BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah
satu tujuan reformasi adalah mewujudkan Indonesia baru yang lebih demokratis,
dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Kedaulatan itu selama ini berada
tangan lembaga tertinggi negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Namun
diawal reformasi, kedaulatan rakyat justru berada ditangan partai politik. Hegemoni
partai melalui fraksinya di MPR / Dewan Pewakilan Rakyat (DPRD) / Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melukiskan betapa besar pengaruh partai politik
dapat menentukan calon presiden / wakil calon presiden, pejabat publik lainnya,[1]
termasuk juga kepala daerah.
Kedaulatan
rakyat boleh dikatakan hanya sebatas memberikan suara pada waktu pemilu digelar,
dengan mencoblos tanda gambar partai politik tertentu. Sesudah itu, peralihan hak
politik itu beralih ke tangan partai politik dan selanjutnya akan menentukan
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR / DPRD berdasarkan sistem nomor urut.
Namun
jauh sebelumnya, Indonesia belum mengenal sistem pemilihan langsung oleh
rakyat. Konstitusi lebih menitik-beratkan pada sistem keterwakilan. Dimana
anggota legislatif yang terpilih pada pemilihan umum dan duduk di kursi MPR
(DPR dan Utusan Golongan) memiliki hak memilih dan dipilih sebagai presiden dan
wakil presiden.
Ini
sesuai dengan dasar negara, yakni Pancasila yang termaktub didalam Preambule
Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Perihal ini sesuai dengan
keinginan para pendiri Negara Republik Indonesia. [2]
Setelah
reformasi bergulir, sejak 1998, usaha untuk mengembalikan kedaulatan ketangan
rakyat dilakukan melalui amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 dengan
menambah beberap pasal sebagai berikut :
1.
Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan
bahwa MPR terdiri dari atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.[3]
2.
Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 menegaskan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.[4]
3.
Pasal 18 Ayat (3) menengaskan bahwa
pemerintah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum[5]
4.
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan
bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing – masing sebagai kepala daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.[6]
5.
Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan
bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.[7]
6.
Pasal 22C UUD 1945 Ayat (1) menegaskan
bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum[8]
Bicara soal pemilihan umum, Indonesia mengenal
asas penyelenggaraan yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 22E Ayat (1) dan Ayat (5) bahwa dalam
penyelenggaraannya tidak lepas dari peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku
penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Menurut
Rozali Abdulah, pemilu yang berkualitas dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari
sisi porses dan hasilnya. [9] Untuk
mewujudkan itu, selaku penyelenggara, KPU jelas dituntut untuk mampu
melaksanakan hajatan lima tahunan itu dengan baik dan wajib mentaati 12 asas
penyelenggara pemilu.
Asas
dimaksud antara lain mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib
penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas.
Meskipun
demikian, di dalam UUD 1945, konstitusi lebih mengenal KPU selaku penyelenggara
Pemilu. Namun pada prakteknya, pelaksanaan pemilu baik Pemilu DPR, DPD dan DPRD
atau yang penulis sebut dengan istilah Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden (Pilpres) maupun Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Pemilu Kada), dikenal juga lembaga Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Meskipun
tidak diatur secara tegas didalam konstitusi, keberadaan Panwaslu dilihat dari
aspek kelembagaan mempunyai kedudukan yang sama didalam penyelenggaraan pemilu.
Keduanya mitra dan saling bekerja sama dalam mewujudkan Pemilu yang
berkualitas. Bedanya, hanya pada tugas dan kewenangan.[10]
KPU
dapat diistilahkan selaku “even organizer” yang merencanakan, menyusun dan
menyelenggarakan hajatan pesta demokrasi lima tahunan, baik Pemilu Legislatif,
Pemilu Presiden maupun Pemilu Kada. Sementara Panwaslu lebih bertindak sebagai
“wasit” yang mengawasi jalannya pertandingan agar proses “permainan politik”
yang dilakukan para kandidat dan timnya tetap berada pada koridor hukum.
Termasuk juga kegiatan yang dilakukan KPU.
Uniknya lagi, sebelumnya, keberadaan kedua
lembaga ini diatur oleh undang-undang yang berbeda namun dengan tugas dan
fungsi yang sama. Bila yang selenggarakan adalah Pileg, maka berlakulah Undang
– undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Kemudian,
apabila hajatan yang diselenggarakan adalah Pilpres, maka kedua lembaga itu
terikat pada Undang – undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia.
Sementara,
apabila yang digelar adalah Pemilu Kada, maka berlaku pula Undang – undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam perjalanannya telah
dirubah sebanyak dua kali dan kini berlaku Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008.
Mengerucut
pada permasalahan Pemilu Kada, menurut penulis menjadi semakin menarik untuk
dikupas apalagi berhubungan dengan keberadaan Pengawas Pemilu Kada sebagaimana
yang diatur didalam Undang – undang Nomor
22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu Umum.
Secara
hiraki, lembaga pengawasan pemilu untuk pusat di kenal dengan istilah Badan
Pengawas Pemilu atau yang disingkat Banwaslu dan berkedudukan di Jakarta.
Meskipun bersifat adhoc, akan tetapi
Banwaslu mempunya masa kerja hingga lima tahun sama dengan KPU.
Sementara
untuk di daerah, dikenal dengan istilah Panwaslu Provinsi dan Kabupaten / kota.
Kaitannya dengan Pemilu Kada, istilah yang digunakan adalah Panwaslu Pemilu
Kada Provinsi dan Panwaslu Kada Kabupaten / Kota. Keberadaan lembaga ini
sifatnya sama dengan dipusat. Akan tetapi, ia akan dibentuk paling lama satu
bulan menjelang tahapan Pemilu Kada
dimulai dan dua bulan sejak dilantiknya kepala daerah terpilih.
B. Perumusan Masalah.
Merujuk
pada landasan filosofis berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaran Pemilihan Umum bahwa pemilihan
umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemikiran
filosofis lainnya bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara
pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Perihal
ini jelas ditegaskan dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 bahwa
pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali. Pada Ayat (5) pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Kemudian,
berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum sebelumnya, diperlukan penyempurnaan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara
pemilihan umum.
Bahwa
penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan 4 fungsi.
Diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi. Maka diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara
pemilihan umum.
Seperti
yang disampaikan sebelumnya, bahwa penyelenggaraan Pemilu Kada yang berkualitas
tidak terlepas dari peran Panwaslu Kada dalam melakukan fungsi pengawasan. Maka
dari itu, penulis mencoba menguraikan lebih spesifik pada lembaga ini kaitannya
dengan kontroversi pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi akibat berlakunya
Undang - undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dari
perspektif sejarah hukum.
Adapun
pokok masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya antara lain :
1. Dasar Pemberlakuan undang – undang Nomor 22 Tahun
2007 tentang Penyelenggaran Pemilu
2.
Konflik dalam pembentukan Panwaslu Kada
Provinsi Jambi dan pengaturan penyelenggaraan Pemilu Kada yang baik dimasa mendatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah berlakunya Undang – Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Sebelum
penulis mengurai sejarah berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, ada baiknya penulis uraikan terlebih dahulu
mengapa pentingnya hukum itu dikodifikasi untuk mengatur kehidupan dalam
masyarakat modern.
Mungkin untuk sebagian besar orang tentunya masih
bertanya-tanya, apa itu hukum. Untuk apa hukum itu diatur. Sejauh mana
mengikatnya hukum terhadap prilaku dan tindakan manusia dalam kehidupan
beradab. Kenapa orang yang dianggap
bersalah dalam hukum mesti dijatuhi sanksi. Lantas siapa yang berhak membuat hukum
itu sehingga mengikat.
Dan
ini akan ada kaitanya dengan mengapa sampai terjadinya kontroversi pembentukan
lembaga Pengawas Pemilu Kada di Provinsi Jambi guna mengawasi jalannya
pemilihan Gubernur Jambi Periode 2010 – 2015 pada Juni 2010 lalu.
Jika
hukum diartikan sebagai keseluruhan peraturan-peraturan dimana tiap-tiap orang
yang bermasyarakat wajib mentaatinya. Sistem peraturan untuk menguasai tingkah
laku manusia dalam masyarakat atau bangsa yang dibuat dalam bentuk
udang-undang, ordonansi, atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan
ditanda-tangani ke dalam undang-undang.[11]
Akan
tetapi, pendefenisian hukum itu sendiri sepenuhnya mempunyai arti yang cukup
luas. Seperti yang dikatakan Imanuel Kant pada 150 tahun yang lalu. Ia berkata
“Noch suchen die juristen eine definition
zu ihrem begriffe von rech.” Pernyataan itu bila diterjemahkan berbunyi,
tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat defenisi tentang hukum.[12]
Kemudian,
menurut Profesor. Dr. Satjipto Rahardjo, SH dalam bukunya Ilmu Hukum,[13]
kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan
mengkordinasikan kepentingan – kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain
itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa sehingga tubrukan – tubrukan itu
bisa ditekan sekecil – kecilnya.
Namun
dalam perjalannya, khususnya di Indonesia, telah terjadi perubahan sosial yang
mendasar dan mencakup berbagai bidang kehidupan dengan pergeseran nilai beserta
manifestasinya dalam sikap dan prilaku kemasyarakatannya, seperti yang juga
terjadi pada bangsa-bangsa lain.
Proses
tersebut belum mencapai tahap pengendapan, belum memunculkan keseimbangan baru
yang mantap dan terintegrasi seperti yang dimaksud oleh teori fungsionalistik
tentang masyarakat dan perubahan sosial. [14]
Penulis
sepakat dengan pendapat diatas, bahwasanya hukum itu dibentuk untuk mengatur
norma yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat sehingga tingkah dan
prilaku tertata dan bertanggung jawab. Sejalan dengan itu, perkembangan hukum
pun terjadi didalam kehidupan sosial masyarakat sehingga mendorong
diperlukannya suatu aturan baru yang mampu mengakomodir tiap kepentingan yang
ada didalam masyarakat.
Kaitannya
dengan maksud penulis diatas, berlakunya undang – undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, terutama kaitannya dengan pembentukan
Panwaslu Kada, tentunya tidak terlepas dari sejarah hukum sebelumnya.
Seperti
yang digambarkan Prof. Dr. Emeritus Jhon Glissen dan Prof. Dr. Emeritus Frist Gole dalam
bukunya Sejarah Hukum Suatu Pengantar sebagai berikut :
“Hal ini dapat dilihat dari kesimpulan –
kesimpulan atau dalil – dalil yang diturunkan dari sejarah karenanya tidak
dapat tiada adalah dalil – dalil atau hukum – hukum perekembangan masyarakat,
sebagaimana itu ditegaskan oleh Meskiewicz.
Hal tersebut dibenarkan pula bahwa perlu
diihktiarkan agar atas dasar dalil – dalil tersebut disusun prognosis – prognosis
untuk masa depan. Namun untuk mencapai hal tersebut, terutam menyangkut dalil –
dalil atau hukum- hukum perkembangan sejarah, kita harus bekerja dengan penuh
kehati – hatian .
Selain itu, kita harus mewaspadai bahwa
karena ada ketidakmungkinan prinsipil untuk melakukan suatu verifikasi yang
serba lengkap, maka hukum – hukum perkembangan sejarah, bahkan lebih banyak
lagi daripada ilmu – ilmu pengetahuan alam, hanya menghasilkan temuan – temuan
sementara, yang tentunya perlu diuji kembali terhadap kenyataan yang ada.
Di dalam kaitannya dengan sejarah, maka
kenyataannya ini mempunyai dua sisi yakni, pertama temuan – temuan baru hasil
penelitian yang menyangkut masa lampau
dan kedua, pengamatan hal – ihkwal masa kini yang nyata.[15]
Untuk
lebih jelasnya maksud penulis, maka akan diuraikan sejarah perjalanan keberadaan
Pemilihan
Umum di Indonesia berdasarkan tahun penyelenggaraannya, yang dikutip dari www.kpu.go.id dan www.id.wikipedia.org, yang nantinya diyakini turut mempengaruhi
keberlakuan hukum terkait keberadaan lembaga pengawas pemilu. Sejarah pemilu
dimaksud dibagi dalam beberapa periode, sebagai berikut :
1.
Periode
Pemilu 1955
Ini
merupakan pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia. Diusianya yang ke
10 tahun, Republik Indonesia mengadakan pemilu untuk menunjukan kepada dunia
bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi.
Sebetulnya,
sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta
pada 17 Agustus 1945, pemerintah masa itu sudah menyatakan keinginannya untuk
bisa menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946.
Hal
itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta
tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai
politik. Maklumat tersebut menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan
MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kalau kemudian ternyata pemilu
pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah kemudian tentu
bukan tanpa sebab.
Tetapi,
berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan
dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota
DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan
Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa pemilu yang akan diadakan
Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.
Meskipun
masuk kategori sukses namun ditemukan sejumlah masalah. Terkait keterlambatan penyelenggaraan
maupun penyimpangan. Sumber penyebabnya antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan
pemilu lantaran belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur
penyelenggaraan pemilu maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara.
Selain
itu ada kesan adanya sikap keenganan dari pemerintah untuk menyelenggarakan perkisaran
(sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Disisi lain, Indonesia
masih dalam kondisi terlibat peperangan.
Pemerintah
punya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemilu. Misalnya adalah
dibentuknya UU No. UU No 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah
dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Di dalam UU No 12/1949 diamanatkan
bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat (tidak langsung).
Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas
warganegara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau
pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi.
Kemudian
pada paruh kedua tahun 1950, ketika Mohammad Natsir dari Masyumi menjadi
Perdana Menteri, pemerintah memutuskan untuk menjadikan pemilu sebagai program
kabinetnya. Sejak itu pembahasan UU Pemilu mulai dilakukan lagi, yang dilakukan
oleh Panitia Sahardjo dari Kantor Panitia Pemilihan Pusat sebelum kemudian
dilanjutkan ke parlemen. Pada waktu itu Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan, setelah sejak 1949 menjadi negara serikat dengan nama Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Setelah
Kabinet Natsir jatuh 6 bulan kemudian, pembahasan RUU Pemilu dilanjutkan oleh
pemerintahan Sukiman Wirjosandjojo, juga dari Masyumi. Pemerintah ketika itu
berupaya menyelenggarakan pemilu karena pasal 57 UUDS 1950 menyatakan bahwa
anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Tetapi
pemerintah Sukiman juga tidak berhasil menuntaskan pembahasan undang-undang
pemilu tersebut. Selanjutnya UU ini baru selesai dibahas oleh parlemen pada
masa pemerintahan Wilopo dari PNI pada tahun 1953. Maka lahirlah UU No. 7 Tahun
1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang
diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU
No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang
mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku
lagi.
Pemilu
yang pertama kali boleh dikatakan berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar,
jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari
berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini diikuti oleh
lebih 30-an partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon
perorangan.
Peserta
Pemilu periode ini memiliki kesadaran tinggi berkompetisi secara sehat. Itu
terlihat dari, meski yang menjadi calon anggota DPR adalah perdana menteri dan
menteri yang sedang memerintah, mereka tidak menggunakan fasilitas negara dan
otoritasnya kepada pejabat bawahan untuk menggiring pemilih yang menguntungkan
partainya.
Karena
itu sosok pejabat negara tidak dianggap sebagai pesaing yang menakutkan dan
akan memenangkan pemilu dengan segala cara. Pemilu kali ini dilakukan untuk dua
keperluan, yaitu memilih anggota DPR dan memilih anggota Dewan Kons-tituante,
maka hasilnya pun perlu dipaparkan semuanya.
Pemilu
untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan tanggal 15 Desember 1955. Jumlah
kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang
memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514.
Hasil
pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI
meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan
suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan
anggota DPR.
Akan
tetapi, kaitannya dengan proses Pemilu Kada, era ini tidak mengenal pemilihan
langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bahkan proses pelaksanaan
Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.
Ini
juga dapat dilihat dari keberlakuan Undang – undang Darurat Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1950 tentang Pembentukan Jabatan Gubernur Militer Ibukota. Pada
pasal 1 Ayat (1) menyebutkan adanya Gubernur Militer untuk Gewes Jakarta dan daerah-daerah
sekitarnya dilangsungkan dengan sebutan "Gubernur Militer Ibu Kota".
Pada
Ayat (2), menyebutkan Gubernur Militer termaksud dalam ayat (1) pasal ini
merangkap jabatan Komandan Territorial di daerahnya. Pada Pasal 2, menyebutkan
Staatsblad 1940 No. 78 pasal 1 sub c ditambah kata-kata : "Gubernur
Militer Ibu Kota untuk Gewes Jakarta dan Daerah-daerah Sekitarnya".
Dan
Pasal 3, menyebutkan Undang-undang darurat ini mulai berlaku pada tanggal 27
Desember 1949 sejak saat pemulihan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Undang
– undang darurat ini pada Tahun 1955, juga mengalami perubahan dengan
dikeluarkannya 7 TAHUN 1955
tentang Penetapan UU Darurat No. 33 TAHUN 1950 untuk mencabut kembali UU
Darurat Republik Indonesia Serikat No.6 Tahun 1950 tentang Pembentukan Jabatan
Gubernur Militer Ibu Kota Sebagai Undang – undang.
2.
Periode Demokrasi Terpimpin.
Kisah sukses Pemilu 1955 akhirnya tidak
bisa dilanjutkan pada lima tahun berikutnya. Suksenya penyelenggaraan Pemilu
1955 hanya menjadi catatan emas sejarah. Pemilu pertama itu tidak berlanjut
dengan pemilu kedua lima tahun berikutnya, meskipun tahun 1958, Presiden
Sukarno sudah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II.
Kemudian terjadi berubahan format
politik dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan
Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945 yang diperkuat angan-angan
Presiden Soekarno menguburkan partai-partai. Dekrit itu kemudian mengakhiri rezim
demokrasi dan mengawali otoriterianisme kekuasaan di Indonesia, yang meminjam
istilah Prof. Ismail Sunny -- sebagai kekuasaan negara bukan lagi mengacu
kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.
Otoriterianisme pemerintahan Presiden
Soekarno makin jelas ketika pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu
1955, setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan
pemerintah. Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959
membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua
anggotanya diangkat presiden.
Pengangkatan keanggotaan MPR dan DPR,
dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena
UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata cara memilih anggota DPR dan MPR.
Tetapi, konsekuensi pengangkatan itu adalah terkooptasinya kedua lembaga itu di
bawah presiden. Padahal menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan
tertinggi, sedangkan DPR neben atau
sejajar dengan presiden.
Sampai Presiden Soekarno diberhentikan
oleh MPRS melalui Sidang Istimewa bulan Maret 1967 (Ketetapan XXXIV/MPRS/ 1967)
setelah meluasnya krisis politik, ekonomi dan sosial pascakudeta G 30 S/PKI
yang gagal semakin luas, rezim yang kemudian dikenal dengan sebutan Demokrasi
Terpimpin itu tidak pernah sekalipun menyelenggarakan pemilu. Malah tahun 1963
MPRS yang anggotanya diangkat menetapkan Soekarno, orang yang mengangkatnya,
sebagai presiden seumur hidup. Ini adalah satu bentuk kekuasaan otoriter yang
mengabaikan kemauan rakyat tersalurkan lewat pemilihan berkala.
Periode ini juga sama sekali tidak ada Pemilihan
Umum, Pemilu Kada, apalagi lembaga Panwaslu. Akan tetapi, periode ini akan
mengarah pada akan diselenggarakannya Pemilu dua tahun berikutnya karena pada
tahun 1969 telah diberlakukannya Undang – undang Nomor 1969 tentang sususnan
dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1970 Tanggal 17 Januari 1970).
3.
Periode
Orde Baru (Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997)
Ketika Jenderal
Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden menggantikan Bung Karno
dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, ia juga tidak secepatnya menyelenggarakan
pemilu untuk mencari legitimasi kekuasaan transisi. Malah Ketetapan MPRS XI
Tahun 1966 yang mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun
1968, kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto diubah lagi
dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.
Sebagai pejabat
presiden, Soeharto senantiasa menggunakan MPRS dan DPR-GR bentukan Bung Karno,
hanya saja ia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi negara
tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau Orde Lama.
Pada prakteknya
Pemilu kedua baru bisa diselenggarakan tanggal 5 Juli 1971, yang berarti
setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pada waktu itu ketentuan
tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan yang diterapkan Presiden
Soekarno.
UU yang diadakan
adalah UU tentang pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun
1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun.
Hal yang sangat
signifikan yang berbeda dengan Pemilu 1955 adalah bahwa para pejebat negara
pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral. Sedangkan pada Pemilu 1955 pejabat
negara, termasuk perdana menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi
calon partai secara formal.
Tetapi pada
prakteknya pada Pemilu 1971 para pejabat pemerintah berpihak kepada salah satu
peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun merekayasa
ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh
pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta
Pemilu itu.
Kondisi ini
menjadi catatan sejarah dimana banyaknya terjadi kecurangan yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu demi kepentingan penguasa, saat itu didominasi Golkar.
Kecurangan terjadi karena tidak adanya lembaga pengawas.
Kemudian,
pemungutan suara Pemilu 1977 dilakukan 2 Mei 1977. Cara pembagian kursi masih
dilakukan seperti dalam Pemilu 1971, yakni mengikuti sistem proporsional di
daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344
suara atau 90,93 persen. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39.750.096 suara
atau 62,11 persen. Namun perolehan kursinya menurun menjadi 232 kursi atau
kehilangan 4 kursi dibandingkan Pemilu 1971.
Penyelenggaraa
pada Pemilu 1977 kurang lebih sama dengan periode 1971. Bahkan kecurangan itu
dilakukan secara masif dan keberadaan lembaga pengawas pun belum ada. Akan
tetapi keinginan untuk menggelar Pemilu yang berkualitas akan dimulai pada
periode 1982.
Akan tetapi
dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya, hasil Pemilu
1997 menjadi sorotan banyak pihak yang pada akhirnya mereka melakukan aksi
protes sehingga menimbulkan gerakan reformasi.
Gerakan yang
mengingikan adanya perubahan guna penyempurnaan aturan
dasar, terkait tatanan Negara, Kedaulatan rakyat, HAM, Pembagian kekuasaan,
Kesejahteraan sosial, Eksistensi Negara demorasi dan Negara hukum dan hal-hal
lain sesuai dengan perkembangan anspirasi dan kebutuhan bangsa saat itu.
Dari data yang
dirilis dari web resmi Banwaslu, menyebutkan Proses
pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.
Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982, Pembentukan Panwaslak
Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran
dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada
Pemilu 1971.
Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu
yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas
direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya
muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan
‘kualitas’ Pemilu 1982.
Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI,
pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan
pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan
terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak
Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.
Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme
kerja yang baru, pengawas pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya
pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu)
menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu).
Namun pada periode ini juga belum
dikenal istilah pemilihan Kepala Daerah secara langsung sehingga
penyelenggaraan Pemilu Kada yang membutuhkan peran Panwaslu otomatis tidak ada.
4.
Periode
Reformasi
Awalnya, pada periode ini, Pemilu Kada
belum dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasalnya, proses pemilihan masih
melalui wakil rakyat di DPRD provinsi, kabupaten dan kota.
Ini dapat dilihat dari Undang – undang
Nomor 3 tahun 1999 Pasal 34 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa DPRD, sebagai lembaga perwakilan rakyat di
daerah, merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
Pada Ayat (2), DPRD mempunyai tugas dan
wewenang memilih Gubemur/Wakil Gubemur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil
Walikota, mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Gubemur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil
Walikota kepada Presiden.
Namun
dalam perkembangannya, pada periode juga ini keberadaan lembaga pengawas mulai
dibahas. Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas
pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia
Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (Panwaslu).
Perubahan terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12/2003,
yang isinya menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia
Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Khusus Panwaslu Kada, berikut penulis uraikan dasar – dasar mengapa
penyelenggaraan Pemilu Kada dan Panwaslu diperlukan dalam melakukan tugas
pengawasan penyelenggaraan hajatan demokrasi lima tahunan itu.
Pertama, adanya Amandemen UUD 1945 hingga empat kali dari tahun 1998 –
2002
a.
Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan
bahwa MPR terdiri dari atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
b.
Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 menegaskan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
c.
Pasal 18 Ayat (3) menengaskan bahwa
pemerintah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang
anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
d.
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menegaskan
bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing – masing sebagai kepala daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
e.
Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan
bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.
f.
Pasal 22C UUD 1945 Ayat (1) menegaskan
bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum
Khusus kaitannya dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, meskipun tidak
disebutkan dipilih secara langsung, namun mengingat pelaksanaan pemilu lainnya
dipilih langsung oleh rakyat sebagai bentuk kedaulatan rakyat, maka
penyelenggaraan pemiliha kepala dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh
rakyat. Dan kaitannya dengan keseluruhan isi pada pasal 18 UUD 1945 yang
menjelaskan adanya otonomi daerah, maka dibentuklah Undang – undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dalam aturan itu tegas diatur tentang Pemilihan Kepala Daerah dan adanya
keberadaan Panwaslu Kada. Dilihat lembaga yang berwenang membentuk Panwaslu
Kada di daerah awalnya adalah DPRD hal itu sesuai dengan Pasal 52 Ayat (1)
huruf i yang menyebutkan bahwa DPRD memiliki tugas dan wewenang membentuk
Panwaslu Kada.
Sebagai catatan, keberadaan Panwaslu provinsi, kabupaten / kota juga
diakui didalam Undang – undang Pemiihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD serta
Undang – undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Namun untuk lebih meningkatkan peran KPU dan Panwaslu selaku
penyelenggaran dan pengawas Pileg, Pilpres dan Pemilu Kada dan dalam
perkembangannya, dibutuhkan suatu aturan yang khusus mengatur tentang penyelenggara
pemilu.
Hal
itu dapat dilihat dari landasan filosofis berlakunya Undang – undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan
negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemikiran
filosofis lainnya bahwa penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil hanya dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan
akuntabilitas.
Perihal
ini jelas ditegaskan dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 bahwa
pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan
adil setiap lima tahun sekali. Pada Ayat (5) pemilihan umum diselenggarakan
oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Kemudian,
berdasarkan penyelenggaraan pemilihan umum sebelumnya, diperlukan penyempurnaan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggara
pemilihan umum.
Bahwa
penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan untuk lebih meningkatkan 4 fungsi.
Diantaranya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi. Maka diperlukan satu undang-undang yang mengatur penyelenggara
pemilihan umum, dan dalam hal ini erat kaitannya dengan pembentukan Panwaslu
Kada Provinsi Jambi.
B.
Kontroversi pembentukan Panwaslu Kada
Provinsi Jambi
Merujuk
pada Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor
32 Tahun 2004, maka huruf i pada Pasal 52 Ayat (1) dihapus. Dengan demikian belum
diketahui siapa yang berwenang membentuk Panwaslu Kada.
Namun
dengan berlakunya Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007, yang keberadaannya
diharapkan dapat lebih tegas dalam pengaturan terkait penyelenggara pemilu,
jelas menggambarkan bahwa Pemilu Kada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Untuk
diketahui, khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, kegiatan yang sama diselenggarakan
oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)
dengan diawasi oleh Panitia
Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh) dengan aturan yang berbeda.[16]
Atas
dasar undang – undang diatas, menggambarkan bahwa kedua lembaga itu memiliki
hubungan kemitraan yang sejajar. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, terutama
terkait dengan pembentukan Panwaslu Kada Provinsi Jambi, justru terbalik.
Kenapa
bisa demikian, karena dalam Pasal 93 Undang – undang Nomor 22 Tahun 2007
mengatur tegas bahwa calon anggota Panwaslu Provinsi diusulkan oleh KPU
Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ditetapkan
dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi
terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Sementara,
pihak Panwaslu Kada, yang notabene sebelumnya bertugas sebagai Panwaslu Pileg
dan Pilpres dan belum berakhir masa tugasnya, sementara pelaksanaan Pemiulu
Kada Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi Periode 2010 – 2015 mulai memasuki
tahapan pelaksanaan di pertengahan tahun 2009 lalu, menimbulkan gejolak
diantara kedua lembaga tersebut.
Banwaslu
pusat, melihat dengan banyaknya agenda Pemilu Kada hampir di 245 daerah di
Indonesia dalam waktu yang bersamaan, sehingga menimbulkan kesulitan untuk
melakukan fit and propertes daftar
nama yang diusulkan KPU sebagai calon Panwaslu Kada mengambil inisiatif untuk
menentapkan kembali anggota Panwaslu Pileg dan Pilpres menjadi Panwaslu Kada.[17]
Hal
itu dapat dilihat dengan dikeluarkannya Keputusan Banwaslu Nomor 15 Tahun 2009 pada Pasal 39A Ayat (1) yang menyebutkan
bahwa Banwaslu dapat menetapkan anggota Panwaslu Provinsi dan Kabupaten / kota
pada Pileg dan Pilpres tahun 2009 yang masih memenuhi syarat untuk ditetapkan
sebagai anggota Panwaslu Kada pada Pemilu Kada yang digelar pada tahun 2009 dan
2010.
Karena
ini bukan saja menjadi persoalan di Provinsi Jambi semata, tapi juga persoalan
nasional, maka lahir pula kesepakatan diantara kedua lembaga itu melalui surat
edaran bersama yang menghasilkan kesepakatan bahwa apabila penyelenggaraan
pemilu kada digelar pada tahun 2009 dan 2010, menjelang berakhirnya masa
jabatan gubernur / bupati / walikota dan KPU belum merekrut dan mengusulkan
calon anggota Panwaslu ke Banwaslum, maka Banwaslu berwenang menetapkan anggota
Panwaslu Pileg – Pipres sebagai Panwaslu
Kada. Sisanya dikembalikan pada mekanisme yang ada.
Menurut
pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Jambi, Zarkasi, SH, MH[18], penegasan
penolakan KPU terhadap proses yang dilakukan oleh Bamwaslu atas penetapan calon
anggota Panwaslu yang dinilai telah menabrak aturan tentang penyelenggara
pemilu, sudah sesuai dengan role of law.
Harusnya proses tersebut tetap melalui
KPU meskipun limit waktu mendesak dan jumlah Pemilu Kada banyak terjadi
ditempat lain. Ada pertentangan norma disana terkait dengan perekrutan calon
Panwaslu Kada Provinsi Jambi hingga kabupaten / kota.
Jadi,
menurut penulis meskipun pengaturan tentang lembaga pengawas ini sudah
diberlakukan namun dalam pelaksanaannya, kerap menimbulkan benturan hukum yang
pada akhirnya hukum dikesampingan untuk kepentingan yang bersifat politis.
Menurut
penulis ini sejalan dengan pandangan Moh. Mahfud MD, yang mengatakan secara
teoritis hubungan antara hukum dan politik memang dapat dibedakan atas tiga
macam hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum determinan atas
politik karena setiap agenda politik tunduk pada aturan – aturan hukum.
Kedua,
sebagai das sein, politik determinan
atas hukum – hukum karena dalam faktanya, hukum adalah produk politik sehingga
hukum apapun yang ada didepan kita tak lain merupakan kristalisasi dari
kehendak – kehendak politik yang saling bersaing.
Ketiga, politik
dan hukum berhubungan secara
interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim. Sedangkan hukum tanpa
tanpa pengawalan politik akan lumpuh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
dan Saran
Membicarakan
penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak lengkap kalau tidak
membahas Pengawas Pemilu, atau Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas Pemilu)
atau dalam bahasa sehari-hari biasa cukup disebut Panwas. Menurut undang-undang
pemilu, Panwas Pemilu sebetulnya adalah nama lembaga pengawas pemilu tingkat
nasional atau pusat. Sedang di provinsi disebut Panwas Pemilu Provinsi, di kabupaten/kota disebut Panwas
Pemilu Kabupaten/Kota, dan di kecamatan disebut Panwas Pemilu Kecamatan.
Pengawas
Pemilu adalah lembaga adhoc yang dibentuk sebelum
tahapan pertama pemilu (pendaftaran pemilih) dimulai dan dibubarkan setelah
calon yang terpilih dalam pemilu dilantik. Lembaga pengawas pemilu adalah khas
Indonesia, dimana Pengawas Pemilu dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tahapan
pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran
administrasi dan pelanggaran pidana pemilu.
Proses
pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas pemilu.
Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982. Pembentukan Panwaslak Pemilu
pada Pemilu 1982 dilatar-belakangi oleh protes-protes atas banyaknya
pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas
pemilu pada Pemilu 1971.
Karena
pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih
masif. Protes-protes ini lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi
Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang
bertujuan meningkatkan ‘kualitas’ Pemilu 1982.
Demi memenuhi
tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu
ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya
badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga
Pemilihan Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.
Dengan
struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap
diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas
Pelaksana Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan
Umum (Panwaslu).
Berdasarkan
Undang – undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
dikenal dengan istilah Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah badan yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan Pemilu
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan jumlah anggota Bawaslu
sebanyak 5 (lima) orang.
Seblumnya, Perubahan
terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12 tahun 2003, yang isinya
menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas
Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Kemudian,
terkait dengan Pemilu Kada, berlaku juga Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang kemudian dirubah dengan Undang – undang Nomor 12 Tahun 2008.
Persoalan
Pemilu Kada, khususnya pembentukan Panwaslu Kada masih bermasalah. Mulai dari
pembentukan, hingga kewenangan melakukan pengawasan. Bahkan posisi Panwaslu
Kada sangat lemah dalam menegakan hukum disetiap terjadinya pelanggaran.
Selain itu,
pengawas kerap dibentuk setelah memasuki masa tahapan pemilu kada, sehingga
banyak tahapan pemilu kada yang luput dari pantauan sehingga dapat mengurangi
kualitas penyelenggaraan dan hasilnya.
Untuk itu,
penulis menyarangkan agar kedepan ada aturan yang lebih tegas tentang peran dan
fungsi Panwaslu Kada. Bila perlu, pengawas diberi kewenangan untuk melakukan
eksekusi atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan kandidat kepala daerah
maupun tim suksesnya.
Bahkan penulis
juga menyarankan agar Panwaslu Kada tidak lagi dijadikan lembaga adhoc, mengingat pentinganya peran
mereka dalam melakukan pengawasan sehingga menghasilkan Pemilu Kada yang
berkualitas.
[1] Prof. Rozali Abdullah, SH, Pemilihan Umum : Kedaulatan Rakyat,
Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Hakim, dalam Jurnal Konstitusi P3KP Fakultas
Hukum Universitas Jambi, Mahkamah Konstitutsi, Jakarta, 2009, Hal 7 – 9.
[2] Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan
Hukum Dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, Hal 30 – 33.
[3] Amandemen keempat UUD 1945
[4] Amandemen ketiga UUD 1945
[5] Amandemen kedua UUD 1945
[6] Amandemen Kedua UUD 1945
[7] Amanademen kedua UUD 945
[8] Amanademen ketiga UUD 1945
[9] Prof. Rozali Abdullah, Op cit,
Hal 12 – 16.
[10] Lihat Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
[11] Drs. M, Marwan, Sh dan Jimmy P,
SH, Kamus Hukum - Dictionary of Law
Complete Edition, Reality Publisher, Surabaya, 2009, Hal 258.
[12] Prof. (EM.) DR. H. Lily Rasjidi,
SH, S.Sos, LL.M dan Ira Thania Rasjidi, SH, MH, CELCS(M), Pengantar Filsafat
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal 38.
[13] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH,
Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2006, Hal 53 – 54,
[14] Prof. Dr. Benard Arief Sidartha,
SH, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, 2009, Hal 25 – 29.
[15] Prof. Dr. Emeritus Jhon Glissen dan Prof. Dr. Emeritus Frist Gole dalam
bukunya Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2009, Hal 10.
[16]
Id.wikipedia.org.
[17]
SKM Media Jambi, Tarik Menarik Soal
Rekruitmen Anggota Panwaslu Provinsi Jambi,
CV. Tujuh Sepakat Jambi, Jambi, 2009, Edisi 366.
[18]
Ibid.
blognya bagus sekali kak bermanfaat
BalasHapusharga trailer scania