BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Prof. DR. Solly Lubis, SH mengatakan :
“Semenjak lahirnya Negara Kesatuan R.I.
tahun 1945 Otonomi Daerah telah menjiwai ketatanegaraan Indonesia (ps. 18 UUD
1945). Bukti realitasnya beberapa UU tentang Pemerintahan Daerah berotonomi
telah diterbitkan, menyusul dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik
yang terjadi di wilayah dan daerah-daerah di Indonesia dalam kurun waktu 5
(lima) dekade, yang terdiri dari:
- UU
No. 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah,
- UU No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok
tentang Pemerintahan Daerah,
- UU No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah,
- UU No. 18 Tahun 1965, tantang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPRS No. XXI Tahun 1966, tentang
pemberian otonomi seluas-luasnya Kepada Daerah, (tetapi tidak pernah ditindak
lanjuti oleh rejim Orde Baru),
- UU No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah,
- Tap MPR No. XV Tahun 1998,
- UU No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan
Daerah,
- UU No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah.[1]
Secara
estimologi, otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri. Auto artinya sendiri, nomes sama dengan pemerintahan.
Sementara dalam bahasa Yunani, istilah otonomi berasal dari kata autos artinya sendiri. Sedangkan nemein artinya menyerahkan atau
memberikan kekuatan mengatur sendiri. Jadi otonomi dimaknai kemandirian dan
kebebasan mengatur dan mengurus sendiri.[2]
Pemerintahan
sendiri (self goverment, zelfstandingheid)
menunjukan suatu pengertian keterikatan hubungan dengan satuan pemerintah lain
yang lebih besar atau yang mempunyai wewenang menentukan isi dan batas-batas
wewenang satuan pemerintahan sendiri yang tingkatannya lebih rendah atau yang
menjalankan fungsi khusus tertentu.
Jadi
sesungguhnya, otonomi Daerah adalah upaya pelaksanaan roda Pemerintahan Pusat
yang memberikan
wewenangnya kepada pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah
oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD 1945).
Bicara otonomi daerah tidak
dapat dilepaskan dari sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Karena sistem
pemerintahan daerah yang menerapkan otonomi bertujuan untuk lebih
mengoptimalkan kemandirian dan kemampuan daerah dalam mengelola daerahnya
sendiri. Dalam kerangka otonomi daerah dituntut adanya sistem birokrasi yang
kuat dalam menunjang pembangunan daerah.
Namun dilihat dari sejarah
birokrasi di Indonesia, menurut Iswandi, SH dalam tulisannya “Mencari
Format Birokrasi yang Ideal Dalam Kerangka Otonomi Daerah,” Inovatif Jurnal Ilmu Hukum- Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Jambi, bahwa budaya birokrasi pemerintahan di Indonesia
terbentuk melalui proses sejarah yang panjang.
Dimulai masa kerajaan –
kerajaan tradisional kemudian dilanjutkan oleh kekuasaan kolonial belanda yang
masuk ke Indonesia pada abad ke 17 sampai
kedudukan Jepang, masa revolusi kemerdekaan hingga sekarang. Proses sejarah
yang panjang telah banyak menunjukan bukti bahwa birokrasi Indonesia jauh dari
gambaran ideal yang diharapkan oleh rakyat Indonesia.[3]
Merujuk pada birokrasi ala
Max Wiber atau yang lebih dikenal dengan Birokrasi Wiberian yang mencetuskan
bahwa adanya pembagian pekerjaan dari setiap orang dipecah-pecah sampai ke
pekerjaan yang sederhana, rutin dan ditetapkan dengan jelas.
Dan hirarkhi kewenangan
yang jelas. Sebuah struktur multi tingkat yang formal dengan posisi hirarkhi
atau jembatan yang memastikan bahwa setiap jatabatan yang lebih rendah dibawah
supersive dan kontrol dari yang lebih tinggi.
Formalitas yang tinggi.
Ketergantungan kepada peraturan dan prosedur formal untuk memastikan adanya
keseragaman dan untuk mengatur prilaku pemegang pekerjaan. Lalu, bersifat tidak
pribadi (impersonal), pengambilan
keputusan penempatan pegawai didasarkan kemampuan, para pegawai diharapkan
mengejar karir, dan kehidupan organisasi dipisahkan jelas dari kehidupan
pribadi.
Model birokrasi lainnya yakni Parkinson. Birokrasi
dengan tujuan memperbesar kuantitatif (jumlah) birokrasi. Ini dilakukan dengan
cara mengembangkan jumlah anggota birokrasi untuk meningkatkan kapabilitasnya
sebagai alat pembangunan. Disatu sisi dibutuhkan untuk mengakomodasi
perkembangan masyarakat yang semakin maju, disisi lain parkinsonian dibutuhkan
untuk mengatasi persoalan pembangunan yang semakin bertumpuk.
Sedangkan birokrasi
Jaksonian yang dicetuskan seorang Jenderal militer dan seorang negarawan
terkenal dan mantan Presiden AS ke 7 (1824 – 1932), Andrew Jakson. Jaksonian menjadikan birokrasi sebagai
akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat diluar birokrasi dari
ruang politik dan pemerintahan.
Sedangkan birokrasi Orwellian adalah birokrasi
yang menempatkan birokrasi sebagai alat perpanjang tangan negara dalam
menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Dalam model ini, ruang gerak
masyarakat dibatasi dan dikontrol oleh birokrasi. Dalam mode ini birokrasi
berfungsi sebagai pegawas gerak masyarakat, jadi jauh dari konsep ideal sebagai
pelayan masyarakat.[4]
Jika melihat dari hubungan hukum dengan
kekuasaan dapat dirumuskan secara singkat dalam slogan “hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.”[5]
Akan tetapi, baik buruknya
sesuatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan.
Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan keguunaannya
untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat
lebih dahulu.
Hal ini merupakan suatu
yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk
organisasi yang teratur. Dan unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting
dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak
masyarakat.[6]
Dari uraian diatas,
sepertinya tergambar bahwa implementasi hukum pelaksanaan otonomi daerah oleh
penguasa pusat tidak berjalan seperti yang diharapkan. Apalagi tidak didukung sistem
birokrasi yang ideal sehingga memicu faktor politik, ekonomi dan
pengaruh-pengaruh lainnya mendorong pentingnya otonomi itu segera dilaksanakan.
Hal itu juga dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa
pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar
susunan pemerintahan dan antar pemerintahan. daerah, potensi dan keanekaragaman
daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan
yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Hal demikian pula menjadi alasan filosofis bahwa
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
otonomi daerah sehingga perlu diganti.
B. Permasalahan
1.
Apa yang melatar-belakangi belakunya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
2.
Perbandingan hukum otonomi daerah berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1999 dengan Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek hukum berlakunya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Seperti yang
dikatakan Prof. DR. Solly Lubis, bahwa semenjak
lahirnya Negara Kesatuan R.I. tahun 1945 Otonomi Daerah telah menjiwai
ketatanegaraan Indonesia, sesuai Pasal 18 UUD 1945.
Secara historis, bukti realitasnya, sejumlah Undang-undang
yang berkenaan dengan Pemerintahan Daerah berotonomi telah diterbitkan,
menyusul dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik yang terjadi di
wilayah dan daerah-daerah di Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) dekade.
Pada era pemerintahan Presiden Soekarno (1945 –
1965), sejumlah undang-undang terkait otonomi daerah diberlakukan. Diantaranya Undang-undang
Nomor. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah, Undang-undang Nomor 22
Tahun 1948 Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah.
Sementara di era Presiden Soeharto (1966 – 1998),
penguatan terhadap otonomi daerah diatur dalam Tap MPRS No. XXI Tahun 1966
tentang pemberian otonomi seluas-luasnya Kepada Daerah. Namun pada kenyataannya, menurut Prof. DR. Solly
Lubis, SH, hal itu tidak pernah ditindak lanjuti oleh rezim Orde Baru.[7]
Baru pada tahun 1974, dibuatlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah.
Menurut Prof. DR. I Gde Pantja Astawa, SH, MH,
penyelenggaraan pemerintahaan periode ini selalu mengalami pergeseran bandul
antara sentralisasi pemerintahan atau desentralisasi pemerintahan. Ada kalanya,
penyelenggaran pemerintahan daerah lebih berat ke arah bandul sentralisasi. Dan
masa bandul ini, desentralisasi pemerintahan lebih menonjol. Paling tidak hal
itu dapat dilihat dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dinilai berwatak
sentralistik.
Mengutip pernyataan Jhon Glissen
dan Frits Gorle dalam bukunya berjudul “Sejarah Hukum Suatu Pengantar,” oleh
karena hukum adalah suatu produk hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan
kemasyarakatan maka didalam proses penciptaan dan perkembangannya, ditentukan
oleh sejumlah aspek hubungan-hubungan dan perimbangan-perimbangan tersebut. Dan
ada beberapa faktor yang menentukan terjadinya perkembangan hukum yakni faktor
– faktor politik, faktor – faktor ekonomi, faktor agama dan ideologi serta
faktor kultur.[8]
Gambaran perubahan baru akan terjadi saat memasuki
era reformasi, Pada tahun 1998. Gerakan reformasi mendorong diwujudkannya enam
tuntutan diantaranya amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi
Fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM dan pemberantgasan KKN, Otonomi daerah,
kebebasan pers dan mwewujudkan kehidupan demokrasi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat kala itu menilai pentingnya pelaksanaan
otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka melalui
Tap MPR No. XV Tahun 1998 perihal itu ditegaskan kembali.
Tindaklanjutnya, diikuti dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Sebagaimana
diketahui, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 cukup banyak didalamnya meletakan
paradigma baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang
berkenaan dengan otonomi daerah.
Diantaranya,
pertama, pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi daerah
dan tugas pembantuan. Dalam paradigma ini, pemerintahan dekonsentrasi,
sebagaimana yang dalam sarat mewarnai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan
pelaksanaannya pada masa pemerintahan Orde Baru, meskipun secara limitatif
masih diakui keberadaannya pada level provinsi, pada level kabupaten dan kota
yang diakui keberadaannya.
Kedua,
pemerintahan daerah disusun dan dijalankan atas pembagian wewenang dasar
otonomi seluas-luasnya. Paradigma ini menggariskan pembagian wewenang antara pusat dan daerah. Semua
fungsi pemerintahan dibidang administrasi negara dijalankan oleh pemerintahan
daerah, kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat[9].
Hal ini sesuai dengan pasal 7 dan 9.
Dilihat
dari dinamika otonomi dalam kerangka negara hukum, pada prinsipnya setiap
negara kesatuan (unitary state,
eenheidstaat) dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas dan sistem
sentralisasi dan desentralisasi.
Negara
kesatuan yang disusun dan diselenggarakan menurut asas dan sistem sentralisasi
mengandung arti bahwa wewenang untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintah (single
centralized government) atau oleh pusat bersama-sama organnya yang
dipencarkan di daerah-daerah.
Sementara,
sentralisasi yang diiringi pemencaran organ-organ yang menjalankan sebagian
wewenang pemerintah pusat di daerah diikenal istilah dekonsentrasi (centralisatie met deconcentratie).
Apabila
wewenang untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak
semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (central government) melainkan juga dilakukan oleh satuan-satuan
pemerintah tingkat lebih rendah yang mandiri (zelfstandig) ataupun bersifat otonomo (teritorial maupun
fungsional) maka suatu negara kesatuan tersebut menganut asas dan sistem
desentralisasi.
Jadi
desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang (spreading van behoegheid) tetapi mengandung juga pembagian
kekuasaan (schending van machten)
untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara
pemerintah pusat dengan daerah. Akan tetapi yang jadi persoalan, bagaimana
dinamika pelaksanaan otonomi itu setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 itu.
Kembali
ditegaskan Prof. DR. I Gde Pantja Astawa, SH, MH, keberadaan undang-undang itu
menggariskan perubahan yang signifikan dalam tatanan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Terutama menunjukan arah baru politik hukum (legal policy) pemerintahan daerah yang
menjamin kemandirian, kebebasan dan atau keleluasaan daerah untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Hal
itu secara normatif tanpak dari pemetaan kewenangan yang dideskripsikan aturan
tersebut terhadap satuan – satuan
pemerintahan sebagai berikut :
v Pusat
memiliki wewenang dalam urusan politik luar negeri, pertahanan keamanan,
moneter dan fiskal, agama dan peradilan, disamping wewenang menetapkan
kebijakan – kebijakan yang berskala nasional.
v Provinsi
dengan otonomi terbatas, memiliki wewenang menangani urusan-urusan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota, urusan-urusan pemerintahan tertentu lainnya
dan urusan – urusan pemerintahan yang tidak ataupun belum dilaksanakan
kabupaten / kota.
v Kabupaten
dan kota dengan otonomi seluas-luasnya, pada dasarnya memiliki wewenang untuk
menangani semua urusan pemerintahan, kecuali urusan yang menjadi wewenang pusat
dan provinsi.
Akan tetapi,
juga menimbulkan persoalan baru. Salah satu contoh kasus yakni perbedaan penafsiran antara Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Pusat terkait pengelolaan dibindang
kehutanan. Sehingga Pemda setempat mengeluarkan Perda Nomor 19 Tahun 2001
tentang Pengurusan Hutan dan Perda Nomor 20 tahun 2001 tentang Peredaran Hasil
Hutan di Jawa Barat yang dinilai bertentangan dengan aturan diatasnya. Termasuk
juga kewenangan daerah dalam bidang kesehatan, kelautan dan lain-lainnya.
I
Gde Pantja Astawa melihat sebab perlu adanya revisi ataupun pergantian terhadap
Undang-undang 22 Tahun 1999, yakni adanya ketetuan undang-undang tersebut yang
mengurangi kewenangan pusat secara drastis sehingga dianggap tidak sesuai
dengan semangat NKRI (Pasal 7 ayat 1).
Kemudian,
adanya beberapa ketentuan yang menimbulkan penafsiran ganda yang berkenaan
dengan hubungan hirarkhi jabatan (Pasal 4 ayat 2) dan campur aduk antara asas
dekonsentrasi dengan desentralisasi (pasal 63). Adanya konflik pemanfaatan
sumber daya kelautan (Pasal 3), kesejangan antar daerah terutama pembagian
sumber keuangan.
Adanya
kecendrungan terjadinya praktik money
politik, baik dalam Pilkada oleh DPRD maupun dalam penyampaian LPJ Kepala
Daerah kepada DPRD, adanya perubahan sistem kepegawaian yang membuat PNS
terkotak-kotak dan bersifat kedaerahan (unfield
system ke saparted system).
Terkahir, hubungan desa dengan kabupaten,
provinsi dengan kabupaten / kota bersifat saling bebas, tidak dalam hubungan
hirarkhi dan rentang kendali (span of control) terlampau luas/jauh.
Kemudian,
alasan signifikan mengapa perlu perubahan dapat dilihat dari beberapa alasan
berikut ini :
1.
Alasan yuridis.
Hal ini terkait adanya
perubahan dan perkembangan yang demikian cepat atas instrumen hukum yang
bertalian dengan pemerintah daerah, yakni :
a.
Adanya perubahan Pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945, dengan prinsip pembagian daerah otonom yang berjenjang, daerah
otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Kemudian, secara eksplisit tidak disinggung dekonsentrasi, DPRD
dipilih melalui pemilu, kepala daerah dipilih secara demokratis dan
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan tertentu.
b.
Adanya ketetapan MPR Nomor IV / MPR /
2002 tentang rekomendasi kebijakan dan penyelenggaraan otonomi daerah.
c.
Adanya perubahan terhadap beberapa
undang-undang dalam bidang politik yang terkait dengan keberadaan DPRD sebagai
bagian dari pemerintah daerah. Diantaranya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD.
d.
Adanya perubahan beberapa undang-undang
dibidang keuangan yang bertalian langsung dengan keuangan daerah. Diantaranya,
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
2.
Alasan administratif
Terlampau luasnya
rentang kendali pemerintah pusat dengan kabupaten / kota dan kabupaten dengan
desa sehingga mempengaruhi aspek
pengawasan, pembinaan dan penyerasian, serta timbulnya kesenjangan antar daerah yang potensial menimbulkan
konflik.
3.
Alasan empiris
a.
Otonomi daerah dalam pelaksanaannya
cenderung menjadi bias, tidak proporsional ataupun berlebihan.
b.
Kesenjangan dan konflik antar daerah
dalam pemanfaatan dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam
(SDA) dan Sumber Daya Budaya(SDB).
c.
PAD oriented, sehingga dalam pemanfaata
SDA dilakukan secara berlebihan dan cenderung tidak atau kurang memperhatikan
kelestarian lingkungan.
d.
Dominasi legislatif (DPRD) tentang
eksekutif di daerah terjadi legislatif heavy
yang dinilai tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang menghendaki adanya checks and balances.
e.
Pembagian kewenangan yang terkesan tidak
tegas dan tuntas antara pusat – provinsi – kabupaten / kota, sehingga
menimbulkan grey area, yang merupakan
wilayah rawan konflik kewenangan diatnra satuan-satuan pemerintahan yang ada.
B. Birokrasi di Indonesia
1. Birokrasi Liberal
Birokrasi liberal yang dimotori Muhammad Hatta lewat
maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 bahwa rakyat dianjurkan membuat
partai. Pada 14 November, sistem pemerintahan parlementer dibentuk.
Kompetisi partai untuk menanamkan pengaruhnya dalam
birokrasi telah menyebabkan lembaga ini menjadi arena pergulatan politik.
Promisi jabatan sering kali ditentukan oleh Parpol dan tidak jarang keputusan
pemerintah berdasarkan desakan parpol yang tidak mencerminkan kepentingan
masyarakat.
2. Birokrasi Terpimpin.
Sistem ini dimulai sejak dikeluarkannya dekrit
presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran badan konstituante dan berlakunya
kembali Undang-undang Dasar 1945. Periode ini ada dinamika hubungan kekuasaan
yang saling bersaing antara Soekarno, Angkatan Darat dan Partai Komunis
Indonesia dan Soekarno sebagai balancer
of power. Akan tetapi harapan untuk mewujudkan birokrasi yang bersih dari
pengaruh partai tidak tercapai.
3. Birokrasi Orde Baru
Disisi lain dipengaruhi sistem birokrasi yang dianut
pemerintahan Orde Baru kala itu. Orba menghendaki suatu tata pikir yang lebih
realistis dan pragmatis, walaupun tidak melupakan idealisme perjuangan. Orba
membangun sistem yang lebih stabil berdasarkan kelembagaan dan tidak menolak
kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat.
Afan Gaffar menjelaskan bahwa birokrasi dalam
pemerintahan orde baru merupakan instrumen politik yang sangat efektif dalam
memobilisasi massa demi memelihara format politik orba. Kehadiran birokrasi
sebagai instrumen kekuasaan dapat mewujudkan dalam tiga pola utama yakni
memberikan dukungan langsung kepada Golongan Karya (Golkar), birokrasi terlibat
langsung dalam pemenangan Golkar dan birokrasi sebagai penyedia dana bagi usaha
pemenangan Golkar.
Ciri khas periode ini adalah tidak jelasnya pemisahan antara jabatan politik dengan
administratif. Tradisi politik Orba memperlakukan semua jabatan seakan jabatan
politik.
4. Birokrasi Reformasi
Era ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih bersikap
netral dan tidak diskriminatif terhadap kekuatan politik manapun dan diharapkan
mampu memberikan pelayanan publik yang profesional.
Disisi lain, ada pemisahan antara jabatan politik
dengan jabatan administratif secara tegas. Tidak diperbolehkan merangkap
jabatan sebagai pengurus partai ataupun
anggota DPR sekaligus PNS atau pejabat eksekutif negara.
Masa kepemimpinan Gusdur, beberapa prinsip
debirokratisasi pola Osborn dan Geabler dalam reinventing government terhadap
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, yakni :
a. Catalytic
Government : Steering reather than rowing atau pemerintah disarankan melepas pekerjaan
yang pelaksanaannya bisa dikerjakan masyarakat sendir.
b. Community – owned
government : empowering reather than
serving atau berilah pemberian pemberdayaan masyarakat ketimbang pemerintah
yang melayani.
Iswandi, SH menyimpulkan bahwa birokrasi di
Indonesia dalam rentang waktu sejarah hanyalah sebagai perpanjangan tangan dari
kepentingan rezim yang berkuasa. Bahkan fungsi birokrasi telah jauh dari
melenceng dari sebelumnya adalah untuk bertujuan untuk pelayanan publik menjadi
pelayan kepentingan politik pihak penguasa.[10]
C. Perbandingan Hukum Otonomi di
Daerah.
1.
Undang-undang Nomor 12 tahun 1999.
a.
Dasar filosofis yakni keanekaragaman
dalam kesatuan
b.
Pembagian dalam satuan pemerintahan .
· Pendekatan
besaran dan isi otonomi (size and content approach).
· Ada
daerah besar dan daerah yang kecil masing-masing mandiri.
· ada
urusan daerah otonom terbatas dan ada yang otonomi luas.
c.
Fungsi utama yakni pemerintahan memberi
pelayanan kepada masyarakat
d.
Penggunaan asas penyelenggaraan
pemerintah daerah
·
Desentralisasi terbatas pada daerah
provinsi dan luas pada daerah kabupaten / kota
·
Dekosentrasi terbatas pada kabupaten /
kota dan luas pada provinsi
·
Tugas pembantuan yang berimbang pada
semua tingkatan pemerintahan
e.
Pola otonomi simetris.
f.
Model organisasi pemerintahan daerah
yakni local democratic model
g.
Unsur pemerintah daerah yakni kepala
daerah dan perangkat daerah
h.
Mekanisme transfer kewenangan
·
Pengaturan dilakukan dengan pengakuan
kewenangan
·
Isi kewenangan pemerintah pusat dan
provinsi sebagai daerah otonom terbatas
·
Isi kewenangan daerah kabupaten / kota
luas (general competence principle)
i.
Unsur pemda yang memegang peranan
dominan yakni badan legislatif daerah (legislative
heavy)
j.
Pola pemberian dana / anggaran yakni
uang mengikuti fungsi (money follow function).
k.
Sistem kepegawaian terpisah (separated system)
l.
Sistem pertanggung jawaban pemerintahan
mengikuti pola ke samping yakni ke DPRD
m.
Sistem pengelolaan keuangan antar asas
pemerintahan dikelola secara terpisah untuk masing-masing asas
n.
Kedudukan kecamatan sebagai lingkungan
perangkat kerja daerah
o.
Kedudukan camat sebagai perangkat daerah
p.
Kedudukan desa relatif mandiri.
q.
Pertanggung jawaban kepala desa kepada
rakyat melalui BPD.
2.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
a.
Dasar filosofis yakni keanekaragaman
dalam kesatuan
b.
Pembagian dalam satuan pemerintahan .
· Pendekatan
besaran dan isi otonomi (size and content
approach).
· Menekankan
pada pembagian urusan berkeseimbanganan berdasarkan asas eksternalitas,
akuntabilitas efisiensi .
c.
Fungsi utama yakni pemerintahan memberi
pelayanan kepada masyarakat
d.
Penggunaan asas penyelenggaraan
pemerintah daerah
·
Desentralisasi diatur berkeseimbangan
antara daerah provinsi, kabupaten / kota
·
Dekosentrasi terbatas pada kabupaten /
kota dan luas pada provinsi.
·
Tugas pembantuan yang berimbang pada
semua tingkatan pemerintahan.
e.
Pola otonomi simetris.
f.
Model organisasi pemerintahan daerah
yakni perpaduan antara local democratic
model structural efficiecy model
g.
Unsur pemerintah daerah yakni kepala
daerah dan perangkat daerah
h.
Mekanisme transfer kewenangan : Tidak menggunakan pendekatan kewenangan
melainkan pendekatan urusan yang didalamnya terkandung adanya aktvitas, hak,
wewenang, kewajiban dan tanggung jawab (general
competence principle)
i.
Unsur pemda yang memegang peranan
dominan yakni menggunakan prinsip check
dan balances antgara Pemda dan DPRD
j.
Pola pemberian dana / anggaran yakni
uang mengikuti fungsi (money follow function).
k.
Sistem kepegawaian : mixed system, dengan memadukan antara integrated system dan separated
system
l.
Sistem pertanggung jawaban pemerintahan kepada
konstituen
·
Pusat
dalam bentuk laporan
·
DPRD dalam bentuk keterangan
·
Rakyat dalam bentuk informasi
m.
Sistem pengelolaan keuangan antar asas
pemerintahan dikelola secara terpisah untuk masing-masing asas
n.
Kedudukan kecamatan sebagai lingkungan
perangkat kerja daerah
o.
Kedudukan camat sebagai perangkat daerah
p.
Kedudukan desa relatif mandiri.
q.
Pertanggung jawaban kepala desa tidak
diatur secara khusus dalam Undang-undang, namun diatur dalam Peraturan Daerah
(Perda) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP).
BAB III
KESIMPULAN
A. Landasan historis berlakunya Undang –
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah
1.
Alasan yuridis.
Hal
ini terkait adanya perubahan dan perkembangan yang demikian cepat atas
instrumen hukum yang bertalian dengan pemerintah daerah, yakni :
a.
Adanya perubahan Pasal 18 Undang-undang
Dasar 1945, dengan prinsip pembagian daerah otonom yang berjenjang, daerah
otonom mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan. Kemudian, secara eksplisit tidak disinggung dekonsentrasi, DPRD
dipilih melalui pemilu, kepala daerah dipilih secara demokratis dan
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan tertentu.
b.
Adanya ketetapan MPR Nomor IV / MPR /
2002 tentang rekomendasi kebijakan dan penyelenggaraan otonomi daerah.
c.
Adanya perubahan terhadap beberapa
undang-undang dalam bidang politik yang terkait dengan keberadaan DPRD sebagai
bagian dari pemerintah daerah. Diantaranya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Kedudukan MPR, DPR, DPD dan
DPRD.
d.
Adanya perubahan beberapa undang-undang
dibidang keuangan yang bertalian langsung dengan keuangan daerah. Diantaranya,
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
2.
Alasan administratif
Terlampau luasnya
rentang kendali pemerintah pusat dengan kabupaten / kota dan kabupaten dengan
desa sehingga mempengaruhi aspek
pengawasan, pembinaan dan penyerasian, serta timbulnya kesenjangan antar daerah yang potensial menimbulkan
konflik.
3.
Alasan empiris
a.
Otonomi daerah dalam pelaksanaannya
cenderung menjadi bias, tidak proporsional ataupun berlebihan.
b.
Kesenjangan dan konflik antar daerah
dalam pemanfaatan dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam
(SDA) dan Sumber Daya Budaya(SDB).
c.
PAD oriented, sehingga dalam pemanfaata
SDA dilakukan secara berlebihan dan cenderung tidak atau kurang memperhatikan
kelestarian lingkungan.
d.
Dominasi legislatif (DPRD) tentang
eksekutif di daerah terjadi legislatif heavy
yang dinilai tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang menghendaki adanya checks and balances.
e.
Pembagian kewenangan yang terkesan tidak
tegas dan tuntas antara pusat – provinsi – kabupaten / kota, sehingga
menimbulkan grey area, yang merupakan
wilayah rawan konflik kewenangan diatnra satuan-satuan pemerintahan yang ada.
B.
Sistem Birokrasi
Sejarah
perjalan birokrasi yang terjadi di Indonesia menunjukan bahwa sistem birokrasi
kita selama ini masih jauh dari ideal. Cenderung birokrasi sebagai perpanjangan
tangan penguasa.
Padahal
tujuannya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan sesuai
semangat otonomi untuk mengoptimalkan kemandirian dan kemampuan daerah untuk
mengelola daerahnya sendiri. Dalam kerangka otonomi daerah ini dituntut adanya
sistem birokrasi yang kuat dalam menunjang pembangunan di daerah.
C.
Perbandingan
Ada
beberapa kesamaan antara sistem otonomi daerah pada Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Kesamaan itu dapat dilihat
dari dasar filososfis, fungsi utama pemerintahan daerah, pola otonomi dan unsur
pemerintah daerah.
Kesamaan
lainnya juga terdapat pada pola pemberian dana / anggaran, sistem pengelolaan
keuangan angtar asas pemerintahan, kedudukan kecamatan, kedudukan camat dan
kedudukan desa.
Sementara
perbedaan kedua aturan tersebut terletak pada pembagian satuan pemerintahan,
penggunaan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, model organisasi
pemerintahan daerah dan mekanisme transfer kewenangan.
Perbedaan
lainnya, terdapat pada unsur pemda yang memegang peranan dominan, sistem
kepegawaian, sistem pertanggung jawaban pemerintahan serta bentuk pertanggung
jawaban kepala desa.
[1] Prof. DR. Solly Lubis, SH, Masalah-masalah Hukum Dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah, Seminar diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusi
RI, Denpasar, 2003.
[2] Prof. DR. I Gde Pantja Astawa,
SH, MH, Problematika Hukum Otonomi Daerah
di Indonesia, Alumni, Bandung, hal 52 – 53.
[3]
Iswandi, SH, Model Birokrasi di Indonesia : Mencari
Format Birokrasi yang Ideal Dalam Kerangkat Otonomi Daerah, Jurnal Ilmu
Hukum yang diterbitkan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi, Hal
79 – 80.
[4]
Ibid, Hal 77 – 79.
[5]
Prof (EM.) DR. H. Lilli Rasjidi, SH, S.Sos, LL.M dan Ira Thania Rasjidi, SH,
MH, CELCS (M), Pengantar Filsafat Hukum,
Mandar Maju, 2010, Hal 76.
[6]
Ibid, 77.
[7] Prof. DR. Solly Lubis, SH, Op
Cit.
[8] Prof. DR. Emeritus Jhon Glissen
dan Prof. DR. Emeritus First Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Rafika
Aditama, Jakarta, 2009, Hal 91 - 131.
[9] Prof. DR. I Gde Pantja Astawa,
SH, MH, Op Cit, Hal 4 – 5.
[10]
Iswandi, SH, Log Cit, hal 73 – 80
menambah wawasan sekali makasih kak
BalasHapusdaftar harga alat berat baru 2015