitan sebuah Keputusan Tata
Usaha Negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.[58]
Penegakan hukum administrasi yang
bersifat preventif berawal dari proses pemberian izin terhadap pelaku kegiatan
sampai kewenangan dalam melakukan pengawasan yang diatur dalam Pasal 18, 22,
23, dan 24 UUPLH. Sedangkan yang bersifat represif berhubungan dengan sanksi
administrasi yang harus diberikan terhadap pencemar yang diatur dalam Pasal 25
sampai Pasal 27 UUPLH.
Pelanggaran tertentu terhadap
lingkungan hidup dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan atau
kegiatan. Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda, mulai
dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang
menimbulkan korban. Pelanggaran tertentu merupakan pelanggaran oleh usaha dan
atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya,
misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan
untuk kepentingan efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan ditaati oleh
masyarakat. Sanksi itu pula sebagai sarana atau instrumen untuk melakukan
penegakan hukum agar tujuan hukum itu sesuai dengan kenyataan.[59]
Siti Sundari Rangkuti menyebutkan
bahwa penegakan hukum secara preventif berarti pengawasan aktif dilakukan
terhadap kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut
peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah
dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan hukum preventif adalah penyuluhan,
pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan
sampel, penghentian mesin dan sebagainya). Dengan demikian izin penegak hukum yang utama di
sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan
mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan
dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan.[60]
Dalam rangka efektifitas tugas
negara, Pasal 25 UUPLH memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan
pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk menanggulangi
akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan pemulihan.
Disamping paksaan pemerintah, upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah
melalui audit lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu instrumen penting
bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi kegiatan
dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang telah ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara
sukarela untuk memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan standar yang
diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha atau kegiatan yang
bersangkutan.
Penegakan hukum administrasi yang
bersifat represif merupakan tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi
administrasi terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup. Sanksi
administrasi berupa:[61]
(1)
pemberian teguran keras
(2)
pembayaran uang paksaan
(3)
penangguhan berlakunya izin.
(4) pencabutan izin
Mas Achmad Santosa menyebutkan bahwa
penegakan hukum lingkungan di bidang administrasi memiliki beberapa manfaat
strategis dibandingkan dengan peranngkat penegakan hukum lainnya oleh karena:
-
Penegakan hukum lingkungan dapat dioptimal sebagai perangkat
pencegahan.
-
Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih efisien dari
sudut pembiayaan bila dibandingkan dengan penegakan hukum perdata dan pidana.
Pembiayaan untuk penegakan hukum administrasi hanya meliputi pembiayaan
pengawasan lapangan dan pengujian laboratorium.
-
Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih memiliki
kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dimulai dari proses perizinan,
pemantauan, penaatan/ pengawasan dan partisipasi masyarakat dal;am mengajukan
keberatan untuk meminta pejabat tata usaha negara dalam memberlakukan sangsi
administrasi.
Perangkat penegakan hukum
administrasi sebagai sebuah sistem hukum dan pemerintahan paling tidak harus
meliputi, yang merupakan prasyarat awal dari efektifitas penegakan hukum
lingkungan administrasi yaitu :
1.
Izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan dan
pengendalian.
2.
Persyaratan dalam izin dengan merujuk pada AMDAL, standar
baku mutu lingkungan, peraturan perundang undangan.
3.
Mekanisme pengawasan penaatan.
4.
Keberadaan pejabat pengawas yang memadai secara kualitas dan
kuantitas
5.
Sanksi administrasi.
Selanjutnya Mas Achmad Santosa
mengemukakan sepuluh mekanisme penegakan hukum lingkungan administrasi yaitu:
1.
Permohonan izin harus disertai informasi lingkungan sebagai
alat pengambilan keputusan-studi AMDAL: RKL, dan RPL, atau UKL dan UPL dan
informasi-informasi lingkungan lainnya.
2.
Konsultasi publik dalam rangka mengundang berbagai masukan
dari masyarakat sebelum izin diterbitkan.
3.
Keberadaan mekanisme pengolahan masukan publik untuk mencegah
konsultasi publik yang bersifat basa basi.
4.
Atas dasar informasi-informasi yang disampaikan dan masukan
publik, pengambilan keputusan berdasarkan kelayakan lingkungan di samping
kelayakan dari sudut teknis dan ekonomis dilakukan.
5.
Apabila izin telah dikeluarkan, maka izin tersebut harus
diumumkan dan bersifat terbuka untuk umum.
6.
Laporan penaatan yang dibuat secara berkala oleh pemegang
izin dan disampaikan kepada regulator.
7.
Inspeksi lapangan dibuat secara berkala dan impromtu sesuai
dengan kebutuhan.
8.
Tersedianya hak dan kewajiban pengawas dan hak serta
kewajiban objek yang diawasi yang dijamin oleh undang-undang.
9.
Pemberlakuan sanksi administrasi yang diberlakukan secara
sistematis dan bertahap.
10. Mekanisme koordinasi
antara pejabat yang bertanggung jawab di bidang penegakan hukum administrasi
dengan penyidik pidana apabila pelanggaran telah memenuhi unsur-unsur pidana.
b. Penegakan Hukum Perdata
Penggunaan hukum perdata dalam
penegakan hukum lingkungan hidup berkaitan dengan penyelesaian lingkungan hidup
akibat dari adanya perusakan lingkungan oleh pelaku usaha atau kegiatan. Di
sini penegakan hukum perdata berperan dalam bentuk permintaan ganti rugi oleh
korban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup kepada pihak pencemar yang
dianggap telah menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan.
Penggunanaan instrumen hukum perdata
dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan
hidup pada hakekatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan
perundang-undangan.[62] Ada dua
macam cara yang dapat ditempuh untuk meyelesaikan sengketa lingkungan hidup:
1. Penyelesaian melalui mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan.
2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Tujuan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan adalah untuk mencari kesepakatan tentang bentuk dan
besarnya ganti rugi atau menentukan tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh
pencemar untuk menjamin bahwa perbuatan itu tidak terjadi lagi dimasa yang akan
datang (pasal 31 UUPLH). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga baik yang memiliki ataupun yang
tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, serta membolehkan masyarakat
atau pemerintah membuat lembaga penyedia jasa lingkungan untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan.
Diketahui bahwa dalam
kasus pencemaran lingkungan, korban pada umumnya awam soal hukum dan seringkali
berada pada posisi ekonomi lemah bahkan sudah berada dalam keadaan sekarat.
Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang memerlukan ganti
kerugian justru dibebani membuktikan kebenaran gugatannya. Menyadari kesulitan
itu maka tersedia alternatif konseptual dalam hukum lingkungan keperdataan yang
merupakan asas tanggung jawab mutlak. Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997 mengandung
sistem “Liability without fault” atau “strict liability”.
Batasan dari sistem ini
adalah kalau pencemaran atau perusakan lingkungan tersebut menimbulkan dampak
yang besar dan penting, misalnya akibat dari pencemaran tersebut menimbulkan
korban yang banyak dan kematian, sehingga korban tidak perlu lagi membuktikan kesalahan
dari pelaku.
Strict liability meringankan beban
pembuktian. Kegiatan-kegiatan yang dapat diterapkan prinsip strict liability
diatur dalam Pasal 35 UUPLH sebagai berikut: usaha dan kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun, serta kegiatan yang mengahsilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun.
c. Penegakan Hukum Pidana
Instrumen
pidana ini sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan untuk mengantisipasi
perusakan dan pencemaran lingkungan. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 dikenal dua
macam tindak pidana yaitu:[63]
1.
Delik materi (generic crimes)
Merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau perusakan
lingkungan. Perbuatan ,elwan hukum seperti itu tidak harus dihubungkan dengan
pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi sehingga delik materil ini disebut
juga sebagai Administrative Independent Crimes.
2.
Delik formil (spesific crimes)
Delik ini diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum
administrasi. Oleh karena itu delik formil dikenal juga sebagai Administrative
Dependent Crimes.
Dalam UUPLH dirumuskan beberapa perbuatan yang diklasifikasikan sebagai
kejahatan:
a.
kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
lingkungan hidup.
b.
Kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan
terhadap lingkungan hidup
c.
Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
lingkungan hidup
d.
Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan
lingkungan hidup
e.
Kesengajaan melepas atau membuang zat, energi dan atau
komponen lain yang berbahaya
f.
Kesengajaan memberikan informasi palsu atau menghilangkan
atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya
dengan butir (e)
g.
Kealpaan melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan dalam
butir (e) dan (f) diatas.
Sanksi pidana dalam perlindungan
lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimum remedium, dimana tuntutan pidana merupakan
akhir mata rantai yang panjang. Bertujuan untuk menghapus atau mengurangi
akibat-akibat yang merugikan terhadap lingkungan hidup. Mata rantai tersebut
yaitu:[64]
1.
penentuan kebijaksanaan, desain, dan perencanaan, pernyataan
dampak lingkungan;
2.peraturan tentang standar atau pedoman minimum prosedur
perizinan;
3.
keputusan administratif terhadap pelanggaran, penentuan
tenggang waktu dan hari terakhir agar peraturan ditaati;
4.
gugatan perdata untuk mencegah atau menghambat pelanggaran,
penelitian denda atau ganti rugi;
5.
gugatan masyarakat untuk memaksa atau mendesak pemerintah
mengambil tindakan, gugatan ganti rugi;
6.tuntutan pidana.
Fungsionalisasi hukum
pidana untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan diwujudkan melalui
perumusan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setidaknya ada dua alasan tentang mengapa sanksi pidana diperlukan. Pertama,
sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan manusia seperti
harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan seperti
harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena
manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik apabila
persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak dipenuhi. Kedua,
pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan untuk memberikan rasa takut kepada
pencemar potensial. Sanksi pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah
memulihkan lingkungan yang tercemar, penutupan tempat usaha dan pengumuman
melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik pencemar yang bersangkutan.[65]
Apabila perbuatan
pencemaran lingkungan hidup ini dikaitkan dengan peranan atau fungsi dari hukum
pidana tadi maka peranan atau fungsi dari UULH adalah adalah sebagai social
control, yaitu memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah yang
berlaku, dalam hal ini adalah kaidah-kaidah yang berkenaan dengan lingkungan
hidup. Kemudian apabila dihubungkan dengan masyarakat yang sedang membangun,
maka dapat dikatakan bahwa peranan atau fungsi hukum pidana adalah sebagai
sarana penunjang bagi pembangunan berkelanjutan.[66]
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Lingkungan
Dalam penegakan hukum lingkungan menurut
Benjamin van Rooij, ada 6 faktor penting yang menentukan proses penegakan hukum
yakni:[67]
1.
Faktor-faktor sosial, ekonomi, politik tingkat makro.
2.
Faktor-faktor undang-undang yang berlaku
3.
Faktor-faktor antar kelembagaan
4.
Faktor-faktor internal kelembagaan
5.
Faktor-faktor kasus terkait
6.
Faktor terkait dengan lembaga individual
Selain faktor-faktor diatas, faktor
lain yang sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan adalah masalah
pembuktian.[68] Dalam penegakan hukum lingkungan
faktor-faktor tersebut saling terkait dan tidak bisa berdiri sendiri.
Keterkaitan tersebut tampak sebagai berikut:
1.
Faktor-faktor Sosial, Ekonomi, Politik pada Tingkat Makro.
Ada
lima faktor pada tingkat makro yang mempunyai pengaruh utama terhadap keputusan
penegakan hukum, yaitu:
a.
kebijakan umum, melihat kepada otoritas dan prioritas
penegakan hukum lingkungan dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan hidup.
b.
Kinerja ekonomi negara akan mempengaruhi penegakan hukum
lingkungan.
c.
Ketidakstabilan sosial dan kondisi keamanan dalam negara akan
mempengaruhi penegakan hukum lingkungan.
d.
Birokrasi, struktur birokrasi baik yang bersifat
sentralisasi, desentralisasi maupun dekosentrasi akan mempengaruhi efektifitas,
efisiensi penegakan hukum lingkungan hidup dan kontrol terhadap administrasi
baik pusat maupun daerah.
e.
Kesadaran lingkungan pada level negara lebih tinggi di negara
maju dibandingkan di negara berkembang. Hal ini dipengaruhi oleh para pembuat
keputusan yang tidak memihak pada perlindungan lingkungan hidup.
2.
Faktor Undang-undang.
Merupakan kerangka normatif sebagai basis penegak hukum dalam membuat
keputusan dan juga merupakan aturan substantif untuk menentukan apakah sudah
terjadi pelanggaran dan aturan prosedural untuk sanksi sebagai reaksi dari
pelanggaran.
3.
Faktor eksternal kelembagaan (Antar Lembaga)
a.
Institusi Kepemimpinan, wibawa seorang penegak hukum memberi
pengaruh terhadap tegaknya hukum.
b.
Lembaga Pelengkap
Dalam penegakan hukum dan penerapan sanksi diperlukan kerjasama dengan
badan dan organisasi lain.
c.
Si pengadu atau korban
Dalam hal ini pengadu adalah korban dari pencemaran atau perusakan
lingkungan. Pengadu bervariasi, muali dari masyarakat sampai LSM atau
organisasi pemerintahan. Tingkat keberhasilan pengaduan ditentukan oleh
pengalaman pengadu. Semakin parah tingkat kerusakan yang diajukan pengadu
semakin tertarik pula lembaga penegak hukum untuk mengambil tindakan secara
serius.
d.
Pelanggar
Status pelanggar mempengaruhi penegakan hukum lingkungan. Semakin tinggi
status pelanggar semakin besar tekanan pada lembaga untuk tidak melakukan
penegakan hukum. Besar kesalahan yang diadukan oleh pengadu bisa dipengaruhi
oleh pelanggar karena ada interaksi antara pelanggar dengan penegak hukum.
e.
Lembaga Kembaran
Mempengaruhi penegakan hukum karena adanya interaksi dengan lembaga lain
yang berfungsi sebagai lembaga penegak hukum di daerah lain.
f.
Publik Umum Lokal
Apabila pengaduan sudah menarik perhatian publik lokal dan bisa membuat
tindakan yang berbeda dengan lembaga penegak hukum, maka keterlibatan publik
lokal mungkin akan mempolitisir pengaduan.
4.
Faktor Interen Kelembagaan
Faktor interen kelembagaan dipengaruhi oleh:
a.
sumber-sumber, suatu lembaga memerlukan sumber-sumber untuk
mencapai tujuannya. Sumber tersebut sangat dipengaruhi oleh bagaimana tujuan
tersebut ditranslasikan dalam tugas. Sumber yang dimaksud tidak hanya dari segi
finansial tetapi juga sumber daya manusia.
b.
Stuktur internal, menetapkan siapa yang akan melakukan atau
yang mempunyai otoritas terhadap apa yang akan dilakukan dan siapa yang
mempunyai otoritas untuk membuat keputusan atas pengaduan. Dalam struktur
internal juga digariskan hubungan pembuat keputusan hubungan tersebut dikontrol
melalui manajemen internal.
c.
Kepemimpinan
Dalam lembaga publik terdapat dua kepemimpinan yaitu manajer eksekutif
dan manajer personalia. Masing-masing memiliki tugas dan otoritas yang berbeda.
d.
Budaya organisasi, merupakan cara yang terpola yang tepat
dari pertimbangan tentang tugas inti dan hubungan manusia dengan organisasi.
Budaya organisasi dapat membangkitkan semangat kerja dari aparat tanpa perlu
dipaksa oleh pimpinan.
5.
Faktor Kasus Terkait
Ada dua faktor yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan. Pertama,
tingkat keparahan atau kerusakan yang dihasilkan dari suatu pelanggaran pada
resiko tertinggi dan kerusakan aktual. Di sini aparat cendrung menggunakan
sanksi penegakan hukum tertinggi pula. Faktor kedua adalah bukti-bukti yang
dapat dikumpulkan terhadap suatu pelanggaran. Jika bukti lemah maka penegakan
hukum kurang bisa dilakukan.
6.
Faktor Aparat Individual
Aparat harus membuat keputusan berdasarkan sistem hukum yang berlaku
sehingga diharapkan dapat membatu tegaknya hukum lingkungan.
3. Kendala Dalam Penegakan Hukum
Lingkungan
Andi
Hamzah menyebutkan adanya hambatan atau kendala terhadap penegakan hukum
lingkungan di Indonesia:[69]
1.
Hambatan yang bersifat alamiah
jumlah penduduk Indonesia yang besar dan tersebar di beberapa pulau serta
beragam suku dan budaya memperlihakan persepsi hukum yang berbeda, terutama
mengenai lingkungannya.
2.
Kesadaran hukum masyarakat masih rendah
kendala ini sangat terasa dalam penegakan hukum lingkungan Indonesia.
Untuk itu sangat diperlukan pemberian penerangan dan penyuluhan hukum secara
luas.
3.
Peraturan hukum menyangkut penanggulangan masalah lingkungan
belum lengkap, khususnya masalah pencemaran, pengurasan, dan perusakan
lingkungan.
Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup belum
dilengkapi seluruhnya dengan peraturan pelaksanaannya sehingga sebagai kaderwet belum dapat difungsikan secar maksimal.
Misalnya tentang penentuan pelanggaran yang mana dapat diterapkan sebagai
pertanggung jawaban mutlak (strict liability) secara perdata. Sudah ada
ketentuan mengenai AMDAL, baku mutu, tetapi belum ada ketentuan tentang arti
apa yang dimaksud dengan merusak atau rusak lingkungan di dalam ketentuan pidana.
Begitu pula halnya dengan pengertian korporasi, korporasi dapat
dipertanggungjawabkan pidana.
4.
Para penegak hukum belum mantap khususnya untuk penegakan
hukum lingkungan
Para penegak hukum belum menguasai seluk beluk hukum lingkungan. Hal ini
dapat diatasi dengan memberikan pendidikan dan pelatihan. Disamping itu juga
belum adanya spesialisasi penegak hukum di bidang lingkungan.
5.
Masalah pembiayaan
penanggulangan masalah lingkungan memerlukan biaya yang besar disamping
penguasaan teknologi dan manajemen. Perlu diketahui bahwa peraturan tantang
lingkungan mempunyai dua sisi. Sisi yang pertama adalah kaidah atau norma,
sedangkan sisi yang lain adalah instrumen yang merupakan alat untuk
mempertahankan, mengendalikan, dan menegakkan kaidah atau norma itu.
|
PERANAN AMDAL DALAM MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN
A.
Peranan AMDAL dalam Perencanaan Pembangunan
Otto Soemarwoto menyatakan bahwa
pembangunan diperlukan untuk mengatasi banyak masalah, termasuk masalah
lingkungan. Namun pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan dapat membawa dampak
negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif ini dapat berupa pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa kita harus memperhitungkan
dampak negatif dan berusaha untuk menekannya menjadi sekecil-kecilnya. Upaya
yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal ini adalah dengan melakukan
pembangunan yang berwawasan lingkungan yaitu lingkungan diperhatikan sejak
mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada operasi pembangunan itu. Dengan
pembangunan berwawasan lingkungan maka pembangunan dapat berkelanjutan.
Makna pembangunan nasional bukan hanya
untuk meningkatkan ekonomi tetapi pada dasarnya mempunyai arti yang lebih luas
dari perkembangan ekonomi, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti
luas dimana terkandung peningkatan mutu atau kualitas hidup. Untuk mencapai
tujuan ini sumber daya manusia merupakan peran utama di dalam memanfaatkan dan
mengelola sumber daya alam untuk kepentingan manusia pula. Oleh karena itu
untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut, maka kebijaksanaan dalam mengelola
sumber daya alam menjadi kunci utamanya.
Manusia dengan segala kemampuannya
akan selalu berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Makin besar perubahan itu makin besar
pula pengaruh terhadap diri manusia. Untuk perubahan yang kecil manusia dengan
mudah menyesuaikan dirinya dengan perubahn itu, tetapi dalam perubahan yang
besar sering ada di luar kemampuan diri sehingga perubahan itu dalam hal-hal
tertentu dapat mengancam kelangsungan hidup.[70]
Makin maju teknologi, makin
besar pula kemampuan manusia untuk merubah lingkungan. Pengaruh perubahan
lingkungan akibat suatu kegiatan pembangunan terhadap masyarakat, ada yang
memberikan keuntungan pada kehidupan sosial ekonomi, tetapi ada pula yang
menimbulkan kerugian terhadap kesejahteraan rakyat sehingga menambah beban
masyarakat dan mengurangi manfaat dari pembangunan itu.
Dari uraian di atas dalam
rangka pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup maka nampak gambaran
bagi proyek-proyek yang akan dibangun atau yang telah berjalan, perlu diteliti
sampai seberapa besar dapat meningkatkan kualitas ligkungan hidup setempat.
Selain itu terkandung pula pengertian seberapa besar dapat memaksimumkan
manfaat (dampak positif) terhadap lingkungan yang mengandung makna harus dapat
menciptakan kegiatan ekonomi baru dan penyediaan fasilitas sosial ekonomi bagi
masyarakat setempat. Atau sebaliknya malah
menurunkan kualitas lingkungan hidup dalam arti lebih banyak memberikan
kerugian (dampak negatif) bagi masyarakat sekitar.
Untuk mengatasi semua itu,
analisa dampak lingkungan adalah salah satu cara pengendalian yang efektif
untuk dikembangkan. AMDAL bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan
pengaruh-pengaruh buruk (negatif) terhadap lingkungan dan bukan menghambat
aktifitas ekonomi. AMDAL pada hakekatnya merupakan penyempurnaan suatu proses
perencanaan proyek pembangunan di mana tidak saja diperhatikan aspek sosial
proyek itu, melainkan juga aspek pengaruh proyek itu terhadap sosial budaya, fisika,
kimia, dan lain-lain.[71]
Tujuan dan sasaran utama AMDAL
adalah untuk menjamin agar suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat
beroperasi secara berkelanjutan tanpa merusak dan mengorbankan lingkungan atau
dengan kata lain usaha atau kegiatan tersebut layak dari segi aspek lingkungan.
Sedangkan kegunaan AMDAL adalah sebagai bahan untuk mengambil kebijaksanaan
(misalnya perizinan) maupun sebagai pedoman dalam membuat berbagai perlakuan
penanggulangan dampak negatif.
Secara umum kegunaan AMDAL
adalah:
1. Memberikan informasi secara jelas mengenai
suatu rencana usaha, berikut dampak-dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya.
2. Menampung aspirasi, pengetahuan dan
pendapat penduduk khusunya dalam masalah lingkungan sewaktu akan didirikannya
suatu rencana proyek atau usaha.
3. Menampung informasi setempat yang berguna
bagi pemrakarsa dan masyarakat dalam mengantisipasi dampak dan mengelola
lingkungan.
Selanjutnya dalam usaha
menjaga kualitas lingkungan, secara khusus AMDAL berguna dalam hal:
1.
Mencegah agar potensi sumber daya alam yang dikelola tidak rusak, terutama
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
2. menghindari efek samping dari pengolahan
sumber daya terhadap sumber daya alam lainnya, proyek-proyek lain, dan
masyarakat agar tidak timbul pertentangan-pertentangan.
3. mencegah terjadinya perusakan lingkungan
akibat pencemaran sehingga tidak mengganggu kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan
masyarakat.
4. agar dapat diketahui manfaatnya yang
berdaya guna dan berhasil guna bagi bangsa, negara dan masyarakat.
Melalui pengkajian AMDAL,
kelayakan lingkungan sebuah rencana usaha atau kegiatan pembangunan diharapkan
mampu optimal meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan yang negatif, serta
dapat memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efesien.
Munn (1979) sebagaimana
dikutip oleh Helneliza, mengemukakan bahwa AMDAL merupakan salah satu dari
bagian perencanaan dalam rangka menghasilkan tindakan pembangunan yang selaras
dengan lingkungan, memanfaatkan sumber daya lingkungan dengan sebaik-baiknya
dan menghindari degradasi. Di banyak negara AMDAL dinyatakan berhasil
menghambat laju kerusakan lingkungan. Hasil KTT Bumi di Rio de Jeneiro telah
membuktikan hal ini, di mana ± 158 negara menyatakan bahwa AMDAL merupakan alat
yang efektif dalam mencegah kerusakan lingkungan. AMDAL sebagai bagian yang
integral dari pembangunan berkelanjutan, memberi arti bahwa sekurang-kurangnya
dengan adanya AMDAL mengingatkan pemrakarsa supaya memperhatikan kelestarian
lingkungan.[72]
Dalam membangun sebuah proyek,
sebelumnya tentu harus dilakukan identifikasi masalah mengapa suatu proyek
pembangunan ingin dilaksanakan dan tentu saja harus jelas tujuan dan
kegunaannya. Selanjutnya diadakan studi kelayakan secara teknik, ekonomis, dan
lingkungan sebelum melangkah ke perencanaan dari pembangunan proyek.
Pelaksanaan pembangunan proyek
sebaiknya dimulai setelah hasi AMDAL diketahui sehingga dapat dilakukan
optimasi untuk mendapatkan keadaan yang optimum bagi proyek tersebut. Dalam hal
ini, dampak lingkungan dapat dikendalikan melalui pendekatan teknik dan
pengendalian limbah sehingga dapat menghasilkan biaya pengelolaan dampak yang
murah dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan.
Menurut Imam Supardi,
pengelolaan lingkungan dalam usaha menghindari kerusakan akibat dari satu proyek
pembangunan baru dapat dilakukan setelah diketahui dampak lingkungan yang akan
terjadi akibat dari proyek-proyek pembangunan yang akan dibangun. Untuk
menghindari terjadinya kegagalan dalam pengelolaan lingkungan, maka harus
selalu dilakukan pemantauan sejak awal pembangunan secara berkala. Hasil
pemantauan ini dapat dipakai untuk memperbaiki bahkan mengubah pengelolaan
lingkungan, jika memang hasil pemantauan tidak sesuai dengan pendugaan pada
AMDAL atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk mengoreksi pendugaan AMDAL yang
mungkin kurang mengena.[73]
Dari hasil AMDAL dapat
diketahui apakah proyek pembangunan berpotensi menimbulkan dampak atau tidak.
Bila berdampak besar terutama yang negatif, tentu saja proyek tersebut tidak
boleh dibangun atau boleh dibangun dengan persyaratan tertentu agar dampak
negatif tersebut dapat dikurangi sampai tidak membahayakan lingkungan. Dampak negatif yang perlu diperhatikan
adalah:
1.
Apakah
dampak negatif yang mungkin timbul itu melampaui atau tidak, batas toleransi
pencemaran terhadap kualitas lingkungan.
2.
Apakah
dengan banyak yang akan dibangun ini atau tidak atau akan menimbulkan gejolak
terhadap banyak pembangunan lain atau masyarakat.
3.
Apakah
dampak negatif ini dapat mempengaruhi kehidupan atau keselamatan masyarakat
atau tidak.
4.
Seberapa
jauh perubahan ekosistem yang mungkin terjadi sebagai akibat pembangunan proyek
ini.
Bila berdasarkan AMDAL tidak
akan menimbulkan dampak yang berarti, maka proyek pembangunan dapat
dilaksanakan sesuai usulan dengan tetap berpedoman agar tetap memperhatikan
dampak-dampak negatif yang mungkin timbul, diluar perkiraan semula. Dalam hal
ini, sebelum proyek dilaksanakan haruslah ditentukan dulu pedoman pengelolaan
dan pemantauan lingkungan sebagai usaha menjaga kelestariannya. Perlu kiranya
ditekankan, AMDAL sebagai alat dalam perencanaan harus mempunyai peranan dalam
pengambilan keputusan tentang proyek yang sedang direncanakan. Artinya, AMDAL
tidak banyak artinya apabila dilakukan setelah diambil keputusan untuk
melaksanakan proyek tersebut. Pada lain pihak juga tidak benar untuk menganggap
AMDAL sebagai satu-satunya faktor penentu dalam pengambilan keputusan tentang
proyek itu. Yang benar ialah AMDAL merupakan masukan tambahan untuk pengambilan
keputusan, disamping masukan dari bidang teknis, ekonomi, dan lain-lainnya.
Misalnya dapat saja terjadi laporan AMDAL menyatakan bahwa suatu proyek
diprakirakan akan mempunyai dampak lingkungan yang besar dan penting. Namun
pemerintah berdasarkan atas pertimbangan politik atau keamanan yang mendesak
memutuskan untuk melaksanakan proyek tersebut. Yang penting untuk dilihat dalam
hal ini adalah keputusan tersebut diambil tidak dengan mengabaikan aspek
lingkungan, melainkan setelah mempertimbangkan dan memperhitungkannya. Dengan
ini keputusan tersebut diambil dengan menyadari sepenuhnya akan kemungkinan
akan terjadinya dampak lingkungan yang negatif. Maka pemerintah pun dapat
melakukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan tersebut sehingga kelak tidak
akan dihadapkan pada suatu kejutan yang tidak menyenagkan dan tidak terduga
sebelumnya. Dengan persiapan ini dampak negatif dapat diusahakan menjadi
sekecil-kecilnya.[74]
B.
Dimensi AMDAL dalam Pembangunan Berwawasan
Lingkungan.
Dr Ardinis Arbain mengungkapkan bahwa peranan AMDAL sangat
kecil dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Menurut beliau yang paling
penting adalah penataan ruang. Dalam tata ruang itu harus jelas pemisahan
antara kawasan budi daya dan kawasan lindung. Pembangunan hanya boleh dilakukan
di kawasan budi daya sedangkan kawasan lindung harus tetap terjaga
kelestariannya sesuai dengan peruntukannya.[75]
Keadaan alam ini bervariasi, tetapi bukan berarti bahwa alam
ini tidak teratur. Hubungan sebab akibat tetaplah berjalan baik. Tentu saja,
peristiwa-peristiwa yang sesekali terjadi seperti badai, gempa atau letusan
gunung berapi tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dihindari. Tetapi
frekuensinya dapat dapat digambarkan dengan fungsi distribusi kemungkinan.
Namun, peristiwa-peristiwa seperti banjir dan tanah longsor merupakan peristiwa
yang penyebabnya sebagian besar disebabkan oleh ulah tangan manusia. Manusia
dengan jumlah dan kegiatannya yang terus bertambah telah berangsur-angsur
merubah kawasan lindung menjadi kawasan pemukiman, pabrik dan pertokoan.
Akibatnya alam jadi tidak seimbang dan keberlanjutan ekosistem mulai terancam.
Sebetulnya alam dapat dipelajari sebagai sebuah sistem. Itulah satu-satunya
cara pengkajian dampak lingkungan yang perlu dilakukan.
Tugas utama dari AMDAL adalah memilah perubahan-perubahan
yang ditimbulkan oleh aktifitas pembangunan yang ditawarkan agar menjadi bagian
dari siklus alam. Satu eksperimen yang terkendali dapat dilakukan untuk
membandingkan perubahan dalam parameter kualitas lingkungan. Satu sistem
disiapkan sebagai pengontrol, fungsi ini dapat dibebankan kepada kawasan
lindung. Sedangkan sistem alam lainnya yaitu di kawasan budi daya berlangsung
aktifitas pembangunan. Pengkajian AMDAL yang terpenggal-penggal atau
mengabaikan satu komponen tertentu dapat menyebabkan terganggunya kestabilan
komponen yang lain.
AMDAL dimaksudkan untuk pembangunan, perbaikan pembangunan
diidentifikasi dengan AMDAL. AMDAL merupakan salah satu alat pembangunan
berkelanjutan sebagai sarana pengambilan keputusan di tingkat proyek.
Seharusnya AMDAL sebagai salah satu motor pembangunan, namun memang jika salah
langkah proses AMDAL bisa jadi beban.[76]
C.
Efektifitas AMDAL
Analisis mengenai dampak lingkungan
telah banyak dilakukan di Indonesia dan di negara lain. Akan tetapi pengalaman
menunjukkan, AMDAL tidak selalu memberi hasil yang kita harapakan sebagai alat
perencanaan. Bahkan tidak jarang, AMDAL hanyalah merupakan dokumen formal saja,
yaitu sekedar untuk memenuhi ketentuan dalam undang-undang. Dengan kata lain,
pelaksanaan AMDAL hanyalah pro forma saja. Setelah laporan AMDAL
didiskusikan dan disetujui, laporan tersebut disimpan dan tidak digunakan lagi.
Laporan itu tidak mempunyai pengaruh terhadap perencanaan dan pelaksanaan
proyek selanjutnya. Hal ini juga terjadi di nagara yang telah maju, bahkan di
Amerika Serikat yang merupakan negara pelopor AMDAL.
Otto Soemarwoto mengemukakan beberapa
sebab tidak digunakannya AMDAL yaitu:
- AMDAL dilakukan terlambat sehingga tidak dapat lagi memberikan masukan untuk pengambilan keputusan dalam proses perencanaan.
- Tidak adanya pemantauan, baik pada tahap pelaksanaan maupun pada tahap operasional proyek..
- Adanya penyalahgunaan AMDAL untuk membenarkan diadakannya suatu proyek.[77]
Pelaksanaan AMDAL sekedar
untuk memenuhi persyaratan peraturan saja, membuat tenaga dan biaya yang
dikeluarkan menjadi mubazir. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha agar AMDAL
benar-benar dapat menjadi alat perencanaan program dan proyek untuk mencapai
tujuan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Sehubungan dengan itu, Otto
Soemarwoto menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan
efektifitas AMDAL ialah:
- Menumbuhkan pengertian di kalangan para perencana dan pemrakarsa proyek bahwa AMDAL bukanlah alat untuk menghambat pembangunan, melainkan sebaliknya, AMDAL adalah alat untuk menyempurnakan perencanaan pembangunan. Tujuan ini dapat dicapai dengan menginternalkan AMDAL ke dalam telaah kelayakan proyek. Dengan penyempurnaan ini hasil yang dicapai dalam pembangunan akan dapatlebih baik, yaitu pembangunan itu menjadi berwawasan lingkungan dan terlanjutkan. AMDAL dapat juga menghemat biaya dengan menghindari terjadinya biaya menjadi mubazir, karena kemudian ternyata proyek itu tidak layak dari segi lingkungan. Atau biaya proyek naik sangat besar, karena diperlukannya biaya tambahan untuk menanggulangi dampak negatif tertentu. Dalam hal lain ada manfaat proyek yang tidak termanfaatkan.
- Sebagian besar laporan AMDAL mengandung banyak sekali data, tetapi banyak diantaranya yang tidak relevan dengan masalah yang dipelajari. Tidak atau kurang adanya fokus merupakan kelemahan yang banyak terdapat dalam pelaksanaan AMDAL. Hal ini perlu dikoreksi dengan melakukan pembatasan ruang lingkup dengan pelingkupan (scoping) yang baik. Koreksi akan lebih mempermudah penggunaan laporan AMDAL oleh para perencana dan pemrakarsa pembangunan.
- Agar para perencana dan pelaksana proyek dapat menggunakan hasil telaah AMDAL dengan mudah, laporan AMDAL haruslah ditulis dengan jelas dan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh perencana dan pelaksana tersebut. Untuk maksud ini, ”bahasa ilmiah” perlu dihindari, namun hasil AMDAL itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
- Rekomendasi yang diberikan haruslah spesifik dan jelas sehingga para perencana dapat menggunakannya. Rekomendasi yang bersifat umum tidak banyak gunanya. Misalnya, rekomendasi dalam laporan AMDAL untuk perencanaan sebuah pabrik yang menyatakan perlunya diambil tindakan pengendalian pencemaran tanpa menerangkan bagaimana caranya, tidaklah dapat membantu. Masalah ini akan teratasi dengan sendirinya apabila AMDAL diintegrasikan ke dalam telaah kelayakan karena dengan integrasi itu terjadi interaksi umpan balik.
- Persyaratan proyek yang tertera dalam laporan AMDAL yang telah disetujui harus menjadi bagian integral izin pelaksanaan proyek dan mempunyai kekuatan yang sama seperti apa yang termuat dalam rancangan rekayasa yang telah disetujui oleh badan yang bersangkutan.
- Adanya komisi AMDAL yang berkualitas dan berwibawa. Badan pemerintah tersebut haruslah mempunyai wewenang untuk mengatasi bahwa yang direkomendasikan dalam laporan AMDAL dan telah menjadi salah satu dasar pemberian izin, benar-benar digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek yang bersangkutan. Jika terjadi penyimpangan, badan pemerintah tersebut harus dapat menegur dan apabila perlu memerintahkan untuk membongkar bagian proyek yang tidak sesuai atau bahkan memerintahkan untuk menghentikan proyek tersebut. Dalam kaitan ini pemantauan pelaksanaan proyek merupakan bagian penting dalam tindak lanjut AMDAL.
- Belum digunakan RPL sebagai umpan balik untuk menyempurnakan implementasi dan operasi proyek sehingga AMDAL bersifat kegiatan yang statis dan bukannya dinamis yang dengan terus menerus berinteraksi dengan implementasi dan operasi proyek.[78]
|
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Penegakan hukum lingkungan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini menyediakan tiga macam aspek penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana. Salah satu upaya penegakan hukum lingkungan dengan aspek administrasi adalah melalui konsep AMDAL sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UULH dan tata laksananya oleh PP No 27 Tahun 1999. Hal ini berkaitan dengan pemberian izin terhadap pelaku usaha sampai kewenangan dalam melakukan pengawasan yang diatur dalam Pasal 18-27 UUPLH. Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara juga mempunyai perangkat hukum tersendiri dalam pengelolaan linkungannya. Pada umumnya pengaturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup tumbuh dan berkembang setelah Konferensi Stockholm 1972.
- Analisa mengenai dampak lingkungan merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif. AMDAL pada hakekatnya merupakan penyempurnaan suatu proses perencanaan proyek pembangunan. Dampak negatif yang sering ditimbulkan oleh proyek pembangunan dapat diminimalisir dengan AMDAL. Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal ini adalah dengan melakukan pembangunan yang berwawasan lingkungan yaitu lingkungan diperhatikan sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada operasi pembangunan itu. Dengan pembangunan berwawasan lingkungan maka pembangunan dapat berkelanjutan.
- Sebagaimana telah dievaluasi, proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan, diantaranya: AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam perijinan suatu rencana kegiatan pembangunan, proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selain itu juga terdapatnya berbagai kelemahan di dalam penerapan studi-studi AMDAL dan masih lemahnya metode-metode penyusunan AMDAL khususnya aspek sosial budaya. Untuk mengatasi semua itu, maka Otto Soemarwoto menyarankan untuk meningkatkan efektifitas AMDAL dengan menumbuhkan pengertian di kalangan perencana dan pemrakarsa proyek akan pentingnya AMDAL, melakukan koreksi terhadap laporan AMDAL, dan rekomendasi yang diberikan haruslah jelas sehingga para perencana dapat menggunakannya. Semua itu harus didukung oleh Komisi AMDAL yang berkualitas dan berwibawa.
B. Saran.
Pengelolaan lingkungan sebenarnya
merupakan kegiatan yang dilakukan antar generasi, karena mencakup multi
disiplin. Untuk efektifitas AMDAL instansi lingkungan dan sektoral pemerintah
harus melakukan koordinasi, berbagi informasi dan bekerja sama untuk menerapkan
AMDAL dalam siklus proyek, melakukan evaluasi terhadap usaha penilaian dan
perencanaan lingkungan, serta menyusun rekomendasi.
Memang, untuk menghindari jebakan
ideologi pembangunan, paradigma pembangunan berwawasan lingkungan tentu lebih
menarik. Sejauh paradigma ini bisa diterapkan dengan konsekuen dan dengan
kesadaran yang tinggi, hasilnya akan lebih berkelanjutan. Dengan paradigma
pembangunan berwawasan lingkungan, kita melestarikan ekologi dan sosial budaya
masyarakat demi menjamin kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dengan
paradigma ini, rakyat sendiri yang mengembangkan kemampuan ekonominya sesuai
dengan kondisi yang dihadapi. Khususnya kondisi lingkungan dan sosial budaya.
Dalam rangka itu, masyarakat akan lebih terdorong untuk menjaga lingkungan
karena sadar bahwa kehidupan ekonomi sangat tergantung dari sejauh mana
masyarakat menjaga lingkungannya.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1999 diharapkan AMDAL akan berjalan lebih efektif dari sebelumnya. Dalam
PP ini dinyatakan bahwa penilaian AMDAL menjadi syarat mutlak dalam pemberian
izin usaha. Dengan demikian tidak akan ada izin usaha sebelum AMDAL dianggap
memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi,
diharapkan AMDAL bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan
kejujuran. Pelibatan wakil LSM dan masyarakat pun sangat penting, sehingga
tidak ada lagi keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan
tanpa memiliki suara untuk menyetujui atau menolak.
1. Buku-buku
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta:2005
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, SinarGrafika, Jakarta, 2002
Bruce Mitchell, B. Setiawan dan Dwita Hadi, Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004
Djoko Marsono, Konservasi sumber Daya Alam & Lingkungan Hidup, Bigraf
Publishing bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan YLH,
Yogyakarta:2004
Effendy A. Sumardja, Pokok-Pokok Analisis Kebijakan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 1998.
Eggi Sudjana dan Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif
Etika Bisnis Di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999
F. Gunawan Suratmo, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002
Frenadin Adegustara, Hukum Lingkungan, Diktat kuliah
Universiatas Andalas, Padang, 1998
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi
Aksara, Jakarta:1992
Imam Supardi, Lingkungan Hidup & Kelestariannya, Alumni, Bandung, 2003
Jonny Purba (Penyunting), Pengelolaan Lingkungan Sosial, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta:2005
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1999
Meinhard Schroder, Sustainable Development and Law, W.E.J
Tjeenk Willink Zwolle in samenwerking met het, nederlands Instituut Voor
Sociaal en Economisch Recht NISER, 1996
Moh. Soerjani dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan
dalam Pembangunan, UI-Press:1987
Niniek Suparni, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar
Grafika, Jakarta:1994
|
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup Dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta,
2001
Otto Soemarwoto, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta:2001
Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2003
P. Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah dan Penanggulangannya, Rineka Cipta,
Jakarta:1992
Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001, PT Grasindo,
Jakarta:2000
R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta:1996
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,
Rineka Cipta, Jakarta, 2005
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Edisi Pertama, Airlangga University Press, Surabaya, 1997
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Edisi Kedua, Airlangga University Press, Surabaya:2000
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya, 2005
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan Atas UU No. 23 Tahun 1997,
Djambatan, Jakarta:2003
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, CV Rajawali, Jakarta, 1983
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
Sudharto P. Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2001.
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan, Diktat Kuliah Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang.
Sukanda Husin, Draft Tesis, Bab V: The Existing Legal Framework and Institution in
ASEAN Countries.
Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Airlangga
University Press, Surabaya, 2003
Y. Eko Budi Susilo, Menuju Keselarasan Lingkungan, Averroes
Press, Malang:2003
Zul Endria, Evaluasi Kondisi Pasar Kota Pekanbaru sebagai Salah Satu Sarana dalam
Mewujudkan Kota yang berwawasan Lingkungan, Tesis S-2, Universitas Andalas,
Padang, 2003.
2. Peraturan dan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17
Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha Dan Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi
Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
3. Website
Website; Menteri Negara Lingkungan Hidup, http://www.menlh.go.id
Website; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, http://www.walhi.or.id
Website; Badan Pengendali
Dampak Lingkungan, http://bapedal.go.id
[1] Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001,
PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2001, hal 7.
[2] R.M Gatot
P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 1996, hal 189.
[4] Arindra CK, Melindungi Lingkungan
Selamatkan Pembangunan. Dikutip dari situs www.
Pikiran-rakyat.com/cetak/06-4/05/index.htm, terakhir dikunjungi 24 Agustus
2006.
[5] Pramudya Sunu, Ibid, hal 13.
[6] Harun M. Husein, Lingkungan Hidup
Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1992,
hal. 50.
[7] Eggi Sudjana dan Riyanto, Penegakan
Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika
Bisnis Di Indonesia, Gramedia pustaka utama, 1999, hal xi
[8] Pramudya Sunu, Ibid, hal 22.
[9] Eggi Sudjana dan Riyanto, Ibid,
hal 2
[10] Niniek Suparni, Pelestarian,
Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 1994,
hal 111.
[11] Harun M.Husein, Lingkungan Hidup
Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1992,
hal.36.
[12] Arindra CK, Melindungi Lingkungan
Selamatkan Pembangunan. Dikutip dari situs www.
Pikiran-rakyat.com/cetak/06-4/05/index.htm, terakhir dikunjungi 24 Agustus
2006.
[13] Imam Supardi, Lingkungan Hidup dan
Kelestariannya, Alumni, Bandung 2003, hal. 73.
[15]Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah
Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta,1992, hal 48
[16] Harun M. Husein, Ibid, hal 7.
[17] Harun M Husein, Ibid, hal 1.
[20] R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 35
[21] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi ketiga, Airlangga University
Press, Surabaya, 2005, hal 59.
[22] Ibid,hal 60.
[23] R.M. Gatot P. Soemartono, op.cit, hal 200
[24] Meinhard Schroder, Sustainable Development and
Law, W.E.J Tjeenk Willink Zwolle, 1996, hal 12.
[25] Pramudya Sunu, op.cit, hal 23.
[26] Pramudya Sunu, Ibid, 24
[27] Harun M. Husein, op.cit, hal 123.
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Imam Supardi, Lingkungan Hidup &
Kelestariannya, Alumni, Bandung, 2003, hal.209.
[31] Sudharto P. Hadi, Dimensi Lingkungan
Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada university Press, Yogyakarta, 2001,
hal. 44.
[32] Peraturan Pemerintah Nomor 27 TAhun 1999
Bab III tentang Tata Laksana, Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1999.
[33] Niniek Suparni, op.Cit hal 100-107
[34] Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peran Serta Masyarakat Dalam
Pengelolaan Lingkungan, Majalah OZON Volume 3 No.5, Januari 2002, hal 59
[36] Ibid
[37] Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum
yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan
manusia, atau pola-pola yang menganalisis gejala-gejala social budaya dengan
menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh
gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.
[38] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksaan
Lingkungan Nasional, Edisi Kedua, Airlangga University, Surabaya, 2000
[39] Ibid, hal 127
[40] Tomi Hendartomo, Permasalahan dan Kendala Penerapan AMDAL dalam
Pengelolaan Lingkungan, hal. 11.
[41] http://timpakul
hijaubiru.org/amdal/Hilangnya Hak Lingkungan Hidup. Terakhir dikunjungi tanggal
28 Desember 2006.
[42] Siti Sundari Rangkuti, Hukum
Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Kedua,
Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal 132.
[43] Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peran serta Masyarakat
Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Majalah Ozon Vol 3 No.5, Januari 2002.
[44] Ibid
[45] Majalah OZON, Vol 3 No. 3, Nopember 2001
[46] Kompas 18 Maret 2003.
[47] Andi Hamzah, Penegakan Hukum
Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 48.
[49] Soeryono Soekanto, Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,1983, hal. 3
[50] Siti Sundari Rangkuti, op. cit,
hal 214
[53] R.M Gatot Soemartono, op.cit, hal
66
[54] M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan
Dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni Bandung, 2001,
hal. 215
[55] Sukanda Husin, Penegakan Hukum
Lingkungan, dikta kuliah Hukum Lingkungan Unand, hal 1.
[56] Ninik Suparni, Pelestarian, Pengelolaan
Dan Peneghakan Hukum Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.161
[57] Andi Hamzah, Penegakan Hukum
Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 48
[58] Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan
Bahan Berbahaya Dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya, 2003,
hal 25.
[59] Siswanto Sunarso, Hukum Lingkungan
Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal.
96.
[60] Siti Sundari Rangkuti, op.cit, hal
209
[61] R.M Gatot P. Soemartono, op.cit,
hal 68.
[62] Niniek Suparni, Op. Cit, hal 160
[63] Sukanda Husin, Penegakan Hukum
Lingkungan, hal. 13.
[64] Harun M. Husein, Lingkungan Hidup
Masalah, Pemelolaan Dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal
171.
[65] Takdir Rahmadi, op.Cit, hal 26.
[66] Niniek Suparni, op. Cit, hal 191.
[67] Soeryono Soekanto, op. cit, hal 3
[68] R.M Gatot Soemartono, op. cit, hal
71
[69] Andi Hamzah,, op.Cit, hal. 53-55.
[70] Soeryono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
[71] S.P Hadi, Aspek Sosial AMDAL Sejarah,
Teori dan Metode, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 1995.
[72] Helneliza, Evaluasi Dokumen AMDAL,
Tesis Program Pasca Sarjana Unand, Padang, 2006.
[73] Imam Supardi, Lingkungan Hidup &
Kelestariannya, Alumni, Bandung, 2003.
[74] Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 57.
[75] Diskusi penulis dengan Dr Ardinis Arbain,
Fakultas MIPA Universitas Andalas, Kamis 23 Februari 2007
[76] Niniek Suparni, op.Cit, hal. 119
[78] Ibid, hal. 68-69.
0 komentar:
Posting Komentar