A. Latar Belakang.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan di
Indonesia, tercatat bahwa UUD 1945 beberapa kali mengalami perubahan, sehingga
dikenal adanya Undang – Undang Dasar 1945 (periode 18 Agustus – 27 Desember
1949), Konstitusi Republik Indonesia Serikat (periode 27 Desember – 17 Agustus
1950), UUD Sementara 1950 (periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), UUD 1945
(periode 1999 – sekarang/setelah amandemen).
Pasca
reformasi, hanya dalam kurun waktu empat tahun (1999 – 2002) Indonesia telah
melakukan perubahan/amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, dengan kata lain
hampir setiap tahunnya pasca reformasi Indonesia merubah konstitusinya. Hal ini
merupakan pengaruh dari bergulirnya era reformasi, sehingga di tengah – tengah
perubahan yang terjadi, konstitusi dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan
hukum masyarakat Indonesia, yang menjadi pertanyaan besar disini adalah apa
faktor dominan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan/amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca reformasi 1998.
Era
reforrmasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya saat
presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan
wakil presiden BJ. Habibie. Krisis finansial di Asia menyebabkan keadaan
perekonomian di Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan
masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar – besaran yang dilakukan oleh berbagai
organisasi aksi mahasiswa maupun masyarakat di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto
semakin disorot setelah tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang dianggap
sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, yang kemudian memicu
kerusuhan Mei 1998, bukan hanya itu kerusuhan – kerusuhan yang sarat dengan
pelanggaran hak asasi manusia berat juga terjadi di Medan dengan sedikitnya
enam orang korban meninggal, peristiwa Gejayan di Yogyakarta juga menyebabkan 1
(satu) orang mahasiswa tewas terbunuh. Dengan begitu banyaknya pelanggaran –
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum dan sesudah reformasi
berlangsung, mencerminkan bahwa pengaturan dan penegakan hak asasi manusia di
Indonesia kurang begitu baik dan sempurna, untuk lebih mendalami kajian hak
asasi manusia ini kita sebaiknya mengetahui dan mendalami maksud, tujuan serta
perkembangan hak asasi manusia itu sendiri.
Munculnya
istilah hak asasi manusia adalah produk dari sejarah. Istilah itu pada awalnya
adalah keinginan dan tekad manusia secara universal agar mengakui dan
melindungi hak – hak dasar manusia. Dengan
kata lain bahwa istilah tersebut bertalian erat dengan realitas sosial dan
politik yang berkembang. Para peneliti hak asasi manusia mencatat bahwa
kelahiran wacana hak asasi manusia adalah sebagai reaksi atas tindakan semena –
mena yang dilakukan oleh penguasa. Tindakan – tindakan tersebut pada akhirnya
memunculkan kesadaran baru bagi manusia bahwa dirinya memiliki sesuatu hak yang
harus dilindungi.
Hak
merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku dan
melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Secara umum, hak mempunyai 3 (tiga) unsur
utama yakni, pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia
dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar
tentang hak. Setiap individu memiliki hak yang dalam penerapannya berada dalam
ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya
antara individu atau dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh.
Majda El-Muhtaj memberikan definisi umum mengenai hak asasi manusia sebagai berikut.
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan Anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. [1]
Dari apa yang
disampaikan Majda tersebut, dapatlah diambil suatu generalisasi bahwa
menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam rangka menjaga harkat dan
martabat manusia menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu,
pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer) bahkan negara.
Hak asasi manusia
bersifat kodrati dan universal, dikatakan kodrati karena hak asasi manusia
merupakan pemberian langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian atau
penghargaan dari negara maupun mahluk-Nya, dan melekat utuh pada setiap jiwa
dan raga manusia yang ada dimuka bumi, dikatakan universal karena hak asasi
manusia itu berlaku secara keseluruhan dan mutlak, maksudnya pengakuan akan hak
asasi manusia itu berlaku di seluruh tempat, daerah, wilayah dan negara tempat
manusia bertempat tinggal, tanpa terkecuali melihat dari segi kaya, berdarah
biru, pendidikan serta pekerjaan yang mereka sandang, hak asasi manusia adalah
benteng pertama dan terakhir manusia dalam beraktivitas menjalankan hidupnya
yang dijamin secara penuh oleh negara, hukum, politik, masyarakat dan individu.
Hak asasi manusia
adalah hak yang didapat sejak manusia itu dalam kandungan dan lahir kedunia
sampai matinya, yang merupakan pemberian langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa,
yang tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun dan dijamin penegakan dan
pelaksanaannya oleh negara, hukum, politik, masyarakat dan individu. Sebagai
bagian dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka penegakan hak asasi
manusia sangat bergantung pada konsistensi dari para penyelenggara negara,
walaupun permasalahan hak asasi manusia tidak berada dalam wilayah politik,
namun dalam praktik bernegara, pelaksanaan dari hak asasi manusia secara baik
dan bertanggung jawab tergantung dari kemauan dari para penyelenggara negara.
Setiap harinya
perbaikan – perbaikan akan hak asasi manusia selalu terjadi diseluruh dunia,
perbaikan kearah positif dan melindungi diri pribadi dari manusia, meskipun
terkadang dan bahkan terlihat mengarah ke Individualisme. Hak asasi manusia
yang berlaku di setiap negara selalu dijunjung tinggi dan dijamin oleh negara
bahkan dunia melalui organisasi internasional-nya. Akan tetapi sampai sekarang
masih ada negara di dunia yang tidak terlindungi oleh hak asasi manusia.
Pada awal
kemerdekaan, pengaturan hak asasi manusia di Indonesia tidak termuat dalam
suatu undang – undang yang khusus, tetapi tersebar dalam beberapa pasal,
terutama Pasal 27 – 31 UUD 1945. Hak – hak asasi yang dimuat terbatas jumlahnya
dan dirumuskan secara singkat, banyak faktor yang menyebabkan hak asasi manusia
menjadi demikian diantaranya adanya perdebatan antara Ir. Soekarno dan Soepomo
dengan Drs. Moh. Hatta dan Moh. Yamin, dimana asal mula perdebatan tersebut
disebabkan karena ketidak-inginan Ir. Soekarno dan Soepomo untuk memasukkan materi hak asasi manusia
kedalam konstitusi negara. Soekarno dan Soepomo berpendapat bahwa hak asasi
manusia adalah produk barat sehingga tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia
yang berlandaskan kekeluargaan, perlu diketahui bahwa salah satu tujuan
konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan dari penguasa negara. Setelah
perdebatan panjang antara akhirnya materi hak asasi manusia dimasukkan ke dalam
kosntitusi Indonesia, meskipun isitilah perkataan hak asasi manusia itu sendiri
tidak pernah di jumpai dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasannya.
Akhirnya dapat dipahami mengapa hak – hak asasi manusia tidak lengkap dimuat
dalam UUD 1945, karena UUD 1945 dibuat beberapa tahun sebelum pernyataan hak –
hak asasi manusia diterima oleh organisasi Negara dunia yaitu Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada perkembangan
selanjutnya, diterimanya pernyataan serta dua perjanjian oleh mayoritas anggota
dari PBB sekaligus menunjukkan dengan jelas bahwa gagasan mengenai perlunya
jaminan atas hak – hak asasi manusia, benar – benar didukung oleh seluruh umat
manusia, dan tidak merupakan gagasan liberal belaka. Hal ini juga dirasakan
oleh bangsa Indonesia sendiri, sebab dalam menyusun Undang – Undang Dasar
berikutnya, yaitu Tahun 1949 dan Tahun 1950, ternyata bahwa hak – hak asasi
manusia ditambah dan diperlengkap perumusannya, hal ini dapat dilihat bahwa pada
peraturan negara yang pernah berlaku kurang lebih 10 tahun tersebut (1949 –
1959) justru memuat pasal – pasal yang lebih banyak dan lebih lengkap mengenai
HAM dibandingkan UUD 1945. Di dalam konstitusi RIS 1949 pengaturan mengenai hak
asasi manusia diatur dalam bab ke V yang
berjudul “Hak – hak dan Kebebasan – kebebasan Dasar Manusia”. Pada bab ini
dimulai dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33 memuat mengenai hak asasi manusia,
maka ada sekitar 27 Pasal yang mengatur mengenai HAM. Pasal – pasal tentang hak
asasi manusia yang isinya hampir seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949
juga terdapat dalam UUDS 1950. Di dalam
UUDS 1950, pasal – pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian V yang
berjudul “Hak – Hak dan Kebebasan – Kebebasan Dasar Manusia”. Bagian ini terdiri dari 28 Pasal, dari Pasal 7 sampai
dengan Pasal 34 UUDS 1950[2]. Pada periode selanjutnya setelah dekrit presiden 5
juli 1959 dan kembali ke UUD 1945, pengaturan serta pelaksanaan hak asasi
manusia di Indonesia telah mengalami pengunduran yang sangat besar. Menurut
Miriam Budiardjo bahwa :
Dalam masa Demokrasi Terpimpin telah dialami betapa
mudahnya suatu undang – undang diselewengkan untuk kepentingan penguasa yang
ambisius, pertama karena tidak lengkapnya hak – hak asasi dicantumkan dalam
undang – undang dasar, kedua karena kurang adanya jaminan dalam undang – undang
yang ada. Maka dari itu tidak mengherankan, bahwa sesudah terjadinya peristiwa
G.30 S, salah satu tujuan dari penegakan Orde baru adalah melaksanakan hak –
hak asasi yang tercantum dalam Undang – Undang Dasar 1945. [3]
Apabila
dicermati dari ketiga hukum dasar atau konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia tersebut terlihat dengan jelas bahwa bangsa Indonesia sejak semula
telah mengerti arti penting hak asasi manusia dan telah membuat pengaturan
mengenai hak asasi manusia didalam hukum dasar atau konstitusi Indonesia.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berlaku sekarang dan telah di amandemen sebanyak 4 (empat)
kali, pengaturan – pengaturan mengenai hak asasi manusia sudah semakin membaik.
Di dalam
Pasal 1 ayat ke 3 amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia tanggal 9 November 2001, berbunyi bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Hal ini jelas berarti bahwa
negara Indonesia sebagai negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan
berdasarkan prinsip–prinsip keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan secara
konstitusional, negara Indonesia terikat oleh prinsip – prinsip keadilan,
dimana Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan
haruslah menjamin perlindungan bagi warga negaranya, baik berupa perlindungan
terhadap hak – hak warga negaranya, termasuk hak asasi manusia yang menjadi
dasar kebutuhan manusia terhadap hak – hak lainnya.
Hak asasi
manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila, yang artinya hak
asasi manusia mendapat jaminan kuat dari dari falsafah bangsa yaitu Pancasila.
Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia
tersebut harus memperhatikan garis – garis yang telah ditentukan dalam
ketentuan Falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi
manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas – bebasnya, melainkan harus
memperhatikan ketentuan – ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila. Hal
ini pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak
tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setelah mengalami
beberapa kali perubahan amandemen terhadap Hukum dasar atau Konstitusinya,
Indonesia secara tegas telah mengatur mengenai perlindungan terhadap hak – hak
manusia sebagai bagian dari negara, pengaturan– pengaturan yang menjamin segala
sesuatu yang menjadi hak dasar yang harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar
dan dalam keadaan apapun. Pengaturan tersebut terdapat dalam Undang – Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan pengaturan lebih
lanjut dari Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945.
Dasar pertimbangan
pemerintah dan Dewan perwakilan rakyat mengeluarkan Undang – Undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah :
a.
Bahwa manusia,
sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan
memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan penuh tanggung jawab untuk
kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi serta
keharmonisan lingkungannya;
b.
Bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh
siapapun;
c.
Bahwa selain hak
asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap
yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
d.
Bahwa bangsa
Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa – bangsa mengemban tanggung jawab
moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia yang di tetapkan oleh Perserikatan Bangsa – bangsa,
serta berbagai instrument internasional lainnya mengenai Hak Asasi Manusia yang
telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.
Jaminan ini cukup memberikan ‘angin
segar’ bagi perkembangan dan perjuangan hak asasi manusia di Indonesia, dengan
demikian dapat memberikan jaminan serta pengaturan yang lebih konkret terhadap
hak asasi manusia. Akan tetapi impelementasi penegakan serta pelaksanaan akan
hak asasi manusia itu tidak merasuk keseluruh sendi-sendi hukum, masih banyak
dari hukum itu sendiri yang kurang mengadopsi hak asasi manusia dalam
peraturan-peraturannya.
Informasi
tentang kekerasan terhadap anak seperti ini kerap kali kita temui hampir
disemua media. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
RI, pada Oktober 2010 lalu, juga pernah merilis ke berbagai media terkait
pelanggaran HAM. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Linda Amalia Sari Gumelar, pada tahun 2009 angka kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak mencapai 143.586 kasus atau meningkat 263 persen dibanding
tahun sebelumnya yang hanya 54.425 kasus.[4]
Sebelumnya juga, Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI) juga pernah mengungkapkan perihal yang sama. Dari laporan
pengaduan yang masuk ke lembaganya, per tanggal 1 Desember 2010, berjumlah 277
kasus. 60 persen diantaranya didominasi klaster perlindungan khusus yaitu kasus
kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis, anak berhadapan dengan hukum dan
trafiking (tindak pidana perdagangan
anak). Dan kasus tersebut didominasi kekerasan seksual terhadap anak.[5]
Kemudian
27,8 persen kasus yang diadukan adalah klaster keluarga dan pengasuhan
alternatif yang termasuk didalamnya adalah hak kuasa asuh pra, proses dan pasca
perceraian, penelantaran anak oleh orang tua, adopsi yang dilakukan oleh keluarga
atau kerabat dekat dan juga kasus membawa lari anak dari kuasa asuh yang sah.[6]
Meningkatnya
kekerasan terhadap anak juga diakui Ketua Pembina Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi atau yang biasa disapa Kak Seto. Penyebab utama
dari banyaknya kekerasan yang dialami oleh seorang anak adalah masih banyaknya
sebuah paradigma lama yang selalu keliru dimana masih berpegangan untuk
mendidik seorang anak harus dengan cara-cara kekerasan. Misalnya mendidik anak
dengan cara dipukul, ditempeleng dan dijewer, sehingga soal itu menjadi bagian
dari tindakan kekerasan dalam mendidik anak.[7]
Dan
parahnya lagi, menurut Lukman Hakim Nainggolan :
“Kekerasan seksual terhadap anak yang
terjadi disekitar kita dan sepanjang tidak saja dilakukan oleh lingkungan
keluarga anak, namun juga dilakukan oleh lingkungan keluarga anak sendiri yakni
orang tua. Kasus – kasus kekerasan yang menimpa anak – anak, tidak saja terjadi
diperkotaan tetapi juga dipedesaan. Namun sayang belum ada data yang lengkap
mengenai ini. Sementara itu, pelaku child
abuse, 68 persen dilakukan oleh orang yang dikenal anak. 34 persen
dilakukan oleh orangtua kandung sendiri. Dalam laporan tersebut juga disebutkan
bahwa anak perempuan pada situasi sekarang ini, sangatlah rentan terhadap
kekerasan seksual. Alasan pada umumnya sangatlah beragam, selain tidak rasional
juga mengada – ada. Sementara itu usia korban rata – rata berkisar 2 – 15 tahun
bahkan diantaranya dilaporkan masih berusia 1 – 3 bulan. Para pelaku sebelum
dan sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan, dan atau
ancaman kekerasan, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.[8]
Perihal
di atas tentunya sangat memprihatinkan bagi kita, apalagi hal semacam itu
terjadi di negara yang mengakui Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang
melekat pada diri setiap manusia yang dilindungi hukum. Ini merupakan tanggung
jawab pemerintah dan masyarakat yang mestinya disadari untuk patuhi. Pengakuan
negara akan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dibuktikan
dengan diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa – bangsa (PBB) tentang Hak
– hak Anak (Convention on the Rights of
the Child) Tahun 1989 oleh 191 negara, termasuk didalamnya Indonesia,
dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990.[9] Al
– hasil, Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut menjadi hukum positif di Indonesia mengingat
asas pacta sun servanda.[10]
Dengan
demikian, kekerasan terhadap anak jelas sebuah tindakan yang bertentangan
dengan konstitusi dan hukum positif di Indonesia. Sepatutnya, setiap warga
negara wajib menghormati HAM sebagaimana yang diamanatkan Undang – undang Dasar
1945 Pasal 28B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.[11]
Asas
atau prinsip – prinsip umum perlindungan anak dalam KHA sebagaimana yang
diadopsi Undang – undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(UUPA) menyebutkan asas nondiskriminasi (Pasal 2), kepentingan yang terbaik
buat anak (Pasal 3), hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6),
dan penghargaan atas pendapat anak (Pasal 12).[12]
Pengingkaran
prinsip tersebut, bagi Jimly Asshiddiqie merupakan kejahatan terhadap HAM karena
pada dasarnya adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena
konstitusi merupakan sumber hukum dasar dan common
platform yang mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka kejahatan terhadap
HAM dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap hukum dasar dan common platform tersebut.[13]
Pengakuan
pentingnya perlindungan hak anak oleh negara juga disampaikan Sekretaris
Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, M. Gufran H Kordi K. Dia mengatakan
bahwa merujuk pada konstitusi tersebut, menggambarkan adanya upaya pemenuhan
hak dan perlindungan secara terstruktur melalui negara.[14] Hanya
saja, kenyataannya, kekerasan terhadap anak masih terjadi disana sini.
Kekerasan
seksual terhadap anak tidak saja terjadi di Indonesia, perihal yang sama juga
terjadi di negara lain. Salah satu contoh di Philipina dan Thailand. Ancaman
sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik
pada anak) bukan berita baru lagi. Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak – anak
dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia.[15]
Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Persoalan
ini pula yang mengusik rasa keingin-tauan kami untuk menulis terkait dengan bagaimana
pengaturan perlindungan anak dari kejahatan HAM di Indonesia dan kendala
penegakan hukumnya. Terutama yang bersentuhan langsung dengan kekerasan seksual
terhadap anak yang merupakan extra
ordinary crime[16]
terhadap HAM. Karena hingga saat ini masih terlihat minimnya upaya penegakan
hukum dan upaya pemulihan psikologi anak korban kekerasan seksual. Bahkan,
banyak pihak terkesan lebih mempersoalankan minimnya anggaran sebagai dasar
tindakan pencegahan kekerasan seksual dimaksud.
Agar
pembahasan masalah ini tidak terlalu melebar, maka penulisan makalah ini kami
fokuskan pada “Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam
Perspekti HAM” dan sekaligus menjadi judul makalah ini.”
B. Rumusan Masalah.
Sebagaimana yang penulis uraikan diatas,
meskipun Undang – undang Dasar 1945 mengakui HAM anak sebagai suatu hak yang
melekat sejak lahir dan tidak boleh dibatasi, namun kenyataannya, tindakan
kekerasan seksual terhadap anak seringkali terjadi.
Hal itu pula yang membuat penulis
tertarik untuk mengangkat persoalan ini, sebagai berikut ;
1.
Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban
Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM.
2.
Perlindungan Hukum Hak – hak anak Korban
Kekerasan Seksual oleh Negara.
C. Tujuan Penulisan.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan
masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian
ini adalah :
1.
Ingin mengetahui bagaimana pengaturan
perlindungan hukum anak korban kekerasan seksual dalam perspektif HAM.
2.
Ingin mengetahui dan menggambarkan hak –
hak anak korban kekerasan seksual dan tanggung jawab negara.
3.
Untuk memenuhi kewajiban tugas kelompok III
mata kuliah HAM pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Jambi.
D. Manfaat Penelitian.
Adapun
manfaat yang ingin didapat diantaranya ;
1.
Secara akademis
a.
Menambah wawasan dan khasanah penulis tentang Pengaturan
Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM dan perlindungan
hukum hak – hak anak korban kekerasan seksual oleh negara.
b.
Selain itu, sebagai pemenuhan kewajiban membuat tugas mata
kuliah HAM pada Program Magister Magister Ilmu Hukum
pada Program Pascasarjana Universitas Jambi
2.
Secara praktis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan ataupun masukan dalam ;
a.
Memberi sumbang pemikiran bagi para
peneliti lain dalam melakukan penelitian dengan mengambil topik yang sama
b.
Memberi pedoman praktis kepada para
praktisi hukum khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan
hukum anak korban kekerasan seksual dalm perspektif HAM dan hak – hak anak.
E. Metoda Penelitian
1.
Tipe Penelitian
Metode Penilitian yang digunakan dalam
penelitian ini bersifat yuridis normatif atau penelitian pustaka (Library Research), maka metode yang
dipergunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki adalah dengan jalan
menggali / mengeksplorasi
nilai-nilai maupun norma-norma hukum yang berkaitan dengan persoalan yang
sedang diteliti. Dari segi kegunaan atau manfaatnya, penelitian ini lebih tepat dikategorikan sebagai jenis
penelitian terapan (Applied Research), yakni jenis penelitian yang dilakukan
dalam rangka menjawab kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah praktis,
sehingga jenis penelitian ini dapat juga di sebut dengan operational research
(penelitian operasi) atau action research (penelitian kerja).
2.
Pendekatan Yang Digunakan
Pendekatan
yang dipakai dalam menjawab persoalan
yang telah dirumuskan adalah menggunakan pendekatan peraturan perundang - undangan (statute approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).
Pendekatan
peraturan perundang - undang (statute approach) dilakukan dengan
menela’ah
semua peraturan perundang – undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi
penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu peraturan dengan peraturan
perundang - undang lainnya atau antara peraturan perundang - undang dengan Undang - Undang Dasar 1945 atau bahkan antara regulasi.
Pendekatan
konseptual (conceptual approach)
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin - doktrin yang
berkembang didalam suatu ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan berupaya menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum
yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan - pandangan dan doktrin – doktrin tersebut
merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan
isu yang dihadapi.
3.
Pengumpulan bahan
Hukum.
Bahan
Hukum yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari :
a.
Bahan
Hukum Primer, terdiri dari peraturan perundangan - undangan yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas, seperti UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah
Peraturan daerah, Yurisprudensi dan lain lainnya.
b.
Bahan
Hukum Skunder, yaitu: bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer,
seperti rancangan peraturan perundang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari para pakar dari kalangan hukum baik berbentuk buku, jurnal hukum, makalah
dan lain lain
c.
Bahan
Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder. Contohnya Black’s Law Dictionary, kamus Besar
Bahasa Indonesia, Ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain-lain.
4.
Analisis Bahan Hukum
Lebih
lanjut untuk menganalisis data yang diperoleh dipergunakan metode induktif,
yakni berusaha mencari aturan-aturan, nilai-nilai maupun norma-norma hukum yang
terdapat dalam pustaka yang terkait untuk dirumuskan sebagai suatu kaidah hukum
tertentu yang bisa diberlakukan untuk membahas masalah diatas dengan cara :
a.
Menginterprestasikan
semua peraturan perundang-undangan sesuai masalah yang dibahas.
b.
Mengevaluasi
perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
c.
Menilai
bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
F. Sistematika Penulisan.
Hasil penelitian ini disusun menjadi karya ilmiah dalam
bentuk makalah yang dibagi dalam 4 (empat) BAB dan disajikan dalam bentuk
deskripsi dengan sistematikan penulisan yang tersusun sebagai berikut :
BAB I : Berupa
pendahuluan yang memuat
tentang
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian dan sisitematika penulisan yang memuat alasan mengapa penulis tertarik
melakukan penelitian ini.
BAB II : Berupa tinjauan pustaka yang memuat berbagai
teori dan pendapat, ide dan pemikiran dari para ahli serta peraturan perundang
– undangan yang berlaku berkaitan erat pengaturan perlindungan hukum anak korban
kekerasan seksual dalam perspektif HAM dan hak – hak anak.
BAB III : Pembahasan. Dalam BAB ini penulis mengambarkan
bagaimana pengaturan perlindungan hukum anak korban kekerasan seksual dalam
perspektif HAM dan hak – hak anak serta kewajiban negara.
BAB V : Merupakan akhir dari penulisan penelitian
dalam bentuk makalah yang berisikan kesimpulan dan saran guna memberikan
masukan bagi pihak – pihak yang terkait.
|
Tinjauan Umum
A. Kerangka Konsepsional.
Kerangka
konsepsional ini dimaksudkan untuk mengetahui penjelas dari apa yang akan
dibahas dalam makalah ini, maka penulis akan menjelaskan beberapa istilah,
yaitu :
1.
Perlindungan adalah adalah suatu bentuk
pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan
saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa dari pihak manapun, yang
diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan
di sidang pengadilan.[17]
2.
Hukum adalah keseluruhan peraturan –
peraturan dimana tiap – tiap orang yang bermasyarakat wajib mentaatinya. Sistem
peraturan untuk menguasai tingkah laku manusia dalam masyarakat atau bangsa.
Undang – undang, ordonansi, peraturan yang ditetapkan pemerintah dan
ditandatangani ke dalam undang – undang. Dalam bahasa belanda dikenal dengan
istilah Recht sedangkan inggris – Law.[18]
3.
Anak adalah setiap manusia yang berusia
di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.[19]
4.
Korban adalah orang atau kelompok orang
yang mengalami penderitaan secara fisik, mental, maupun emosional serta
mengalami kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan dan
perampasan hak – hak dasarnya sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak
asasi manusia.[20]
5.
Kekerasan adalah hal yang bersifat atau
berciri keras yaitu perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau
menyebabkan kerusakan fisik atau barang yang orang lain atau paksaan. Secara
spesifik yang dimaksud kekerasan seksual adalah suatu prilaku seksual deviatif
atau menyimpang, merugikan korban dan merusak kedamaian di masyarakat.[21]
6.
Kekerasan Seksual adalah praktek seks
yang dinilai menyimpang yang artinya praktek hubungan seksual yang dilakukan
dengan cara – cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai – nilai
agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukan untuk
membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Dan
kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha – usaha jahatnya.[22]
7.
HAM adalah hak yang telah dimiliki oleh
manusia sejak dia lahir ke dunia, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau
negara. Sekumpulan hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehoratan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[23]
Secara
estimologis, menurut Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia (HAM) terbentuk dari
3 (tiga) kata yakni hak, asasi dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi
berasal dari bahasa Arab. Sementara kata manusia adalah kata dalam bahasa
Indonesia. Kata haqq diambil dari akar kata haqqa,
yahiqqu, haqaaan yang artinya benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Apabila
dikatakan yahiqqu ‘alaika an taf ‘ala
kadza, itu artinya “kamu wajib melakukan seperti itu. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka haqq adalah
kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Kata asasiy berasal dari kata assa, yaussu, assaan, artinya membangun,
mendirikan, meletakan. Dapat juga berarti asal, asas, pangkal, dasar dari
segala sesuatu. Dengan demikian, asasi artinya segala sesuatu yang bersifat
mendasar dan fundamental yang selalu melekat pada objeknya. Sementara HAM dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai hak – hak mendasar pada diri manusia.[24]
Pengertian
Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum sebagaimana yang diamanatkan di dalam
Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Secara eksplisit,
juga dituangkan kedalam 9 pasal lainnya.[25]
Pengertian
HAM menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang – undang 39 Tahun 1999 menyebutkan HAM
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[26] Begitu
juga halnya pengertian di dalam Undang – undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1 Ayat (1), isinya sama.
Menurut
Dwi Yanto dalam tulisannya “Perlindungan HAM Anak Indonesia : Perkembangan,
Implementasi dan Rekomendasi,” HAM mengisyaratkan bahwa setiap manusia
dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hak – haknya. Artinya, HAM merupakan suatu hak yang melekat
pada diri manusia yang bersifat dasar dan mutlak diperlukan agar manusia dapat
berkembang sesuai bakat, cita – cita dan martabatnya. Hak ini melekat secara
kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak
kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.[27]
Slamet
Marta Wardaya[28]
dalam tulisannya “Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM” menyebutkan
istilah HAM menggantikan istilah Natural
Rights yang dalam pengertian bahasa Indonesia yaitu hak – hak dasar.[29]
Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak – hak alam menjadi
suatu kontroversial dan menjadi pembahasan penting pasca Perang Dunia ke II dan
pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa – Bangsa pada tahun 1945.[30]
Dengan
adanya jaminan atas HAM, dalam konstitusi negara demokrasi, yang bersifat
universal itu maka terjamin pula hak – hak rakyat untuk mengekspresikan
aspirasinya. Jaminan negara atas HAM juga berkonsekuensi pada kewajiban negara
untuk memenuhi hak – hak dasar rakyat seperti hak atas pendidikan, hak atas
perlindungan dan perlakuan hukum yang sama untuk segenap warga negara, hak atas
lapangan kerja, kesehatan, keamanan, dll.[31]
Sementara
pengertian anak di dalam Undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Undang – undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Pasal 1 Ayat (1) anak adalah
orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Kemudian berdasarkan
Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada Pasal 1 Ayat
(2) Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun
dan belum kawin.
Sedangkan
Riska Saraswati mamaknai anak sebagai amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha
Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan
setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak – haknya tanpa anak tersebut
memintanya.[32]
Anak
merupakan salah satu pihak yang rentan mengalami objek pelanggaran HAM.
Pengertian kelompok rentan ini tidak pula dirumuskan secara mendalam didalam peraturan
perundang – undangan, seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Ayat (3) Undang –
undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan orang yang termasuk
kelompok rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan dengan kelompok
masyarakat dengan kekhususannya. Dalam penjelelasan pasal tersebut disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah
orang lanjut usia, anak – anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang
cacat. Sedangkan menurut Willem Van Ganugten dalam Human Rights Reference disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam
kelompok rentan adalah Refugees,
Internally Displaced Persons (IDPs), National Minorties, Migrant Waorkes,
Indiegeneous People, Children and women.[33]
Di
dalam Konvensi Hak Anak (KHA) sebagaimana yang disetujui Majelis Umum PBB Pasal
1, pengertian anak diartikan setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun
kecuali menurut undang – undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai
lebih awal.
Sedangkan
perlindungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat menyebutkan bahwa perlindungan adalah suatu
bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan
saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa dari pihak manapun, yang
diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan
di sidang pengadilan.
Pada
Ayat (2), Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari
pihak manapun. Selanjutnya, pada Ayat (4), Ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang –
halangi atau mencegah seseorang sehingga langsung atau tidak langsung
mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk
kepentingan penyeledikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Perlindungan
anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2 Undang – undang Perlindungan
Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak – haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Sementara
pengertian perlindungan khusus sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 angka
15 undang – undang yang sama adalah perlindungan yang diberikan kepada anak
dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban kekerasan fisik dan / atau mental, anak yang menyandang
cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pada
Pasal 3, tujuan perlindungan anak untuk menjamin terpenuhinya hak – hak anak
agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesui
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
Pengertian
negara adalah suatu persekutuan bangsa dalam satu wilayah yang jelas batas –
batasnya dan mempunyai pemerintahan sendiri.[34] Defenisi
tentang negara yang dikemukakan pemikir – pemikir besar kenegaraan sejak zaman
Yunani Kuno hingga kini beragam. Beberapa nama seperti yang kita kenal selama
ini menghiasi khasanah ilmu negara sejak era Socrates, Plato, dan Aristoteles
atau Thomas Aquinas, Ibnu Khaldun, Ibnu Rushd, Thomas Hobes, Jhon Locke, Montesque,
Rousseau di abad pertengahan hingga filsuf di era modern seperti Jhon Stuart
Mill, Hegel, Karl Marx, Santayana, dll.
Diabad
modern, sejumlah pakar ketatanegaraan mendefenisikan negara antara lain, :
Roger H Soltau :
“..... Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat....”
Max Webber.
“.....Negara adalah suatu masyarakat
yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah.....”
Robert M. Maclver.
“.....Negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dakan syaty wilayah
dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan
yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa....”
Harold J. Laski.
“.....Negara itu adalah puncak gedung
pergaulan hidup masa ini dan keistimewaan sifat negara itu terletak pada hak – haknya yang melebihi hak – hak
persekutuan masyarakat. Jadi negara itu adalah satu ala guna mengatur
tingkah laku manusia....”
Jean Bodin.
“..... keseluruhan dari keluarga –
keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin suatu alat guna mengatur tingkah
laku manusia....”[35]
Negara
yang berkedaulatan rakyat mengandung arti seperti yang dinyatakan oleh Franz
Magnis Suseno, bahwa rakyat memiliki “kekuasaan mutlak, tertinggi, tak
terbatas, tak tegantung, dan tanpa kecuali. Negara berkedaulatan rakyat adalah
negara demokrasi. Negara dikatakan berkedaulatan rakyat adalah apabila rakyat
berperan serta langsung maupun tidak langsung menentukan nasib dan masa depan
negara, dan negara yang berkedaulatan rakyat adalah apabila ada kejelasan
tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Untuk itu konstitusi negara yang
berkedaultan rakyat akan mencantumkan dengan jelas pasal – pasal HAM yang
berisikan hak – hak asasi manusia yang harus dilaksanak negara sekaligus tidak
boleh dilanggar oleh negara.[36]
Sedangkan
negara hukum adalah negara yang segala tindakannya didasarkan atas hukum yang
secara formal tercantum dalam peraturan perundang – undangan.[37]
B. Landasan Teori
1. Teori Berlakunya HAM di Indonesia.
Dalam
sejarah ketatanegaraan di Indonesia, sebelum diratifikasinya Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak
Anak / KHA) pada Tahun 1989 oleh 191 negara, termasuk Indonesia didalamnya, Undang
– undang Dasar 1945 sebetulnya secara tersurat mengakui adanya HAM, akan tetapi
tidak dicantumkan secara transparan ke dalam batang tubuhnya. Setelah dilakukan
amandemen hingga empat kali, barulah jelas perihal yang mengatur tentang HAM. [38]
Hal
ini diperkuat oleh pernyataan Slamet Marta Wardaya sebagai berikut ;
“Perkembangan HAM di Indonesia,
sebenarnya dalam UUD 1945 telah tersurat, namun belum tercantum secara transparan.
Setelah dilakukannya amandemen I – IV UUD 1945, ketentuan tentang HAM tercantum
pada pasal 28A s/d 28J. Sebenarnya UUDS 1950 yang pernah belaku di Indonesia
dari tahun 1949 – 1950, telah memuat pasal – pasal tentang HAM yang lebih
banyak dan lebih lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun konstituante yang
terbentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dibubarkan berdasarkan Keppres
Nomor 150 Tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini
mengakibatkan kita kembali lagi pada UUD 1945.”[39]
Perihal yang sama juga
dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie. Menurut dia ;
“Dalam lembaran sejarah Indonesia,
perdebatan tentang HAM telah mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia
sedang gencar – gencarnya diperjuangkan oleh founding fathers and mothers. Perdebatan itu terekam jelas di dalam
sidang – sidang Badan Usaha – usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang membahas draf
konstitusi untuk negara Indonesia yang akan dibentuk. Dalam forum sidang itu
mengemuka berbagai pendapat mengenai HAM.. perdebatan itu dikerucutkan ke dalam dua arus yaitu yang mengusulkan agar
butir – butir HAM dimasukan dalam konstitusi dan yang menolaknya. Arus pertama
sering diasosiasikan diwakili oleh tokoh Muhammad Hatta, sedang arus yang kedua
diwakili Soepomo.
Mohammad Hatta, yang didukung oleh
Muhammad Yamin, menghendaki agar jaminan tentang HAM dicantumkan secara
eksplisit di dalam konstitusi. Menurut Hatta, hal itu perlu agar negara yang
akan diibentuk tidak menjadi “Negara Kekuasaan.” Argumen Hatta menegaskan bahwa
kehadiran negara haruslah diberi rambu – rambu agat tidak menjelma menjadi –
meminjam istilah Thomas Hobbes – leviathan,
yang memangsa rakyatnya sendiri. Sementara Soepomo menyakini bahwa jika jaminan
HAM dimasukan di dalam konstitusi berarti ingin menegakan negara yang berdiri
di atas paham individualisme atau liberalisme. Argumen Soepomo menyiratkan
bahwa ia cenderung berprasangka baik terhadap negara, negara diyakini tidak
akan melakukan tindakan yang menginjak – injak HAM rakyatnya.
Dalam perkembangannya kemudian, usulan
Hatta diakomodasi di dalam Undang – undang Dasar RI 1945 RI yang disahkan
tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI. Akomodasi ini merupakan buah
kompromi yang didorong oleh keinginan agar perdebatan tersebut tidak berlarut –
larut yang dikhawatirkan justru merintangi tercapainya rumusan konstitusi untuk
Indonesia merdeka. Adanya pasal – pasal dalam UUD 1945 memberi jaminan HAM pada
setiap warga negara Indonesia, antara lain Pasal 28, Pasal 33 dan Pasal 34,
merupakan hasil kegigihan Hatta. Sementara usulan Negara Kekeluargaan (atau
sering disebut Negara Integralistik) yang diusung oleh Soepomo tidak
terjewantahkan di dalam UUD 1945.
Sayangnya, rumusan Pasal 28 tidak
memberikan jaminan konstitusional secara langsung. Pasal 28 hanya menentukan, “
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang.” Artinya, jaminan
dimaksud diserahkan pengaturannya kepada pembentuk undang – undang. Hal
tersebut berbeda dari rumusan Pasal 29 yang menetapkan “ Negara menjamin
kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan
untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.”[40]
Dengan
demikian, tidak diaturnya secara eksplisit didalam konstitusi di Indonesia
mengenai HAM kala itu, menunjukan belum adanya jaminan terhadap HAM dan warga
negara. Karena pada dasarnya, konstitusi lazimnya berisi tiga pokok materi
muatan yaitu adanya jaminan HAM dan warga negara. Kemudian ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental serta adanya
pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[41]
Dalam hal ini, konstitusi suatu negara, sama
halnya UUD RI 1945, mempunyai kedudukan esensial dalam sebuah negara karena
didalamnya tidak saja memberikan kejelasan tentang mekanisme ketatanegaraan,
tetapi juga memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat
antara rakyat dan penguasa sebagaimana pandangan Thomas Paine (tokoh radikal abad ke – 18 yang karyanya banyak mengilhami munculnya
revolusi Perancis dan Amerika), yang mengatakan “A constitution is not the act of a goverment but of a people
constitution a goverment, without a constitution is power without right, and a
constitution is the property of the nation and not of those who exercise the
govement.[42]
(Konstitusi bukanlah tindakan pemerintah tetapi
konstitusi orang – orang pemerintah, tanpa konstitusi adalah kekuatan tanpa
hak, dan konstitusi adalah milik bangsa dan bukan dari orang – orang yang
latihan pemerintah).
Membicarakan
HAM menurut Majda El – Muhtaj berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia.
HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan eksistensi manusia
menandakan bahwa manusia sebagai mahluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa, Allah SWT patut memperoleh apresiasi positif. Kini, HAM diperbincangkan
dengan intens seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak yang
dimilikinya. Ia menjadi aktual karena sering dilecehkan dalam sejarah anusia
sejak awal hingga kurun waktu kini. Gerakan dan dimensi HAM terus berlangsung
bahkan dengan menembut batas – batas teritorial sebuah negara.[43]
Dalam
konteks Indonesia, wacana HAM masuk dengan “indah” ke dalam pemikiran anak
bangsa yang dimulai sejak pembahasan pembentukan negara ini yang memiliki
sejarah cukup panjang. Sementara pembicaraan HAM tingkat dunia pun mulai
mengemuka pasca Perang Dunia ke – II pada waktu pembentukan PBB.
Seperti
yang penulis uraikan sebelumnya, perkembangan HAM sebenarnya sudah ada di dalam
UUD 1945, hanya saja belum tercantum secara transparan. Dan setelah diamandemen
sebanyak 4 (empat) kali, barulah jelas dalam pasal – pasal konstitusi tersebut
yang termaktub di dalam Pasal 28A – 28J.
Sejarah
mencatat juga, pada UUDS 1950 juga telah memuat pasal – pasal tentang HAM yang
lebih banyak dibanding UUD 1945 sebelum amandemen. Namun Konstituante yang
terbentuk melalui pemilihan umum 1955 dibubarkan presiden berdasarkan Keppres
150 Tahun 1959 pada tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini mengakibatkan
kita kembali pada UUD 1945.
Lebih
lanjut, Slamet Marta Wardaya menguraikan sebagai berikut ;
“Kemudian berbagai pihak untuk
melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang –
sidangnya awal orde baru telah menyusun Piagam Hak – hak Asasi Manusia dan Hak
– hak serta Kewajibannya Warga Negara. MPRS telah menyampaikan Nota MPRS kepada
presiden dan DPR tentang pelaksanaan HAM. Karena berbagai kepentingan politik pada
saat itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa pemerintahan
orde baru pada saat itu bersikap anti terhadap Piagam HAM dan beranggapan bahwa
masalah HAM sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan. Untuk
menghapus kekecewaan itu kepada bangsa Indonesia terhadap Piagam HAM, maka MPR
ppada sidang istemewanya tanggal 11 November 1998 mensahkan Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga – lembaga Tinggi Negara dan
seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakan dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.[44]
Berikut penulis uraikan berbagai peraturan
berkaitan dengan HAM yang diberlakukan sebagai hukum positif di Indonesia
sebagai penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM sesuai
prinsip – prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan
atas hukum, diantaranya :
1)
Undang
– undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita ;
2)
Keppres
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan HAM ;
3)
Keppres
Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.[45]
Kemudian
menetapkan berbagai peraturan perundang – undangan berspektif HAM dan ratifikasi
instrumen HAM internasional, diantaranya :
1)
Keppres
Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan ;
2)
Intruksi
Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunakaan
Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Urusan dan Penyelenggaraan
Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan ;
3)
Undang
– undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan ;
4)
Keppres
Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan ;
5)
Undang
– undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ;
6)
Undang
– undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 November 2000 tentang HAM ;
7)
Undang
– undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Pengadilan HAM ;
8)
Konvensi
ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres Nomor 83 Tahun 1998
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi ;
9)
Konvensi
ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 19 Tahun
1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa ;
10) Konvensi ILO No.
111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 21 Tahun 1999
tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan ;
11) Konvensi ILO No.
138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 20 Tahun 1999
tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja
12) Konvensi ILO No.
182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 1 Tahun 2000
tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak ;
13) Konvensi ILO No.
88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2002
tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.[46]
Mengerucut
pada peraturan yang memberikan perlindungan HAM bagi anak di Indonesia, selain
Konvensi tentang Hak – hak Anak (KHA) yang disetujui Majelis Umum PBB pada
Tanggal 20 November 1989 dan Undang – undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun
2002 menurut Rika Saraswati, sebagai berikut :
1)
Undang
– undang Dasar 1945 Pasal 28b Ayat 2
2)
Undang
– undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3143)
3)
Undang
– undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
4)
Undang
– undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
5)
Undang
– undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12 Ayat
(2), dan Pasal 13 Ayat (3))
6)
Undang
– undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal
18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24).
7)
Keppres
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan
Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak,
Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak
Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
8)
Keppres
Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak
9)
Keppres
Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi
Seksual Komersial Anak (ESKA)
10) Keppres Nomor 88
Tahun 2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak
(RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan yang bersifat
mendasar.[47]
2.
Pengertian
Kekerasan Seksual Kepada Anak.
Sebagaimana
yang penulis uraikan pada bab sebelumnya, mengenai pengertian kekerasan yakni
suatu hal yang bersifat atau berciri keras yaitu perbuatan seseorang yang
menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang yang orang lain
atau paksaan. Secara spesifik yang dimaksud kekerasan seksual adalah suatu
prilaku seksual deviatif atau menyimpang, merugikan korban dan merusak
kedamaian di masyarakat.[48]
Bila
dikaitkan dengan kekerasan Seksual, menurut Lukman Hakim Nainggolan adalah
praktek seks yang dinilai menyimpang atau dengan kata lain praktek hubungan
seksual yang dilakukan dengan cara – cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran
dan nilai – nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan
ditunjukan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik
maupun non fisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha –
usaha jahatnya.[49]
Kekerasan
seksual atau yang lebih dikenal dengan sebutan pelecehan seksual terhadap anak
menjadi suatu yang memprihatinkan dan menjadi ancaman serius buat kelangsungan
hidup bangsa Indonesia maupun bangsa – bangsa lainnya dimasa depan. Pasalnya,
menurut Psikolog, Seto Mulyadi yang juga menjabat sebagai Pembina Komnas
Perlindungan Anak, berdampak buruk terhadap masa depan kehidupan anak, baik
secara fisik maupun psikis. Kejahatan seksual terhadap anak – anak sepuluh kali
lipat lebih kejam terhadap orang dewasa. Karena posisi anak – anak masih
rentan, lemah, mudah dirayu, dan dibodoh – bodohi. Selain itu juga kekerasan
dan pelecehan seksual merupakan gabungan antara keekrasan fisik dan kekerasan
psikologi.[50]
Dampak
ini pula yang disadari masyarakat dunia dan menjadi perhatian negara – negara
yang tergabung dalam PBB sejak lama. Sebagaimana yang termaktub dalam KHA Pasal
34 yang tegas menyatakan bahwa Negara – negara Pihak berusaha melindungi anak
dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan
ini, maka negara – negara pihak harus terutama mengambil semua langkah
nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah :
a.
Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang
anak untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual melanggar hukum
b.
Penggunaan eksploitasi terhadap anak –
anak dalam pelacuran, atau praktek – praktek seksual lainnya yang melanggar
hukum
c.
Penggunaan eksploitasi terhadap anak –
anak dalam pertunjukan dan bahan – bahan pornografi.
Di
dalam Undang – undang Dasar 1945 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28B juga mengakui
hak anak sebagai HAM yang oleh siapapun tidak boleh dibatasi dan wajib
dilindungi. Bagi yang melanggar hal tersebut jelas dianggap sebagai kejahatan
HAM sebagaimana yang dikatakan Jimly Asshiddiqie ;
“Kejahatan terhadap HAM pada dasarnya
adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena konstitusi
merupakan sumber hukum dasar dan common platform yang mengikat seluruh bangsa
Indonesia, maka kejahatan terhadap HAM dapat diratikan sebagai pengingkaran
terhadap hukum dasar dan common platform.”[51]
Jadi,
menurut penulis, kekerasan seksual atau pelecehan seksual terhadap anak
merupakan kejahatan HAM yang berimplikasi buruk terhadap masa depan anak dan
bangsa dimasa mendatang karena selain korban menderita secara fisik juga
terbebani secara psikis. Dengan demikian kekerasan seksual dapat dikatakan
sebagai kejahatan HAM.
3. Pengertian Perlindungan Hak Anak.
Pengertian
perlindungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat menyebutkan bahwa perlindungan adalah suatu
bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan
saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang
diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan
di sidang pengadilan.
Pada
Ayat (2), Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari
pihak manapun. Selanjutnya, pada Ayat (4), Ancaman, gangguan, teror, dan
kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang –
halangi atau mencegah seseorang sehingga langsung atau tidak langsung
mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk
kepentingan penyeledikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan.
Perlindungan
anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2 Undang – undang Perlindungan
Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak – haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Sementara
pengertian perlindungan khusus sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 angka
15 undang – undang yang sama adalah perlindungan yang diberikan kepada anak
dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban kekerasan fisik dan / atau mental, anak yang menyandang
cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pada
Pasal 3, tujuan perlindungan anak untuk menjamin terpenuhinya hak – hak anak
agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesui
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.
Bicara
perlindungan tentu tidak lepas dari apa yang dilindungi. Dalam hal ini penulis
menekankan pada perlindungan terhadap hak – hak anak. Adapun hak anak secara
mendasar termaktub dalam Pasal 28B Ayat (2) Undang – undang Dasar 1945 yakni
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak anak juga ditegaskan
kembali didalam Bab III Hak dan Kewajiban Pasal 4 – 19 Undang – undang Nomor 21
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bertitik
tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif maka
undang – undang ini meletakan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
berdasarkan 4 (empat) asas, yakni non diskriminasi, asas kepentingan yang
terbaik bagi anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
serta asas penghargaan terhadap pandangan / pendapat anak.[52]
Jadi,
hak anak yang diatur dalam konstitusi Indonesia dan telah menjadi hukum
positif, oleh negara dan masyarakat seharusnya dilindungi dengan segala cara
agar anak terhidar dari kejahatan HAM khususnya kekerasan seksual karena sangat
berdampak pada masa depan anak dan bangsa baik secara fisik maupun psikis anak
Indonesia. Terkait hal pengaturan perlindungan anak korban kekerasan seksual
dan hak anak, lebih lanjut akan dibahas pada BAB selanjutnya.
|
PEMBAHASAN
A. Pengaturan Perlindungan Hukum
Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM.
Sebagaimana
yang penulis uraikan pada BAB sebelumnya, bahwasanya HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan hakat dan martabatnya (Pasal 1 Ayat 1 UU 39/1999).
Dan
HAM yang dipahami sebagai natural right
merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Dalam
perkembangannya mengalami perubahan – perubahan mendasar sejalan dengan
keyakinan dan praktek – praktek sosial lingkungan kehidupan masyarakat luas.[53] Hak
asasi ini merupakan hak natural / alam dan merupakan pemberian langsung dari
Tuhan. Oleh karenanya bila seseorang manusia ingin memperoleh kehidupannya yang
bermartabat, harus memposisikan hak asasi
manusia dengan melihatnya dari sudut sifat alamiah manusia secara
hakiki.[54]
Dengan
demikian, penulis berpendapat bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu
harus dilindungi, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun. Dan ini menjadi tanggung jawab negara, pemerintah,
masyarakat dan orang tua dalam menjaga dan melindunginya agar HAM senantiasa
dihormati setiap warga negara. Termasuk juga HAM anak.
Mengapa
harus negara dan mengapa juga setiap individu turut berkewajiban menjaga dan
melindungi HAM anak. Lantas mengapa harus diatur dalam hukum positif.
Sebagaimana
kita ketahui, idealnya pendirian sebuah negara[55],
didasari oleh adanya wilayah tertentu, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat.
Dan dalam pergaulan internasional, sebuah negara baru dianggap ada jika adanya
pengakuan Internasional.[56]
Dalam pandangan warga negara, dari pengertian – pengertian dimaksud, adanya
pengakuan warga akan kekuatan dan kekuasaan negara yang sifatnya memaksa, dan
warga harus menerima konsekuensi itu. Agar tidak terjadinya kesewenangan (abuse of power tent to corupt)
sebagaimana prinsip dasar pembatasan yuridis terhadap kekuasaan dikarenakan
politik kekuasaan yang cenderung korup,[57] negara
perlu memiliki suatu falsafah atau norma dasar (grand norm) terkodifikasi di dalam konstitusi yang lazimnya berisi
tiga pokok materi muatan yaitu adanya jaminan HAM dan warga negara. Kemudian
ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
serta adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.[58]
Makanya
pengaturan HAM dalam UUD RI 1945, meskipun awalnya kurang tegas pengakuannya,
mempunyai kedudukan esensial dalam negara karena didalamnya tidak saja
memberikan kejelasan tentang mekanisme ketatanegaraan, tetapi juga memberikan
penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat antara rakyat dan penguasa
sebagaimana pandangan Thomas Paine (tokoh
radikal abad ke – 18 yang
karyanya banyak mengilhami munculnya revolusi Perancis dan Amerika), yang
mengatakan “A constitution is not the act
of a goverment but of a people constitution a goverment, without a constitution
is power without right, and a constitution is the property of the nation and
not of those who exercise the govement.[59]
Jaminan konstitusi mengenai HAM berkaitan erat dengan
hak dan kewajiban. Lebih lanjut Robert Audi memberi penegasan tentang hak,
yaitu :
“.... Rights, advantegous positions conferred on some prossessors by law,
moral, rules, or other norms. There is no agreement on the sense in which
rights are advanteges. Will theories hold that rightsfavor he will of the
possessor over the conflicting will of some other party, interenst theory maintain
that rights serve to protect or promote the interest of the high holder.”[60]
Pernyataan
diatas menegaskan bahwa hukum, moral, peraturan atau norma – norma lain dapat
diberikan hak kepada seseorang. Dengan kata lain, kedudukan yang menguntungkan
bagi para pemilik hak dapat ditolerir melalui aturan hukum yang berlaku dalam
masyarakat. Kemudian dalam penerapannya terdapat perbedaan yang terjadi karena stressing
point berbeda. Berdasarkan teori kemauan (will
theory), yang dipedomani adalah bahwa hak mengutamakan kemauan pemilik hak
dari berbagai keinginan yang berbeda dengan pihak lain. Sementara toeri
kepentingan (interest theory), lebih
menekankan bahwa hak berperan untuk melindungi atau mengembangkan kepentingan
pemilik hak.[61]
Sedikit
menilik kebelakang, era Orde Lama, pengakuan Indonesia mengenai HAM sebetulnya
sudah ada, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, pada Alinea 1 Pembukaan
UUD 1945 yang isinya menyatakan bahwa, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu....,
dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Indonesia pun memproklamirkan diri sebagai
negara hukum yang segala tindakannya didasarkan atas hukum.[62]
Dengan demikian, menurut Woro Winandi, elemen – elemen dasar sebagai negara
hukum wajib terpenuhi, diantaranya asas pengakuan dan perlindungan terhadap
HAM, asas legalitas, asas pembagian kekuasaan, asas peradilan yang bebas dan
tidak memihak, serta asas kedaulatan rakyat.[63]
Sebagai negara hukum, sudah barang tentu, pengakuan atas HAM yang secara formal
harus tercantum dalam peraturan perundang – undangan yang didasari oleh
konstitusi sebagai pembatasan dari kekuasaan negara.
Jadi,
uraian diatas menggambarkan suatu hubungan pertalian antara negara dan warga, hak
asasi yang harus dilindungi negara dan tercantum di dalam konstitusi sebagai
falsafah atau norma dasar bernegara. Pandangan ini jelas menghendaki didalam
konstitusi Indonesia, sebagai negara hukum, yang mengakui DUHAM dan
meratifikasi sejumlah konvensi HAM, wajib mencantumkan HAM dalam konstitusinya
yang bersifat fundamental dan menjadi rujukan hukum dibawahnya.
Apalagi,
sejarah mencatat juga, pada UUDS 1950 juga telah memuat pasal – pasal tentang
HAM yang lebih banyak dibanding UUD 1945 sebelum amandemen. Namun Konstituante
yang terbentuk melalui pemilihan umum 1955 dibubarkan presiden berdasarkan
Keppres 150 Tahun 1959 pada tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini
mengakibatkan kita kembali pada UUD 1945.
Lebih
lanjut, Slamet Marta Wardaya menguraikan sebagai berikut ;
“Kemudian berbagai pihak untuk
melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang –
sidangnya awal orde baru telah menyusun Piagam Hak – hak Asasi Manusia dan Hak
– hak serta Kewajibannya Warga Negara. MPRS telah menyampaikan Nota MPRS kepada
presiden dan DPR tentang pelaksanaan HAM. Karena berbagai kepentingan politik
pada saat itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa
pemerintahan orde baru pada saat itu bersikap anti terhadap Piagam HAM dan
beranggapan bahwa masalah HAM sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang –
undangan. Untuk menghapus kekecewaan itu kepada bangsa Indonesia terhadap
Piagam HAM, maka MPR ppada sidang istemewanya tanggal 11 November 1998 mensahkan
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga – lembaga
Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.[64]
Sementara
itu dalam HAM, sebagaimana yang dituangkan dalam KHA yang telah diratifikasi,
manusia memiliki hak, sedangkan kewajiban berada ditangan negara. Apalagi dalam konteks KHA, anak sebagai
pemegang hak dan negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi HAM anak.[65]
Karena konstitusi merupakan perangkat hukum dasar (fundamental law) dalam sebuah
negara yang menjadi bagian penting dengan upaya – upaya penegakan hukum
sebagaimana pandangan Carl Joachim Friedrich (ahli hukum konstitusi inggris)[66]
sudah semestinya hal itu dijadikan semangat bangsa untuk mengakui HAM sebagai
hak yang tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Apalagi Indonesia termasuk salah
satu negara demokrasi yaitu negara yang mengedepankan kelangsungan hidup rakyat
dengan baik,[67]
terutama anak.
Berkaca
pada itu, perihal yang erat kaitannya dengan HAM anak, Indonesia era Orde Baru mengakui
dan meratifikasi Convention on the Right
of the Child (Konvensi Hak Anak / KHA) pada tahun 1989 dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Dengan
demikian, Konvensi PBB tersebut menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh
warga negara Indonesia.[68]
Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia mengakui bahwa hak anak
merupakan bagian integral dari HAM dan KHA merupakan bagian integral dari
instrumen internasional tentang HAM. Konvensi hak anak merupakan instrumen
berisi rumusan prinsip – prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai
hak – hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasiona mengenai HAM yang
memasukan unsur – unsur hak sipil dan politik, serta hak – hak ekonomi, sosial
dan budaya.
Pengakuan
ini pula, diimplemantasikan kedalam aturan hukum dibawah UUD 1945, sebagai
bentuk perwujudan negara hukum yang menjunjung tinggi asas legalitas, pengakuan
dan perlindungan HAM dan asas lainnya.
Berikut
penulis uraikan berbagai peraturan berkaitan dengan HAM dan Hak Anak yang
diberlakukan sebagai hukum positif di Indonesia sebagai penghormatan terhadap
Piagam PBB, DUHAM dan KHA sesuai prinsip – prinsip kebudayaan bangsa Indonesia,
Pancasila dan Negara berdasarkan atas hukum, diantaranya :
1.
Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita
2.
Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan HAM ;
3.
Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang
Komisi Nasional HAM.[69]
Kemudian,
dalam era reformasi, menetapkan berbagai peraturan perundang – undangan
berspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM internasional, diantaranya :
1.
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15
Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
2.
Intruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998
tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunakaan Istilah Pribumi dan
Non Pribumi dalam Semua Urusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan
Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan ;
3.
Undang – undang Nomor 5 Tahun 1998
tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan ;
4.
Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9
Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
5.
Undang – undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal
26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ;
6.
Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999
tanggal 23 November 2000 tentang HAM ;
7.
Undang – undang Nomor 26 Tahun 2000
tanggal 23 November 2000 tentang Pengadilan HAM ;
8.
Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948,
diratifikasi berdasarkan Keppres Nomor 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi ;
9.
Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957,
diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Penghapusan Kerja Paksa ;
10. Konvensi
ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 21 Tahun
1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
11. Konvensi
ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 20 Tahun
1999 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja
12. Konvensi
ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
13. Konvensi
ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun
2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.[70]
Kembali
kepada hak anak sebagaimana yang termaktub dalam KHA, menegaskan 4 (empat)
prinsip umum perlindungan hak anak yakni non diskriminasi (Pasal 2),
kepentingan yang terbaik buat anak (Pasal 3), Hak hidup, kelangsungan hidup dan
perkembangan (Pasal 6) dan penghargaan atas pendapat anak (Pasal 12) dan
telah disetujui negara – negara anggota
Majelis Umum PBB pada Tanggal 20 November 1989. Di dalam KHA juga menyinggung
hak – hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan pengganti,
kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya
serta langkah – langkah perlindungan khusus yang semuanya itu mengandung
substansi hak – hak anak.[71]
Lebih
lanjut, langkah – langkah perlindungan khusus, selain anak berada dalam keadaan
darurat, pengungsi anak, anak dalam konflik bersenjata, juga anak yang terlibat
dalam sistem administrasi pengadilan anak yang substansinya juga menyebutkan
tentang pemulihan fisik dan psikologis anak termasuk reintegrasi sosial[72]
yang penulis yakin masuk kedalam hak anak korban kekerasan seksual yang patut
dilindungi. Selanjutnya, anak dalam
situasi eksploitasi meliputi, selain eksploitasi ekonomi, penyalahgunaan obat
(narkotika), penjualan, perdagangan dan penculikan anak serta eksploitasi dalam
bentuk lainnya, anak – anak kelompok kelompok minoritas dan suku terasing, juga
disebutkan secara tegas eksploitasi dan kekerasan seksual.
Agar
terjamin perlindungannya, KHA dalam Pasal 42 menegaskan bahwa negara peserta
akan melakukan daya upaya agar prinsip – prinsip dan ketentuan – ketentuan KHA
diketahui secara luas, baik orang dewasa maupun anak – anak (didalam wilayah
negara bersangkutan). Ketentuan itu jelas mewajibakan negara peserta untuk
menyebarluaskan prinsip dan ketentuan KHA kepada publik dalam negeri dengan
tujuan dapat memahami dan memantau perkembangan perlindungan hak anak dimaksud
Dengan
demikian, implementasi pengakuan dan perlindungan hak anak dalam Konvensi
tentang Hak – hak Anak (KHA) diatas, ditindaklanjuti kedalam peraturan
perundang – undangan di Indonesia. Salah satunya Undang – undang Perlindungan
Anak Nomor 23 Tahun 2002. Selain itu menurut Rika Saraswati, pengaturan lainnya
juga dimasukan ke dalam , sebagai berikut :
1.
Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28B
Ayat 2
2.
Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143)
3.
Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
4.
Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
5.
Undang – undang Nomor 11 Tahun 2005
tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12 Ayat (2), dan Pasal 13 Ayat (3))
6.
Undang – undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat
(4) dan Pasal 24).
7.
Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan Agenda Ratifikasi Protokol
Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak, dan
Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak entang
Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
8.
Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
9.
Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
10. Keppres
Nomor 88 Tahun 2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan
dan Anak (RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan yang
bersifat mendasar.[73]
B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Hak – Hak Anak.
Sebagai
negara hukum yang mengakui hak anak sebagai bagian integral dari HAM,
sebagaimana didalam KHA yang telah diratifikasi, sudah barang tentu, Indonesia
berkewajiban memberikan jaminan perlindungan hukum atas hak – hak anak. Yang
menjadi pertanyaannya adalah bagaimana perlindungan hukum bagi anak korban
kekerasan seksual. Karena persoalannya adalah kekerasan seksual itu sudah
terjadi dan bentuknya pun beragam[74]
serta berdampak buruk terhadap diri pribadi anak baik pisik maupun fisik.[75]
Menurut
Saeroni dalam tulisannya “Mewaspadai Kekerasan Seksual Pada Anak Perempuan,”
kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling mengerikan karena jenis
kekerasan ini biasanya diiringi oleh beberapa bentuk dan jenis kekerasan
lainnya, seperti kekerasan fisik, sosiologis maupun psikologis. Ironisnya lagi,
pelakunya seringkali orang terdekat atau orang – orang yang telah kenal baik
oleh korban, seperti tetangga, saudara, guru, bahkan juga orang tua korban. [76]
Jika
demikian, bagaimana dengan perlindungan hukum hak anak korban kekerasan seksual,
siapa yang bertanggung jawab memberi perlindungan, dan upaya – upayanya.
1.
Hak
anak Korban Kekerasan Seksual.
Menurut
penulis, hak anak secara umum terkait dengan masalah diatas sebagaimana termaktub
dalam KHA, diantaranya hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh berkembangan (development rights), dan hak untuk
berpartisipasi (participation rights).
Mengutip
Rika Saraswati, hak terhadap kelangsungan hidup ada 8 hak yang termaktub dalam
KHA. Lebih spesifik sebagaimana tema diatas, penulis mengambil satu hak yang
terkait dengan hal itu, yang patut menjadi perhatian negara dalam memberikan
perlindungan, yakni hak memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau
orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan. Ini dapat dilihat dalam
Pasal 19 KHA.
Hak
terhadap perlindungan (protection rights),
yaitu perlindungan anak dari kekerasan, masuk kategori perlindungan dari
eksploitasi (6 hak), salah satunya meliputi perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi dan pornograpi. Sedangkan hak untuk tumbuh berkembang (development rights) meliputi bentuk
pendidikan (formal maupun nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang
layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual dan sosial anak (Pasal 28
KHA). Terkait hal ini, anak korban kekerasan seksual berhak memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.
Terakhir,
hak berpartisipasi (participation rights)
yaitu hak menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hal ini
meliputi 4 (empat) hak, salah satunya untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang
tidak sehat.
Sementara
itu, dalam Undang – undang Perlindungan Anak,
perihal hak anak diatas juga diatur dalam Pasal 4 yang menegaskan bahwa
setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut penulis, ketentuan
ini juga berlaku bagi anak korban kekerasan seksual, karena hak untuk mendapat
perlindungan dimaksud tetap melekat, hingga tidak terulang lagi kejadian serupa
dimasa mendatang kepada dirinya.
Anak
korban kekerasan seksual juga berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial serta memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadi dan kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya (Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan (2)).
Mengapa
demikian, karena sebagaimana yang dikatakan Devi Anggraini dalam tulisannya
“Pelecehan Seksual Pada Anak,” bahwa ;
“Pelecehan seksual berdampak besar
terhadap psikologi anak, karena mengakibatkan emosi yang tidak stabil. Oleh
karena itu, anak korban pelecehan seksual harus dilindugi dan tidak
dikembalikan pada situasi dimana tempat terjadinya pelecehan seksual tersebut
dan pelaku pelecehan dijauhkan dari anak korban pelecehan. Hal ini untuk
memberi perlindungan pada anak korban pelecehan seksual. Anak – anak yang
menjadi korban pelecehan seksual akan mengalami sejumlah masalah, seperti
kehilangan semangat hidup, membenci lawan jenis, dan upaya keinginan untuk
balas dendam, bila kondisi psikologisnya tidak ditangani secara serius.”[77]
Apalagi
melihat dari bentuk kekerasan seksual, seperti yang diungkapkan Lukman Hakim
Nainggolan, :
“Kekerasan seksual meliputi eksploitasi
seksual komersial termasuk penjualan anak (sale children) untuk tujuan
prostitusi (child prostitution) dan pornograpi (child phornografy). Kekerasan
seksual terhadap atau dengan sebutan lain bisa berupa hubungan seks, baik
melalui vagina, penis, oral, dengan menggunakan alat, sampai dengan
memperlihatkan alat kelaminnya, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani,
pelecehan seksual, bahkan perbuatan incest.
Bentuk lainnya, menyentuh alat kelamin
korban atau memaksa korban untuk menyentuh alat kelaminnya, melibatkan anak –
anak dalam pornograpi, misalnya memperlihatkan gambar atau tulisan erotis
dengan tujuan membangkitkan napsu birahi, termasuk juga memperlihatkan kepada
anak – anak seperti kondom, gambar orang tanpa busana dan sebagainya.
Menurut Resna dan Darmawan, tindakan
penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu pemerkosaan,
incest, dan eksploitasi. Pada eksploitasi termasuk prostitusi dan pornograpi.[78]
Secara
eksplisit, adapun efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi,
gangguan jiwa pasca trauma, kecemasan, kencendrungan menjadi korban lebih
lanjut, dimasa dewasa dan cedera fisik.[79]
Jadi,
dilihat dari segi bentuk, efek dan dampak kekerasan seksual sebagaimana yang
dimaksud diatas, serta tujuan perlindungan anak sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 3 UUPA, jelas menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak – hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dab
berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Maka
dari itu, sudah sepatutnya negara tetap menjamin terlindunginya hak anak korban
kekerasan, diantaranya (1) hak untuk
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. (2) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
serta memperoleh pendidikan dan pengajaran agar anak kembali dalam kondisia
ideal sedia kalanya.
2.
Upaya
Perlindungan Hak dan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual
Sebagaimana
tujuan perlindungan anak dalam Pasal 3 UUPA, dan kewajiban negara dan
pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak (Pasal 14 – 20), serta
sesuai dengan Pasal 42 KHA, menegaskan
bahwa negara peserta akan melakukan daya upaya agar prinsip – prinsip dan
ketentuan – ketentuan KHA diketahui secara luas, baik orang dewasa maupun anak
– anak (didalam wilayah negara bersangkutan). Ketentuan itu jelas mewajibakan
negara peserta untuk menyebarluaskan prinsip dan ketentuan KHA kepada publik
dalam negeri dengan tujuan dapat memahami dan memantau perkembangan
perlindungan hak anak dimaksud.
Upaya
perlindungan terhadap hak anak di dalam UUPA jelas menegaskan bahwa negara dan
pemerintah, masyarakat berkewajiban melindungi melindungi hak anak,[80]
khususnya korban kekerasan seksual. Secara eksplisit diatur didalam UUPA,
diantaranya, pada Pasal 13 Ayat (10) yang berbunyi “Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab
atas pengasuhannya, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran. Kemudian
juga kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, dan perlakuan salah lainnya. Pada
Ayat (2) bila orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana Ayat (1), maka pelaku diberi pemberatan hukuman.
Kemudian,
Pasal 16 Ayat (1) setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Kemudian, pada Pasal 17 Ayat (2), setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Lalu
dipertegas pula pada Pasal 18 yakni setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Lantas
bagaimana jaminan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual oleh negara
dan pemerintah. Sesuai semangat pada pasal 21 UUPA yang tegas mengatakan bahwa
negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak tanpa diskriminasi, maka negara dan pemerintah
harus memberikan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak
(Pasal 22), menjamin perlindungan anak (Pasal 23 Ayat (1)) dan mengawasinya
(Pasal 23 Ayat (2)). Pemerintah dan lembaga negara lainnya, juga berkewajiban
memberikan perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan seksual sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 59 UUPA.
Upaya
perlindungan khusus ini, bagi anak korban tindak pidana (Pasal 64) dan
eksploitasi seksual (Pasal 66) antara lain :
a.
Upaya
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum menurut Pasal 64
Ayat (3) :
·
Upaya rehabilitasi, perlindungan dari
pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi
·
Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi
korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial
·
Pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara
b.
Upaya
Perliundungan khusus menurut Pasal 66 Ayat (2) :
· Penyebarluasan
dan / atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang – undangan yang berkaitan
dengan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan / atau
seksual.
· Pemantauan,
pelaporan dan pemberian sanksi.
· Perlibatan
berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya
masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara
ekonomi dan / atau seksual.
Kemudian
ditegaskan juga, sebagai jaminan perlindungan hak anak, bahwa setiap orang
dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 66
Ayat (1).
c.
Upaya
Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana Pasal 59 meliputi
kekerasan fisik, psikis, dan seksual menurut Pasal 69 Ayat (2) :
· Penyebarluasan
dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang – undangan yang melindungi anak
korban tindak kekerasan.
· Pemantauan,
pelaporan dan pemberian sanksi.
Kemudian
ditegaskan juga, sebagai jaminan perlindungan hak anak, bahwa setiap orang
dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut
serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 69
Ayat (1)
Selain
negara, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjamin
terlaksananya perlindungan hak anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 UUPA
yang menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap
perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam
perlindungan anak. Sementara orang tua, selain berkewajiban dan bertanggung
jawab mengasuh, memelihara, mendidik, juga berkewajiban dan bertanggung jawab
melindungi anak (Pasal 26 huruf a).
Dan
upaya lainnya, guna meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak,
maka pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UUPA, membentuk Komisi
Perlindungan Anak yang bersifat independent, dengan beranggotakan 9 orang yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Komisi ini bertugas melakukan
sosialisasi seluruh peraturan ketentuan peraturan perundang – undangan
berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian juga memberikan laporan
dan saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan
anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal
74 – 76 UUPA.
Dan
agar meminimalisir atau tidak lagi terjadi kekerasan seksual terhadap anak
serta guna memberi efek jera kepada pelaku, maka diatur pula sanksi pidana yang
disertai denda. Antara lain :
a.
Pasal
80.
1) Pidana
Penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan / atau denda maksimal Rp
72.000.000 (tujuh puluh dua juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan
kekejaman, kekerasan atau ancamanan kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.
2) Jika
mengakibatkan luka berat, maka pelaku dipidana maksumal 5 (lima) tahun dan /
atau denda maksimal Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3) Jika
mati, maka pelaku dipidana maksimal 10 tahun dan / atau denda Rp 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah).
4) Ditambah
sepertiga, apabila yang melakukan adalah orangtuanya.
b.
Pasal
81
1) Pidana
penjara minimal 3 tahun maksimal 15 tahun dan denda minimal 60 juta maksimal Rp 300 juta, bagi setiap
orang yang sengaja melakukan kekerasan atau ancamanan kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.
2) Ketentuan
ayat (1), berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.
c.
Pasal
82
Dipidana
maksimal 15 tahun minimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta minimal Rp 60
juta bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Sementara
itu, menurut Lukman Hakim Nainggolan, pemberian sanksi pidana bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu kebijakan politik kriminal yang
menurut pendapatnya masuk dalam upaya penal. Dimana Upaya penal dimaksud yaitu
penanggulangan setelah terjadi kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan
dengan tujuan agar setiap orang tidak melakukan perbuatan yang sama dan menjadi
contoh bagi yang lain jika melakukannya maka dijatuhkan sanksi keras yang sifatnya
represif.
Lebih
lanjut, dia juga menyebutkan upaya lainnya, yakni upaya nonpenal. Maksudnya
adalah usaha – usaha penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang
berarti bahwa penanggulangan ini adalah penanggulangan yang lebih bersifat preventif.
Misalnya berupa penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan
tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat
melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha dan
kesejahteraan anak remaja, kegiatan patroli dan pengawasa lainnya secara
kontinue oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.
Kemudian
upaya preventif yaitu upaya penanggulangan yang lebih dititik beratkan pada
pencegahan terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. Kejahatan dapat dikurangi dengan
meminimalisir faktor – faktor penyebabnya. Misalnya, faktor menyimpang dari
diri pelaku, kondisi yang mendukung, sosial budaya, keberadaan korban dan banyak lagi.
Terakhir adalah upaya reformatif, yaitu segala cara pembaharuan atau
perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang
melanggar undang – undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah
resedivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara yang kesemuanya adalah menuju kepada kesembuhan pelaku, sehingga pelaku
dapat menjadi manusia yang baik kembali.
|
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah penulis
sampaikan pada bab terdahulu, kiranya dapat disimpulkan antara lain :
1.
Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM
a.
Bahwa Indonesia sesungguhnya – pada masa
kemerdekaan dan Orde Lama, sudah mengakui HAM di dalam UUD 1945 meskipun tidak
secara transparan, bahkan di dalam konstitusi yang mengalami perubahan seperti
UUDS 1950 dan Konstitusi RIS, HAM tercantum didalam batang tubuh konstitusi.
b.
Pengaturan HAM anak pada masa Orde Baru
pun diakui. Meskipun masih menggunakan UUD 1945 original, namun dalam
pelaksanaannya, sebagaimana Deklarasi Universal HAM (DUHAM), diberlakukan
beberapa aturan terkait HAM, diantaranya :
§ Undang
– undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
§ Keppres
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan HAM ;
§ Keppres
Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.
c.
Implementasinya, di masa era reformasi,
lahir pula berbagai aturan terkait HAM dan ratifikasi instrumen HAM
internasional, diantaranya :
§ Keppres
Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan ;
§ Intruksi
Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan
Penggunakaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Urusan dan
Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan
Penyelenggaraan Pemerintahan ;
§ Undang
– undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan ;
§ Keppres
Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan ;
§ Undang
– undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ;
§ Undang
– undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 November 2000 tentang HAM ;
§ Undang
– undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Pengadilan HAM ;
§ Konvensi
ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres Nomor 83 Tahun 1998
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi ;
§ Konvensi
ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 19 Tahun
1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa ;
§ Konvensi
ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 21 Tahun
1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
§ Konvensi
ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 20 Tahun
1999 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja
§ Konvensi
ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – bentuk
Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
§ Konvensi
ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun
2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.
d.
Sementara itu, aturan yang terkait
perlindungan hak asasi anak berdasarkan Convention
on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak / KHA) 1989 yang disetujui
Majelis Umum PBB, kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres Nomor
Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, KHA menjadi hukum positif di
Indonesia. Kemudian terjadinya amandemen
UUD 1945 sebanyak 4 kali (1998 – 2002), maka ada penegasan terkait HAM anak
dalam hukum positif di Indonesia, yakni Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945 dan Undang
– undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dan aturan lainnya yang terkait perlindungan
anak antara lain :
§ Undang
– undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3143)
§ Undang
– undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
§ Undang
– undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
§ Undang
– undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12 Ayat
(2), dan Pasal 13 Ayat (3))
§ Undang
– undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal
18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24).
§ Keppres
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan
Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak,
Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak
Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
§ Keppres
Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak
§ Keppres
Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi
Seksual Komersial Anak (ESKA)
§ Keppres
Nomor 88 Tahun 2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan
dan Anak (RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan yang
bersifat mendasar.
2.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban
Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Hak – Hak Anak.
Terkait dengan hak anak korban kekerasan seksual ada
4 yakni hak terhadap kelangsungan hidup (survival
rights), hak terhadap perlindungan (protection
rights), hak untuk tumbuh berkembangan (development
rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation
rights).
Hak kelangsungan hidup yang mesti dilindungi bagi
anak adalah hak memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau
orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan. Ini dapat dilihat dalam
Pasal 19 KHA.
Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu perlindungan anak dari kekerasan, masuk
kategori perlindungan dari eksploitasi (6 hak), salah satunya meliputi perlindungan dari upaya penganiayaan seksual,
prostitusi dan pornograpi
Hak untuk tumbuh berkembang (development rights) meliputi bentuk pendidikan (formal maupun
nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual dan sosial anak (Pasal 28 KHA). Terkait hal ini, anak
korban kekerasan seksual berhak
memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik
Hak berpartisipasi (participation rights) yaitu hak menyatakan pendapat dalam segala
hal yang mempengaruhi anak. Hal ini meliputi 4 (empat) hak, salah satunya untuk
memperoleh informasi yang layak dan
terlindung dari informasi yang tidak sehat.
Upaya
perlindungan terhadap hak anak di dalam UUPA jelas menegaskan bahwa negara dan
pemerintah, masyarakat berkewajiban melindungi melindungi hak anak, khususnya
korban kekerasan seksual. Secara eksplisit diatur didalam UUPA, diantaranya,
pada Pasal 13 Ayat (1) dan (2), Pasal 16 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (2), dan Pasal
18. Perlindungan hak anak korban kekerasan seksual di lakukan oleh oleh negara
dan pemerintah. Sesuai Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 Ayat (1) Pasal 23 Ayat (2).
Dan lembaga negara lainnya, juga berkewajiban memberikan perlindungan khusus
bagi anak korban kekerasan seksual sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UUPA.
Bahkan negara dan pemerintah melakukan upaya perlindungan khusus ini bagi anak
korban tindak pidana, eksploitasi dan kekerasan seksual sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 64, Pasal 66 dan 69.
Selain
itu, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjamin
terlaksananya perlindungan hak anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 UUPA,
termasuk juga didalamnya kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak sebagaimana yang termaktub dalam Pasal
26 huruf a.
Guna
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka pemerintah
sebagaimana yang diamanatkan UUPA, membentuk Komisi Perlindungan Anak yang
bersifat independent, dengan beranggotakan 9 orang yang diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Komisi ini bertugas melakukan sosialisasi seluruh
peraturan ketentuan peraturan perundang – undangan berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian juga memberikan laporan dan saran,
masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 74 – 76 UUPA.
Dan
agar meminimalisir atau memberi efek jera bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap
anak maka diatur pula sanksi pidana penjara dan denda di dalam Pasal 80, Pasal
81 dan Pasal 82.
B. Saran
1.
Meskipun Indonesia mengakui HAM dan Hak
anak, namun dengan masih maraknya tindak kekerasan seksual terhadap anak maka
perlu evaluasi dan pengkajian mendalam terkait aturan perundang – undangan
perlindungan guna menentukan kebijakan politik kriminal yang tegas dan berefek
jera sehingga dapat menekan pelanggaran HAM, khususnya kekerasan seksual terhadap
anak dimaksud.
2.
Upaya non atau penanggulangan yang lebih
bersifat preventif perlu ditingkatkan baik oleh negara, pemerintah dan
masyarakat. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi rujukan dalam
hal membuat program rehabilitasi, penyantunan dan pendidikan sosial dalam
rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan
kesehatan jiwa masyarakat lewat pendidikan moral, agama dan sebagainya,
peningkatan usaha dan kesejahteraan anak remaja, kegiatan patroli dan pengawasan
lainnya secara kontinue oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.
3.
Kemudian upaya preventif yaitu upaya
penanggulangan yang lebih dititik beratkan pada pencegahan terjadinya tindak
kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.
Kejahatan dapat dikurangi dengan meminimalisir faktor – faktor penyebabnya.
Misalnya, faktor menyimpang dari diri pelaku, kondisi yang mendukung, sosial
budaya, keberadaan korban dan banyak
lagi. Disamping itu perlu pula upaya
reformatif, yaitu segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang
yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang – undang. Upaya ini
bertujuan untuk mengurangi jumlah resedivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara yang kesemuanya adalah menuju kepada
kesembuhan pelaku, sehingga pelaku dapat menjadi manusia yang baik kembali.
|
-------, Convention on the rights of the Children
(Konvensi Hak Anak /KHA) 1989
-------, Undang
– undang Dasar 1945
-------, Undang – undang
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal Pasal 12 Ayat (2), dan
Pasal 13 Ayat (3)
------, Undang – undang
Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal 18 Ayat
(4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24)
-------, Undang
– undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-------, Undang – undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
-------, Undang – undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
-------, Undang – undang
Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
-------, Undang
– undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
-------, Undang – undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
-------, Undang – undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
-------, Peraturan
Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi
Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.
-------, Keppres Nomor 40
Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan Agenda
Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak,
Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak
Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
-------, Keppres Nomor 87
Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi Seksual
Komersial Anak (ESKA)
-------, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan HAM ;
-------, Keppres Nomor 50
Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM
Dwi Yanto, Perlindungan HAM Anak Indonesia :
Perkembangan, Implementasi dan Rekomendasi, Karya Ilmiah dalam
nunutngombe.wordpress.com, 28 Oktober 2010
Hendarmin
Ranadireksa, Visi Bernegara – Arsitektur
Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,
Bandung, 2009
|
Lukman Hakim
Nainggolan, Bentuk – bentuk Kekerasan
Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Equality, Vol 13 No. 1 Februari
2008
Majda El –
Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam
Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 3, Prenada Media, Jakarta, 2009.
Muladi, Ed, Bunga Rampai Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika
Aditama, Bandung, 2009
M. Marwas &
Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law
Complete Edition, Cetakan 1, Reality
Publisher, Surabaya, 2009.
Priyambodo RH
& Indria Prawitasari, Buku Saku
Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo (LPDS),
Rika Saraswati, Hukum
Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009.
Supriyadi W Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Bahan Ajar, Kursus HAM untuk Pengacara X Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Tahun 2005
Undang – undang Perlindungan Anak,
Cetakan 1, Fokusmedia, Bandung, 2011
Yudha Pandu, Ed, Undang – Undang HAM, Cetakan ke 5,
Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, Hal 2.
Yudha Pandu, ed, Undang – undang Dasar 1945 & Konstitusi
Indonesia,
Cetakan ke 2, Indonesia Legal Center Publishing, Bandung, 2010,
http :
//www.republika.co.id, 1 Desember 2010.
http://www.detiknews.com, 22 Desember
2010.
http://depkominfo.go.id, 5 April 2010.
http://metronews.fajar.co.id.
http;//www.ykai.net
http://devianianggraeni90.wordpress.com/,
21 Desember 2009.
http://saeroni.wordpress.com/, 1 Januari
2009
http://id.wikipedia.org/, 30 April 2011.
[2] Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan Amandemen I,II,III,IV
Pustaka Timur, Yogyakarta, 2009, hlm. 101-107.
[3] Miriam Budiardjo,
Dasar – Dasar Ilmu Politk cet-24, PT
Gramedia, Jakarta, 2004, hlm. 128.
[4] Republika, Op Cit, 23 Oktober 2010.
[5] Ibid, 2 November 2010.
[6] Ibid.
[7] http://depkominfo.go.id, 5 April 2010.
[8] Lukman Hakim
Nainggolan, Bentuk – bentuk Kekerasan
Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Equality, Vol 13 No. 1 Februari
2008, Hal 83.
[9] Rika Saraswati,
Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009, Hal
15 – 17.
[10] M. Marwas &
Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law
Complete Edition, Cetakan 1, Reality
Publisher, Surabya, 2009, Hal 64 – 65.
[11] Yudha Pandu,
Ed, UUD 1945 & Konstitusi Indonesia,
Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2010, Hal 30.
[12] Rika Saraswati,
Op Cit, Hal 18 – 19.
[13] Majda El –
Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam
Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 3, Prenada Media, Jakarta, 2009, Hal v.
[14]
http://metronews.fajar.co.id.
[15]
http;//www.ykai.net
[16] M. Marwas &
Jimmy P, Op Cit, 200 – 201.
[17] Lihat Pasal 1
Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan
Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
[18] M. Marwas &
Jimmy P, Op Cit, Hal 258.
[19] Ibid, Hal 41.
[20] M. Marwas &
Jimmy P, Op Cit, Hal 383.
[21] Ibid, Hal 343.
[22] Lukman Hakim
Nainggolan, Op Cit, Hal 73.
[23] M. Marwas &
Jimmy P, Loc Cit, Hal 231.
[24] Majda El –
Muhtaj , Op Cit, Hal 1.
[25] Lihat
Priyambodo RH & Indria Prawitasari, Buku
Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo (LPDS), Hal 40 – 47.
[26] Yudha Pandu,
Ed, Undang – Undang HAM, Cetakan ke
5, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, Hal 2.
[27] Dwi Yanto, Perlindungan HAM Anak Indonesia :
Perkembangan, Implementasi dan Rekomendasi, Karya Ilmiah dalam
nunutngombe.wordpress.com, 28 Oktober 2010, Hal 1.
[28] Muladi, Ed, Bunga Rampai Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika
Aditama, Bandung, 2009, Hal 3.
[29] Jhon M Echols
& Hasan Shadily, Kamus Inggris –
Indonesia, Cetakan XXIV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, Hal 391.
[30] Muladi, Loc Cit, Hal 3.
[31] Hendarmin
Ranadireksa, Visi Bernegara – Arsitektur
Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,
Bandung, 2009, Hal 160 – 171.
[32] Rika Saraswati,
Op Cit, Hal 1.
[33] Dwi Yanto, Op Cit, Hal 1.
[34] M Marwan &
Jimmy P, Op Cit, Hal 449 – 450.
[35] Hendarmin
Ranadireksa, Op Cit, Hal 25 – 26.
[36] Hendarmin
Ranadireksa, Op Cit, Hal 55 – 58.
[37] M Marwan &
Jimmy P, Op Cit, Hal 450.
[38] Lihat Yudha
Pandu, Undang – undang Dasar 1945 &
Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 2, Indonesia Legal Center Publishing,
Bandung, 2010, Hal 1 – 22.
[39] Muladi, Loc Cit, Hal 3.
[40] Majda El –
Muhtaj, Op Cit, Hal v – ix.
[41] Majda El –
Muhtaj, Op Cit, Hal 93 – 102.
[42] Ibid, Hal 94.
[43] Majda El –
Muhtaj, Op Cit, Hal 1 – 11.
[44] Muladi, Op Cit, Hal 3 – 4.
[45] Ibid, Hal 4
[46] Muladi, Op Cit, Hal 5.
[47] Rika Saraswati,
Op Cit, Hal 33 – 36.
[48] M Marwah &
Jimmy P, Op Cit, Hal 343.
[49] Lukman Hakim
Nainggolan, Op Cit, Hal 73.
[51] Majda El –
Muhtaj, Op Cit, Hal V.
[52] Rita Saraswati,
Op Cit, Hal 24 – 33.
[53] Muladi, Op Cit, Hal 3.
[54] Ibid, Hal 228 –
229.
[55] Baca juga
pengertian negara menurut sejumlah pemikir – pemikir besar ketatanegaraan dari
zaman Yunani Kuno hingga era modern dalam Hendarmin Ranadireksa, Op Cit, Hal 25 – 28.
[56] Ibid, Hal 28 – 31.
[57] Mahda El –
Muhtaj, OP Cit, Hal 23.
[59] Majda El –
Muhtaj, Op Cit Hal 94.
[60] Ibid, 39 – 40.
[61] Majda El –
Muhtaj, Op Cit, Hal 40.
[62] M Marwan &
Jimmy P, Op Cit, Hal 450.
[63] Muladi, Op Cit, Hal 50.
[64] Muladi, Op Cit, Hal 3 – 4.
[65] Supriyadi W
Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Bahan
Ajar, Kursus HAM untuk Pengacara X
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Tahun 2005, Hal 5.
[66] Baca Majd El –
Muhtaj, Loc Cit, Hal 7 – 8.
[67] Majda El –
Muhtaj, Op Cit, Hal 94 – 102.
[68] Rika Saraswati,
Op Cit, Hal 15 – 16.
[69] Muladi, Op Cit, Hal 4.
[70] Muladi, Op Cit, Hal 5.
[71] Rika Saraswati,
Op Cit, Hal 15 – 24.
[72] Rika Saraswati,
Op Cit, 15 – 24.
[73] Rika Saraswati,
Op Cit, Hal 33 – 36.
[74] Lihat Lukman
Hakim Nainggolan, Op Cit, Hal 73 – 74.
[75] http://devianianggraeni90.wordpress.com/,
21 Desember 2009.
[76] http://saeroni.wordpress.com/, 1 Januari
2009
[77]
Devianggraini90, Op Cit.
[78] Lukman Hakim
Nainggolan, Op Cit, Hal 73.
[79] http://id.wikipedia.org/, 30 April 2011.
[80] Lihat Pasal 14
– 20, Pasal 25 dan Pasal 26 UUPA, Cetakan 1, Fokusmedia, Bandung, 2011, Hal 8 –
11.
sangat bermnafaat sekali kak info infonya
BalasHapustruk tambang