Selasa, 22 Mei 2012


      A.      Latar Belakang.
Sepanjang sejarah ketatanegaraan di Indonesia, tercatat bahwa UUD 1945 beberapa kali mengalami perubahan, sehingga dikenal adanya Undang – Undang Dasar 1945 (periode 18 Agustus – 27 Desember 1949), Konstitusi Republik Indonesia Serikat (periode 27 Desember – 17 Agustus 1950), UUD Sementara 1950 (periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), UUD 1945 (periode 1999 – sekarang/setelah amandemen).
        Pasca reformasi, hanya dalam kurun waktu empat tahun (1999 – 2002) Indonesia telah melakukan perubahan/amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, dengan kata lain hampir setiap tahunnya pasca reformasi Indonesia merubah konstitusinya. Hal ini merupakan pengaruh dari bergulirnya era reformasi, sehingga di tengah – tengah perubahan yang terjadi, konstitusi dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia, yang menjadi pertanyaan besar disini adalah apa faktor dominan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan/amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca reformasi 1998.
Era reforrmasi di Indonesia dimulai pada pertengahan tahun 1998, tepatnya saat presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ. Habibie. Krisis finansial di Asia menyebabkan keadaan perekonomian di Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar – besaran yang dilakukan oleh berbagai organisasi aksi mahasiswa maupun masyarakat di berbagai wilayah Indonesia.
        Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang dianggap sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, yang kemudian memicu kerusuhan Mei 1998, bukan hanya itu kerusuhan – kerusuhan yang sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia berat juga terjadi di Medan dengan sedikitnya enam orang korban meninggal, peristiwa Gejayan di Yogyakarta juga menyebabkan 1 (satu) orang mahasiswa tewas terbunuh. Dengan begitu banyaknya pelanggaran – pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sebelum dan sesudah reformasi berlangsung, mencerminkan bahwa pengaturan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia kurang begitu baik dan sempurna, untuk lebih mendalami kajian hak asasi manusia ini kita sebaiknya mengetahui dan mendalami maksud, tujuan serta perkembangan hak asasi manusia itu sendiri.
Munculnya istilah hak asasi manusia adalah produk dari sejarah. Istilah itu pada awalnya adalah keinginan dan tekad manusia secara universal agar mengakui dan melindungi hak – hak dasar manusia. Dengan kata lain bahwa istilah tersebut bertalian erat dengan realitas sosial dan politik yang berkembang. Para peneliti hak asasi manusia mencatat bahwa kelahiran wacana hak asasi manusia adalah sebagai reaksi atas tindakan semena – mena yang dilakukan oleh penguasa. Tindakan – tindakan tersebut pada akhirnya memunculkan kesadaran baru bagi manusia bahwa dirinya memiliki sesuatu hak yang harus dilindungi.
Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku dan melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Secara umum, hak mempunyai 3 (tiga) unsur utama yakni, pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Setiap individu memiliki hak yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh.
Majda El-Muhtaj memberikan definisi umum mengenai hak asasi manusia sebagai berikut.
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan Anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. [1]

Dari apa yang disampaikan Majda tersebut, dapatlah diambil suatu generalisasi bahwa menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi hak asasi  manusia dalam rangka menjaga harkat dan martabat manusia menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer) bahkan negara.
Hak asasi manusia bersifat kodrati dan universal, dikatakan kodrati karena hak asasi manusia merupakan pemberian langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian atau penghargaan dari negara maupun mahluk-Nya, dan melekat utuh pada setiap jiwa dan raga manusia yang ada dimuka bumi, dikatakan universal karena hak asasi manusia itu berlaku secara keseluruhan dan mutlak, maksudnya pengakuan akan hak asasi manusia itu berlaku di seluruh tempat, daerah, wilayah dan negara tempat manusia bertempat tinggal, tanpa terkecuali melihat dari segi kaya, berdarah biru, pendidikan serta pekerjaan yang mereka sandang, hak asasi manusia adalah benteng pertama dan terakhir manusia dalam beraktivitas menjalankan hidupnya yang dijamin secara penuh oleh negara, hukum, politik, masyarakat dan individu.
Hak asasi manusia adalah hak yang didapat sejak manusia itu dalam kandungan dan lahir kedunia sampai matinya, yang merupakan pemberian langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak dapat di ganggu gugat oleh siapapun dan dijamin penegakan dan pelaksanaannya oleh negara, hukum, politik, masyarakat dan individu. Sebagai bagian dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka penegakan hak asasi manusia sangat bergantung pada konsistensi dari para penyelenggara negara, walaupun permasalahan hak asasi manusia tidak berada dalam wilayah politik, namun dalam praktik bernegara, pelaksanaan dari hak asasi manusia secara baik dan bertanggung jawab tergantung dari kemauan dari para penyelenggara negara.
Setiap harinya perbaikan – perbaikan akan hak asasi manusia selalu terjadi diseluruh dunia, perbaikan kearah positif dan melindungi diri pribadi dari manusia, meskipun terkadang dan bahkan terlihat mengarah ke Individualisme. Hak asasi manusia yang berlaku di setiap negara selalu dijunjung tinggi dan dijamin oleh negara bahkan dunia melalui organisasi internasional-nya. Akan tetapi sampai sekarang masih ada negara di dunia yang tidak terlindungi oleh hak asasi manusia.
Pada awal kemerdekaan, pengaturan hak asasi manusia di Indonesia tidak termuat dalam suatu undang – undang yang khusus, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama Pasal 27 – 31 UUD 1945. Hak – hak asasi yang dimuat terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat, banyak faktor yang menyebabkan hak asasi manusia menjadi demikian diantaranya adanya perdebatan antara Ir. Soekarno dan Soepomo dengan Drs. Moh. Hatta dan Moh. Yamin, dimana asal mula perdebatan tersebut disebabkan karena ketidak-inginan Ir. Soekarno dan Soepomo untuk memasukkan materi hak asasi manusia kedalam konstitusi negara. Soekarno dan Soepomo berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah produk barat sehingga tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang berlandaskan kekeluargaan, perlu diketahui bahwa salah satu tujuan konstitusi adalah untuk membatasi kewenangan dari penguasa negara. Setelah perdebatan panjang antara akhirnya materi hak asasi manusia dimasukkan ke dalam kosntitusi Indonesia, meskipun isitilah perkataan hak asasi manusia itu sendiri tidak pernah di jumpai dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasannya. Akhirnya dapat dipahami mengapa hak – hak asasi manusia tidak lengkap dimuat dalam UUD 1945, karena UUD 1945 dibuat beberapa tahun sebelum pernyataan hak – hak asasi manusia diterima oleh organisasi Negara dunia yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada perkembangan selanjutnya, diterimanya pernyataan serta dua perjanjian oleh mayoritas anggota dari PBB sekaligus menunjukkan dengan jelas bahwa gagasan mengenai perlunya jaminan atas hak – hak asasi manusia, benar – benar didukung oleh seluruh umat manusia, dan tidak merupakan gagasan liberal belaka. Hal ini juga dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri, sebab dalam menyusun Undang – Undang Dasar berikutnya, yaitu Tahun 1949 dan Tahun 1950, ternyata bahwa hak – hak asasi manusia ditambah dan diperlengkap perumusannya, hal ini dapat dilihat bahwa pada peraturan negara yang pernah berlaku kurang lebih 10 tahun tersebut (1949 – 1959) justru memuat pasal – pasal yang lebih banyak dan lebih lengkap mengenai HAM dibandingkan UUD 1945. Di dalam konstitusi RIS 1949 pengaturan mengenai hak asasi manusia diatur  dalam bab ke V yang berjudul “Hak – hak dan Kebebasan – kebebasan Dasar Manusia”. Pada bab ini dimulai dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33 memuat mengenai hak asasi manusia, maka ada sekitar 27 Pasal yang mengatur mengenai HAM. Pasal – pasal tentang hak asasi manusia yang isinya hampir seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga terdapat dalam UUDS 1950. Di dalam  UUDS 1950, pasal – pasal tersebut juga terdapat dalam Bagian V yang berjudul “Hak – Hak dan Kebebasan – Kebebasan Dasar Manusia”. Bagian ini terdiri dari 28 Pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34 UUDS 1950[2]. Pada periode selanjutnya setelah dekrit presiden 5 juli 1959 dan kembali ke UUD 1945, pengaturan serta pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia telah mengalami pengunduran yang sangat besar. Menurut Miriam Budiardjo bahwa :
Dalam masa Demokrasi Terpimpin telah dialami betapa mudahnya suatu undang – undang diselewengkan untuk kepentingan penguasa yang ambisius, pertama karena tidak lengkapnya hak – hak asasi dicantumkan dalam undang – undang dasar, kedua karena kurang adanya jaminan dalam undang – undang yang ada. Maka dari itu tidak mengherankan, bahwa sesudah terjadinya peristiwa G.30 S, salah satu tujuan dari penegakan Orde baru adalah melaksanakan hak – hak asasi yang tercantum dalam Undang – Undang Dasar 1945. [3]

Apabila dicermati dari ketiga hukum dasar atau konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia tersebut terlihat dengan jelas bahwa bangsa Indonesia sejak semula telah mengerti arti penting hak asasi manusia dan telah membuat pengaturan mengenai hak asasi manusia didalam hukum dasar atau konstitusi Indonesia. Selanjutnya di dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berlaku sekarang dan telah di amandemen sebanyak 4 (empat) kali, pengaturan – pengaturan mengenai hak asasi manusia sudah semakin membaik.
Di dalam Pasal 1 ayat ke 3 amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 9 November 2001, berbunyi bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Hal ini jelas berarti bahwa negara Indonesia sebagai negara hukum, kekuasaan negara dilaksanakan berdasarkan prinsip–prinsip keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan secara konstitusional, negara Indonesia terikat oleh prinsip – prinsip keadilan, dimana Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan haruslah menjamin perlindungan bagi warga negaranya, baik berupa perlindungan terhadap hak – hak warga negaranya, termasuk hak asasi manusia yang menjadi dasar kebutuhan manusia terhadap hak – hak lainnya.
Hak asasi manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila, yang artinya hak asasi manusia mendapat jaminan kuat dari dari falsafah bangsa yaitu Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis – garis yang telah ditentukan dalam ketentuan Falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas – bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan – ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setelah mengalami beberapa kali perubahan amandemen terhadap Hukum dasar atau Konstitusinya, Indonesia secara tegas telah mengatur mengenai perlindungan terhadap hak – hak manusia sebagai bagian dari negara, pengaturan– pengaturan yang menjamin segala sesuatu yang menjadi hak dasar yang harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar dan dalam keadaan apapun. Pengaturan tersebut terdapat dalam Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan pengaturan lebih lanjut dari Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Dasar pertimbangan pemerintah dan Dewan perwakilan rakyat mengeluarkan Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah :
a.       Bahwa manusia, sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi serta keharmonisan lingkungannya;
b.      Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun;
c.       Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
d.      Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa – bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang di tetapkan oleh Perserikatan Bangsa – bangsa, serta berbagai instrument internasional lainnya mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia.

        Jaminan ini cukup memberikan ‘angin segar’ bagi perkembangan dan perjuangan hak asasi manusia di Indonesia, dengan demikian dapat memberikan jaminan serta pengaturan yang lebih konkret terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi impelementasi penegakan serta pelaksanaan akan hak asasi manusia itu tidak merasuk keseluruh sendi-sendi hukum, masih banyak dari hukum itu sendiri yang kurang mengadopsi hak asasi manusia dalam peraturan-peraturannya.





Informasi tentang kekerasan terhadap anak seperti ini kerap kali kita temui hampir disemua media. Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, pada Oktober 2010 lalu, juga pernah merilis ke berbagai media terkait pelanggaran HAM. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar, pada tahun 2009 angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai 143.586 kasus atau meningkat 263 persen dibanding tahun sebelumnya yang hanya 54.425 kasus.[4]
 Sebelumnya juga, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga pernah mengungkapkan perihal yang sama. Dari laporan pengaduan yang masuk ke lembaganya, per tanggal 1 Desember 2010, berjumlah 277 kasus. 60 persen diantaranya didominasi klaster perlindungan khusus yaitu kasus kekerasan seksual, kekerasan fisik dan psikis, anak berhadapan dengan hukum dan trafiking (tindak pidana perdagangan anak). Dan kasus tersebut didominasi kekerasan seksual terhadap anak.[5]
Kemudian 27,8 persen kasus yang diadukan adalah klaster keluarga dan pengasuhan alternatif yang termasuk didalamnya adalah hak kuasa asuh pra, proses dan pasca perceraian, penelantaran anak oleh orang tua, adopsi yang dilakukan oleh keluarga atau kerabat dekat dan juga kasus membawa lari anak dari kuasa asuh yang sah.[6]
Meningkatnya kekerasan terhadap anak juga diakui Ketua Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Seto Mulyadi atau yang biasa disapa Kak Seto. Penyebab utama dari banyaknya kekerasan yang dialami oleh seorang anak adalah masih banyaknya sebuah paradigma lama yang selalu keliru dimana masih berpegangan untuk mendidik seorang anak harus dengan cara-cara kekerasan. Misalnya mendidik anak dengan cara dipukul, ditempeleng dan dijewer, sehingga soal itu menjadi bagian dari tindakan kekerasan dalam mendidik anak.[7]

Dan parahnya lagi, menurut Lukman Hakim Nainggolan :
“Kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi disekitar kita dan sepanjang tidak saja dilakukan oleh lingkungan keluarga anak, namun juga dilakukan oleh lingkungan keluarga anak sendiri yakni orang tua. Kasus – kasus kekerasan yang menimpa anak – anak, tidak saja terjadi diperkotaan tetapi juga dipedesaan. Namun sayang belum ada data yang lengkap mengenai ini. Sementara itu, pelaku child abuse, 68 persen dilakukan oleh orang yang dikenal anak. 34 persen dilakukan oleh orangtua kandung sendiri. Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa anak perempuan pada situasi sekarang ini, sangatlah rentan terhadap kekerasan seksual. Alasan pada umumnya sangatlah beragam, selain tidak rasional juga mengada – ada. Sementara itu usia korban rata – rata berkisar 2 – 15 tahun bahkan diantaranya dilaporkan masih berusia 1 – 3 bulan. Para pelaku sebelum dan sesudah melakukan kekerasan seksual umumnya melakukan kekerasan, dan atau ancaman kekerasan, tipu muslihat dan serangkaian kebohongan.[8]

Perihal di atas tentunya sangat memprihatinkan bagi kita, apalagi hal semacam itu terjadi di negara yang mengakui Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia yang dilindungi hukum. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat yang mestinya disadari untuk patuhi. Pengakuan negara akan perlindungan anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual, dibuktikan dengan diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa – bangsa (PBB) tentang Hak – hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Tahun 1989 oleh 191 negara, termasuk didalamnya Indonesia, dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990.[9] Al – hasil, Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut menjadi hukum positif di Indonesia mengingat asas pacta sun servanda.[10]
Dengan demikian, kekerasan terhadap anak jelas sebuah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dan hukum positif di Indonesia. Sepatutnya, setiap warga negara wajib menghormati HAM sebagaimana yang diamanatkan Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[11]
Asas atau prinsip – prinsip umum perlindungan anak dalam KHA sebagaimana yang diadopsi Undang – undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) menyebutkan asas nondiskriminasi (Pasal 2), kepentingan yang terbaik buat anak (Pasal 3), hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6), dan penghargaan atas pendapat anak (Pasal 12).[12]
Pengingkaran prinsip tersebut, bagi Jimly Asshiddiqie merupakan kejahatan terhadap HAM karena pada dasarnya adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena konstitusi merupakan sumber hukum dasar dan common platform yang mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka kejahatan terhadap HAM dapat diartikan sebagai pengingkaran terhadap hukum dasar dan common platform tersebut.[13]
Pengakuan pentingnya perlindungan hak anak oleh negara juga disampaikan Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Sulawesi Selatan, M. Gufran H Kordi K. Dia mengatakan bahwa merujuk pada konstitusi tersebut, menggambarkan adanya upaya pemenuhan hak dan perlindungan secara terstruktur melalui negara.[14] Hanya saja, kenyataannya, kekerasan terhadap anak masih terjadi disana sini.
Kekerasan seksual terhadap anak tidak saja terjadi di Indonesia, perihal yang sama juga terjadi di negara lain. Salah satu contoh di Philipina dan Thailand. Ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru lagi. Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak – anak dibawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia.[15] Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Persoalan ini pula yang mengusik rasa keingin-tauan kami untuk menulis terkait dengan bagaimana pengaturan perlindungan anak dari kejahatan HAM di Indonesia dan kendala penegakan hukumnya. Terutama yang bersentuhan langsung dengan kekerasan seksual terhadap anak yang merupakan extra ordinary crime[16] terhadap HAM. Karena hingga saat ini masih terlihat minimnya upaya penegakan hukum dan upaya pemulihan psikologi anak korban kekerasan seksual. Bahkan, banyak pihak terkesan lebih mempersoalankan minimnya anggaran sebagai dasar tindakan pencegahan kekerasan seksual dimaksud.
Agar pembahasan masalah ini tidak terlalu melebar, maka penulisan makalah ini kami fokuskan pada “Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspekti HAM” dan sekaligus menjadi judul makalah ini.”

B.       Rumusan Masalah.
Sebagaimana yang penulis uraikan diatas, meskipun Undang – undang Dasar 1945 mengakui HAM anak sebagai suatu hak yang melekat sejak lahir dan tidak boleh dibatasi, namun kenyataannya, tindakan kekerasan seksual terhadap anak seringkali terjadi.
Hal itu pula yang membuat penulis tertarik untuk mengangkat persoalan ini, sebagai berikut ;
1.      Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM.
2.      Perlindungan Hukum Hak – hak anak Korban Kekerasan Seksual oleh Negara.

C.      Tujuan Penulisan.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1.      Ingin mengetahui bagaimana pengaturan perlindungan hukum anak korban kekerasan seksual dalam perspektif HAM.
2.      Ingin mengetahui dan menggambarkan hak – hak anak korban kekerasan seksual dan tanggung jawab negara.
3.      Untuk memenuhi kewajiban tugas kelompok III mata kuliah HAM pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Jambi. 

D.      Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang ingin didapat diantaranya ;
1.         Secara akademis
a.         Menambah wawasan dan khasanah penulis tentang Pengaturan Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM dan perlindungan hukum hak – hak anak korban kekerasan seksual oleh negara.
b.        Selain itu, sebagai pemenuhan kewajiban membuat tugas mata kuliah HAM pada Program Magister Magister Ilmu Hukum  pada Program Pascasarjana Universitas Jambi
2.         Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan ataupun masukan dalam ;
a.         Memberi sumbang pemikiran bagi para peneliti lain dalam melakukan penelitian dengan mengambil topik yang sama
b.        Memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan perlindungan hukum anak korban kekerasan seksual dalm perspektif HAM dan hak – hak anak.

E.       Metoda Penelitian
1.      Tipe Penelitian
     Metode Penilitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif atau penelitian pustaka (Library Research), maka metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki adalah dengan jalan menggali / mengeksplorasi nilai-nilai maupun norma-norma hukum yang berkaitan dengan persoalan yang sedang diteliti. Dari segi kegunaan atau manfaatnya, penelitian ini  lebih tepat dikategorikan sebagai jenis penelitian terapan (Applied Research), yakni jenis penelitian yang dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah praktis, sehingga jenis penelitian ini dapat juga di sebut dengan operational research (penelitian operasi) atau action research (penelitian  kerja).

2.      Pendekatan Yang Digunakan
Pendekatan yang  dipakai dalam menjawab persoalan yang telah dirumuskan adalah menggunakan pendekatan peraturan perundang - undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Pendekatan peraturan perundang - undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang – undangan dan regulasi yang bersangkut paut  dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu peraturan dengan peraturan perundang - undang lainnya  atau antara peraturan perundang - undang dengan  Undang - Undang Dasar 1945 atau bahkan antara regulasi.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin - doktrin yang berkembang didalam suatu ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan berupaya menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan - pandangan dan doktrin doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.

3.      Pengumpulan bahan Hukum.
Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a.  Bahan Hukum Primer, terdiri dari peraturan perundangan - undangan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas, seperti  UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Peraturan daerah, Yurisprudensi dan lain lainnya.
b.  Bahan Hukum Skunder, yaitu: bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan peraturan perundang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari para pakar dari kalangan hukum baik berbentuk buku, jurnal hukum, makalah dan lain lain
c.   Bahan Hukum Tertier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder. Contohnya Black’s Law Dictionary, kamus Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain-lain.

4.      Analisis Bahan Hukum
Lebih lanjut untuk menganalisis data yang diperoleh dipergunakan metode induktif, yakni berusaha mencari aturan-aturan, nilai-nilai maupun norma-norma hukum yang terdapat dalam pustaka yang terkait untuk dirumuskan sebagai suatu kaidah hukum tertentu yang bisa diberlakukan untuk membahas masalah diatas dengan cara :
a.  Menginterprestasikan semua peraturan perundang-undangan sesuai masalah yang dibahas.
b.  Mengevaluasi perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
c.   Menilai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
F.       Sistematika Penulisan.
Hasil penelitian ini disusun menjadi karya ilmiah dalam bentuk makalah yang dibagi dalam 4 (empat) BAB dan disajikan dalam bentuk deskripsi dengan sistematikan penulisan yang tersusun sebagai berikut :
BAB I      :    Berupa pendahuluan yang memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sisitematika penulisan yang memuat alasan mengapa penulis tertarik melakukan penelitian ini.
BAB  II   :    Berupa tinjauan pustaka yang memuat berbagai teori dan pendapat, ide dan pemikiran dari para ahli serta peraturan perundang – undangan yang berlaku berkaitan erat pengaturan perlindungan hukum anak korban kekerasan seksual dalam perspektif HAM dan hak – hak anak.
BAB  III  :    Pembahasan. Dalam BAB ini penulis mengambarkan bagaimana pengaturan perlindungan hukum anak korban kekerasan seksual dalam perspektif HAM dan hak – hak anak serta kewajiban negara.
BAB  V   :    Merupakan akhir dari penulisan penelitian dalam bentuk makalah yang berisikan kesimpulan dan saran guna memberikan masukan bagi pihak – pihak yang terkait.






 
BAB II
Tinjauan Umum

A.      Kerangka Konsepsional.
Kerangka konsepsional ini dimaksudkan untuk mengetahui penjelas dari apa yang akan dibahas dalam makalah ini, maka penulis akan menjelaskan beberapa istilah, yaitu :
1.      Perlindungan adalah adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.[17]
2.      Hukum adalah keseluruhan peraturan – peraturan dimana tiap – tiap orang yang bermasyarakat wajib mentaatinya. Sistem peraturan untuk menguasai tingkah laku manusia dalam masyarakat atau bangsa. Undang – undang, ordonansi, peraturan yang ditetapkan pemerintah dan ditandatangani ke dalam undang – undang. Dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah Recht sedangkan inggris – Law.[18]
3.      Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.[19]
4.      Korban adalah orang atau kelompok orang yang mengalami penderitaan secara fisik, mental, maupun emosional serta mengalami kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan dan perampasan hak – hak dasarnya sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia.[20]
5.      Kekerasan adalah hal yang bersifat atau berciri keras yaitu perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang yang orang lain atau paksaan. Secara spesifik yang dimaksud kekerasan seksual adalah suatu prilaku seksual deviatif atau menyimpang, merugikan korban dan merusak kedamaian di masyarakat.[21]
6.      Kekerasan Seksual adalah praktek seks yang dinilai menyimpang yang artinya praktek hubungan seksual yang dilakukan dengan cara – cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai – nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha – usaha jahatnya.[22]
7.      HAM adalah hak yang telah dimiliki oleh manusia sejak dia lahir ke dunia, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara. Sekumpulan hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehoratan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[23]
Secara estimologis, menurut Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia (HAM) terbentuk dari 3 (tiga) kata yakni hak, asasi dan manusia. Dua kata pertama, hak dan asasi berasal dari bahasa Arab. Sementara kata manusia adalah kata dalam bahasa Indonesia.  Kata haqq diambil dari akar kata haqqa, yahiqqu, haqaaan yang artinya benar, nyata, pasti, tetap dan wajib. Apabila dikatakan yahiqqu ‘alaika an taf ‘ala kadza, itu artinya “kamu wajib melakukan seperti itu. Berdasarkan pengertian tersebut, maka haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kata asasiy berasal dari kata assa, yaussu, assaan, artinya membangun, mendirikan, meletakan. Dapat juga berarti asal, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Dengan demikian, asasi artinya segala sesuatu yang bersifat mendasar dan fundamental yang selalu melekat pada objeknya. Sementara HAM dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai hak – hak mendasar pada diri manusia.[24]
Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) secara umum sebagaimana yang diamanatkan di dalam Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Secara eksplisit, juga dituangkan kedalam 9 pasal lainnya.[25]
Pengertian HAM menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang – undang 39 Tahun 1999 menyebutkan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[26] Begitu juga halnya pengertian di dalam Undang – undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1 Ayat (1), isinya sama.
Menurut Dwi Yanto dalam tulisannya “Perlindungan HAM Anak Indonesia : Perkembangan, Implementasi dan Rekomendasi,” HAM mengisyaratkan bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hak – haknya.  Artinya, HAM merupakan suatu hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat dasar dan mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai bakat, cita – cita dan martabatnya. Hak ini melekat secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.[27]
Slamet Marta Wardaya[28] dalam tulisannya “Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM” menyebutkan istilah HAM menggantikan istilah Natural Rights yang dalam pengertian bahasa Indonesia yaitu hak – hak dasar.[29] Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak – hak alam menjadi suatu kontroversial dan menjadi pembahasan penting pasca Perang Dunia ke II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa – Bangsa pada tahun 1945.[30]
Dengan adanya jaminan atas HAM, dalam konstitusi negara demokrasi, yang bersifat universal itu maka terjamin pula hak – hak rakyat untuk mengekspresikan aspirasinya. Jaminan negara atas HAM juga berkonsekuensi pada kewajiban negara untuk memenuhi hak – hak dasar rakyat seperti hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dan perlakuan hukum yang sama untuk segenap warga negara, hak atas lapangan kerja, kesehatan, keamanan, dll.[31]
Sementara pengertian anak di dalam Undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada Pasal 1 Ayat (1) anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Kemudian berdasarkan Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak pada Pasal 1 Ayat (2) Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.
Sedangkan Riska Saraswati mamaknai anak sebagai amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak – haknya tanpa anak tersebut memintanya.[32]
Anak merupakan salah satu pihak yang rentan mengalami objek pelanggaran HAM. Pengertian kelompok rentan ini tidak pula dirumuskan secara mendalam didalam peraturan perundang – undangan, seperti yang tercantum dalam Pasal 5 Ayat (3) Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan orang yang termasuk kelompok rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan dengan kelompok masyarakat dengan kekhususannya. Dalam penjelelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah orang lanjut usia, anak – anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Willem Van Ganugten dalam Human Rights Reference disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs), National Minorties, Migrant Waorkes, Indiegeneous People, Children and women.[33]
Di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) sebagaimana yang disetujui Majelis Umum PBB Pasal 1, pengertian anak diartikan setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang – undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.
Sedangkan perlindungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat menyebutkan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pada Ayat (2), Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun. Selanjutnya, pada Ayat (4), Ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang – halangi atau mencegah seseorang sehingga langsung atau tidak langsung mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan penyeledikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Perlindungan anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2 Undang – undang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak – haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sementara pengertian perlindungan khusus sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 angka 15 undang – undang yang sama adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban kekerasan fisik dan / atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pada Pasal 3, tujuan perlindungan anak untuk menjamin terpenuhinya hak – hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesui dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Pengertian negara adalah suatu persekutuan bangsa dalam satu wilayah yang jelas batas – batasnya dan mempunyai pemerintahan sendiri.[34] Defenisi tentang negara yang dikemukakan pemikir – pemikir besar kenegaraan sejak zaman Yunani Kuno hingga kini beragam. Beberapa nama seperti yang kita kenal selama ini menghiasi khasanah ilmu negara sejak era Socrates, Plato, dan Aristoteles atau Thomas Aquinas, Ibnu Khaldun, Ibnu Rushd, Thomas Hobes, Jhon Locke, Montesque, Rousseau di abad pertengahan hingga filsuf di era modern seperti Jhon Stuart Mill, Hegel, Karl Marx, Santayana, dll.
Diabad modern, sejumlah pakar ketatanegaraan mendefenisikan negara antara lain, :
Roger H Soltau :
“..... Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama, atas nama masyarakat....”

Max Webber.
“.....Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.....”

Robert M. Maclver.
“.....Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dakan syaty wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintahan yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa....”

Harold J. Laski.
“.....Negara itu adalah puncak gedung pergaulan hidup masa ini dan keistimewaan sifat negara itu terletak pada hak – haknya yang melebihi hak – hak persekutuan masyarakat. Jadi negara itu adalah satu ala guna mengatur tingkah laku manusia....”

Jean Bodin.
“..... keseluruhan dari keluarga – keluarga dengan segala miliknya, yang dipimpin suatu alat guna mengatur tingkah laku manusia....”[35]

Negara yang berkedaulatan rakyat mengandung arti seperti yang dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno, bahwa rakyat memiliki “kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tegantung, dan tanpa kecuali. Negara berkedaulatan rakyat adalah negara demokrasi. Negara dikatakan berkedaulatan rakyat adalah apabila rakyat berperan serta langsung maupun tidak langsung menentukan nasib dan masa depan negara, dan negara yang berkedaulatan rakyat adalah apabila ada kejelasan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Untuk itu konstitusi negara yang berkedaultan rakyat akan mencantumkan dengan jelas pasal – pasal HAM yang berisikan hak – hak asasi manusia yang harus dilaksanak negara sekaligus tidak boleh dilanggar oleh negara.[36]
Sedangkan negara hukum adalah negara yang segala tindakannya didasarkan atas hukum yang secara formal tercantum dalam peraturan perundang – undangan.[37]

B.       Landasan Teori
1.      Teori Berlakunya HAM di Indonesia.
Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, sebelum diratifikasinya Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak / KHA) pada Tahun 1989 oleh 191 negara, termasuk Indonesia didalamnya, Undang – undang Dasar 1945 sebetulnya secara tersurat mengakui adanya HAM, akan tetapi tidak dicantumkan secara transparan ke dalam batang tubuhnya. Setelah dilakukan amandemen hingga empat kali, barulah jelas perihal yang mengatur tentang HAM. [38]
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Slamet Marta Wardaya sebagai berikut ;
“Perkembangan HAM di Indonesia, sebenarnya dalam UUD 1945 telah tersurat, namun belum tercantum secara transparan. Setelah dilakukannya amandemen I – IV UUD 1945, ketentuan tentang HAM tercantum pada pasal 28A s/d 28J. Sebenarnya UUDS 1950 yang pernah belaku di Indonesia dari tahun 1949 – 1950, telah memuat pasal – pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun konstituante yang terbentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dibubarkan berdasarkan Keppres Nomor 150 Tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini mengakibatkan kita kembali lagi pada UUD 1945.”[39]  

Perihal yang sama juga dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie. Menurut dia ;
“Dalam lembaran sejarah Indonesia, perdebatan tentang HAM telah mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang gencar – gencarnya diperjuangkan oleh founding fathers and mothers. Perdebatan itu terekam jelas di dalam sidang – sidang Badan Usaha – usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang membahas draf konstitusi untuk negara Indonesia yang akan dibentuk. Dalam forum sidang itu mengemuka berbagai pendapat mengenai HAM.. perdebatan itu dikerucutkan  ke dalam dua arus yaitu yang mengusulkan agar butir – butir HAM dimasukan dalam konstitusi dan yang menolaknya. Arus pertama sering diasosiasikan diwakili oleh tokoh Muhammad Hatta, sedang arus yang kedua diwakili Soepomo.

Mohammad Hatta, yang didukung oleh Muhammad Yamin, menghendaki agar jaminan tentang HAM dicantumkan secara eksplisit di dalam konstitusi. Menurut Hatta, hal itu perlu agar negara yang akan diibentuk tidak menjadi “Negara Kekuasaan.” Argumen Hatta menegaskan bahwa kehadiran negara haruslah diberi rambu – rambu agat tidak menjelma menjadi – meminjam istilah Thomas Hobbes – leviathan, yang memangsa rakyatnya sendiri. Sementara Soepomo menyakini bahwa jika jaminan HAM dimasukan di dalam konstitusi berarti ingin menegakan negara yang berdiri di atas paham individualisme atau liberalisme. Argumen Soepomo menyiratkan bahwa ia cenderung berprasangka baik terhadap negara, negara diyakini tidak akan melakukan tindakan yang menginjak – injak HAM rakyatnya.

Dalam perkembangannya kemudian, usulan Hatta diakomodasi di dalam Undang – undang Dasar RI 1945 RI yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI. Akomodasi ini merupakan buah kompromi yang didorong oleh keinginan agar perdebatan tersebut tidak berlarut – larut yang dikhawatirkan justru merintangi tercapainya rumusan konstitusi untuk Indonesia merdeka. Adanya pasal – pasal dalam UUD 1945 memberi jaminan HAM pada setiap warga negara Indonesia, antara lain Pasal 28, Pasal 33 dan Pasal 34, merupakan hasil kegigihan Hatta. Sementara usulan Negara Kekeluargaan (atau sering disebut Negara Integralistik) yang diusung oleh Soepomo tidak terjewantahkan di dalam UUD 1945.

Sayangnya, rumusan Pasal 28 tidak memberikan jaminan konstitusional secara langsung. Pasal 28 hanya menentukan, “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagainya ditetapkan dengan undang – undang.” Artinya, jaminan dimaksud diserahkan pengaturannya kepada pembentuk undang – undang. Hal tersebut berbeda dari rumusan Pasal 29 yang menetapkan “ Negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.”[40]


Dengan demikian, tidak diaturnya secara eksplisit didalam konstitusi di Indonesia mengenai HAM kala itu, menunjukan belum adanya jaminan terhadap HAM dan warga negara. Karena pada dasarnya, konstitusi lazimnya berisi tiga pokok materi muatan yaitu adanya jaminan HAM dan warga negara. Kemudian ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental serta adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[41]
 Dalam hal ini, konstitusi suatu negara, sama halnya UUD RI 1945, mempunyai kedudukan esensial dalam sebuah negara karena didalamnya tidak saja memberikan kejelasan tentang mekanisme ketatanegaraan, tetapi juga memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat antara rakyat dan penguasa sebagaimana pandangan Thomas Paine (tokoh  radikal abad ke – 18  yang karyanya banyak mengilhami munculnya revolusi Perancis dan Amerika), yang mengatakan “A constitution is not the act of a goverment but of a people constitution a goverment, without a constitution is power without right, and a constitution is the property of the nation and not of those who exercise the govement.[42] (Konstitusi bukanlah tindakan pemerintah tetapi konstitusi orang – orang pemerintah, tanpa konstitusi adalah kekuatan tanpa hak, dan konstitusi adalah milik bangsa dan bukan dari orang – orang yang latihan pemerintah).
Membicarakan HAM menurut Majda El – Muhtaj berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai mahluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT patut memperoleh apresiasi positif. Kini, HAM diperbincangkan dengan intens seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Ia menjadi aktual karena sering dilecehkan dalam sejarah anusia sejak awal hingga kurun waktu kini. Gerakan dan dimensi HAM terus berlangsung bahkan dengan menembut batas – batas teritorial sebuah negara.[43]
Dalam konteks Indonesia, wacana HAM masuk dengan “indah” ke dalam pemikiran anak bangsa yang dimulai sejak pembahasan pembentukan negara ini yang memiliki sejarah cukup panjang. Sementara pembicaraan HAM tingkat dunia pun mulai mengemuka pasca Perang Dunia ke – II pada waktu pembentukan PBB.
Seperti yang penulis uraikan sebelumnya, perkembangan HAM sebenarnya sudah ada di dalam UUD 1945, hanya saja belum tercantum secara transparan. Dan setelah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali, barulah jelas dalam pasal – pasal konstitusi tersebut yang termaktub di dalam Pasal 28A – 28J.
Sejarah mencatat juga, pada UUDS 1950 juga telah memuat pasal – pasal tentang HAM yang lebih banyak dibanding UUD 1945 sebelum amandemen. Namun Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan umum 1955 dibubarkan presiden berdasarkan Keppres 150 Tahun 1959 pada tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini mengakibatkan kita kembali pada UUD 1945.
Lebih lanjut, Slamet Marta Wardaya menguraikan sebagai berikut ;
“Kemudian berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang – sidangnya awal orde baru telah menyusun Piagam Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajibannya Warga Negara. MPRS telah menyampaikan Nota MPRS kepada presiden dan DPR tentang pelaksanaan HAM. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa pemerintahan orde baru pada saat itu bersikap anti terhadap Piagam HAM dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan. Untuk menghapus kekecewaan itu kepada bangsa Indonesia terhadap Piagam HAM, maka MPR ppada sidang istemewanya tanggal 11 November 1998 mensahkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga – lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.[44]

 Berikut penulis uraikan berbagai peraturan berkaitan dengan HAM yang diberlakukan sebagai hukum positif di Indonesia sebagai penghormatan terhadap Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM sesuai prinsip – prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas hukum, diantaranya :
1)        Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita ;
2)        Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan HAM ;
3)        Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.[45]

Kemudian menetapkan berbagai peraturan perundang – undangan berspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM internasional, diantaranya :
1)      Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
2)      Intruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunakaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Urusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan ;
3)      Undang – undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan ;
4)      Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
5)      Undang – undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ;
6)      Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 November 2000 tentang HAM ;
7)      Undang – undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Pengadilan HAM ;
8)      Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres Nomor 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi ;
9)      Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa ;
10)  Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan ;
11)  Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja
12)  Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak ;
13)  Konvensi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.[46]

Mengerucut pada peraturan yang memberikan perlindungan HAM bagi anak di Indonesia, selain Konvensi tentang Hak – hak Anak (KHA) yang disetujui Majelis Umum PBB pada Tanggal 20 November 1989 dan Undang – undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menurut Rika Saraswati, sebagai berikut :
1)      Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28b Ayat 2
2)      Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143)
3)      Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
4)      Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
5)      Undang – undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12 Ayat (2), dan Pasal 13 Ayat (3))
6)      Undang – undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24).
7)      Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
8)      Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
9)      Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
10)  Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan yang bersifat mendasar.[47]

2.      Pengertian Kekerasan Seksual Kepada Anak.
Sebagaimana yang penulis uraikan pada bab sebelumnya, mengenai pengertian kekerasan yakni suatu hal yang bersifat atau berciri keras yaitu perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang yang orang lain atau paksaan. Secara spesifik yang dimaksud kekerasan seksual adalah suatu prilaku seksual deviatif atau menyimpang, merugikan korban dan merusak kedamaian di masyarakat.[48]
Bila dikaitkan dengan kekerasan Seksual, menurut Lukman Hakim Nainggolan adalah praktek seks yang dinilai menyimpang atau dengan kata lain praktek hubungan seksual yang dilakukan dengan cara – cara kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai – nilai agama serta melanggar hukum yang berlaku. Kekerasan ditunjukan untuk membuktikan bahwa pelakunya memiliki kekuatan, baik fisik maupun non fisik. Dan kekuatannya dapat dijadikan alat untuk melakukan usaha – usaha jahatnya.[49]
Kekerasan seksual atau yang lebih dikenal dengan sebutan pelecehan seksual terhadap anak menjadi suatu yang memprihatinkan dan menjadi ancaman serius buat kelangsungan hidup bangsa Indonesia maupun bangsa – bangsa lainnya dimasa depan. Pasalnya, menurut Psikolog, Seto Mulyadi yang juga menjabat sebagai Pembina Komnas Perlindungan Anak, berdampak buruk terhadap masa depan kehidupan anak, baik secara fisik maupun psikis. Kejahatan seksual terhadap anak – anak sepuluh kali lipat lebih kejam terhadap orang dewasa. Karena posisi anak – anak masih rentan, lemah, mudah dirayu, dan dibodoh – bodohi. Selain itu juga kekerasan dan pelecehan seksual merupakan gabungan antara keekrasan fisik dan kekerasan psikologi.[50]
Dampak ini pula yang disadari masyarakat dunia dan menjadi perhatian negara – negara yang tergabung dalam PBB sejak lama. Sebagaimana yang termaktub dalam KHA Pasal 34 yang tegas menyatakan bahwa Negara – negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan ini, maka negara – negara pihak harus terutama mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat untuk mencegah :
a.         Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang anak untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual melanggar hukum
b.        Penggunaan eksploitasi terhadap anak – anak dalam pelacuran, atau praktek – praktek seksual lainnya yang melanggar hukum
c.         Penggunaan eksploitasi terhadap anak – anak dalam pertunjukan dan bahan – bahan pornografi.
Di dalam Undang – undang Dasar 1945 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28B juga mengakui hak anak sebagai HAM yang oleh siapapun tidak boleh dibatasi dan wajib dilindungi. Bagi yang melanggar hal tersebut jelas dianggap sebagai kejahatan HAM sebagaimana yang dikatakan Jimly Asshiddiqie ;
“Kejahatan terhadap HAM pada dasarnya adalah tindakan yang bertentangan dengan konstitusi. Karena konstitusi merupakan sumber hukum dasar dan common platform yang mengikat seluruh bangsa Indonesia, maka kejahatan terhadap HAM dapat diratikan sebagai pengingkaran terhadap hukum dasar dan common platform.”[51]

Jadi, menurut penulis, kekerasan seksual atau pelecehan seksual terhadap anak merupakan kejahatan HAM yang berimplikasi buruk terhadap masa depan anak dan bangsa dimasa mendatang karena selain korban menderita secara fisik juga terbebani secara psikis. Dengan demikian kekerasan seksual dapat dikatakan sebagai kejahatan HAM.

3.      Pengertian Perlindungan Hak Anak.
Pengertian perlindungan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat menyebutkan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, ganguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pada Ayat (2), Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran HAM yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun. Selanjutnya, pada Ayat (4), Ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan adalah segala bentuk perbuatan memaksa yang bertujuan menghalang – halangi atau mencegah seseorang sehingga langsung atau tidak langsung mengakibatkan orang tersebut tidak dapat memberikan keterangan yang benar untuk kepentingan penyeledikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Perlindungan anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 2 Undang – undang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak – haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sementara pengertian perlindungan khusus sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 angka 15 undang – undang yang sama adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban kekerasan fisik dan / atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pada Pasal 3, tujuan perlindungan anak untuk menjamin terpenuhinya hak – hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesui dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Bicara perlindungan tentu tidak lepas dari apa yang dilindungi. Dalam hal ini penulis menekankan pada perlindungan terhadap hak – hak anak. Adapun hak anak secara mendasar termaktub dalam Pasal 28B Ayat (2) Undang – undang Dasar 1945 yakni setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak anak juga ditegaskan kembali didalam Bab III Hak dan Kewajiban Pasal 4 – 19 Undang – undang Nomor 21 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif maka undang – undang ini meletakan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan 4 (empat) asas, yakni non diskriminasi, asas kepentingan yang terbaik bagi anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta asas penghargaan terhadap pandangan / pendapat anak.[52]
Jadi, hak anak yang diatur dalam konstitusi Indonesia dan telah menjadi hukum positif, oleh negara dan masyarakat seharusnya dilindungi dengan segala cara agar anak terhidar dari kejahatan HAM khususnya kekerasan seksual karena sangat berdampak pada masa depan anak dan bangsa baik secara fisik maupun psikis anak Indonesia. Terkait hal pengaturan perlindungan anak korban kekerasan seksual dan hak anak, lebih lanjut akan dibahas pada BAB selanjutnya.

















 
BAB III
PEMBAHASAN

A.      Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM.
Sebagaimana yang penulis uraikan pada BAB sebelumnya, bahwasanya HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan hakat dan martabatnya (Pasal 1 Ayat 1 UU 39/1999).
Dan HAM yang dipahami sebagai natural right merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Dalam perkembangannya mengalami perubahan – perubahan mendasar sejalan dengan keyakinan dan praktek – praktek sosial lingkungan kehidupan masyarakat luas.[53] Hak asasi ini merupakan hak natural / alam dan merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karenanya bila seseorang manusia ingin memperoleh kehidupannya yang bermartabat, harus memposisikan hak asasi  manusia dengan melihatnya dari sudut sifat alamiah manusia secara hakiki.[54]
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Dan ini menjadi tanggung jawab negara, pemerintah, masyarakat dan orang tua dalam menjaga dan melindunginya agar HAM senantiasa dihormati setiap warga negara. Termasuk juga HAM anak.
Mengapa harus negara dan mengapa juga setiap individu turut berkewajiban menjaga dan melindungi HAM anak. Lantas mengapa harus diatur dalam hukum positif.
Sebagaimana kita ketahui, idealnya pendirian sebuah negara[55], didasari oleh adanya wilayah tertentu, rakyat, dan pemerintahan yang berdaulat. Dan dalam pergaulan internasional, sebuah negara baru dianggap ada jika adanya pengakuan Internasional.[56] Dalam pandangan warga negara, dari pengertian – pengertian dimaksud, adanya pengakuan warga akan kekuatan dan kekuasaan negara yang sifatnya memaksa, dan warga harus menerima konsekuensi itu. Agar tidak terjadinya kesewenangan (abuse of power tent to corupt) sebagaimana prinsip dasar pembatasan yuridis terhadap kekuasaan dikarenakan politik kekuasaan yang cenderung korup,[57] negara perlu memiliki suatu falsafah atau norma dasar (grand norm) terkodifikasi di dalam konstitusi yang lazimnya berisi tiga pokok materi muatan yaitu adanya jaminan HAM dan warga negara. Kemudian ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental serta adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.[58]
Makanya pengaturan HAM dalam UUD RI 1945, meskipun awalnya kurang tegas pengakuannya, mempunyai kedudukan esensial dalam negara karena didalamnya tidak saja memberikan kejelasan tentang mekanisme ketatanegaraan, tetapi juga memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat antara rakyat dan penguasa sebagaimana pandangan Thomas Paine (tokoh  radikal abad ke – 18  yang karyanya banyak mengilhami munculnya revolusi Perancis dan Amerika), yang mengatakan “A constitution is not the act of a goverment but of a people constitution a goverment, without a constitution is power without right, and a constitution is the property of the nation and not of those who exercise the govement.[59]
Jaminan konstitusi mengenai HAM berkaitan erat dengan hak dan kewajiban. Lebih lanjut Robert Audi memberi penegasan tentang hak, yaitu :
“.... Rights, advantegous positions conferred on some prossessors by law, moral, rules, or other norms. There is no agreement on the sense in which rights are advanteges. Will theories hold that rightsfavor he will of the possessor over the conflicting will of some other party, interenst theory maintain that rights serve to protect or promote the interest of the high holder.”[60]

Pernyataan diatas menegaskan bahwa hukum, moral, peraturan atau norma – norma lain dapat diberikan hak kepada seseorang. Dengan kata lain, kedudukan yang menguntungkan bagi para pemilik hak dapat ditolerir melalui aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Kemudian dalam penerapannya terdapat perbedaan yang terjadi karena stressing point berbeda. Berdasarkan teori kemauan (will theory), yang dipedomani adalah bahwa hak mengutamakan kemauan pemilik hak dari berbagai keinginan yang berbeda dengan pihak lain. Sementara toeri kepentingan (interest theory), lebih menekankan bahwa hak berperan untuk melindungi atau mengembangkan kepentingan pemilik hak.[61]
Sedikit menilik kebelakang, era Orde Lama, pengakuan Indonesia mengenai HAM sebetulnya sudah ada, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, pada Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 yang isinya menyatakan bahwa, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu...., dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Indonesia pun memproklamirkan diri sebagai negara hukum yang segala tindakannya didasarkan atas hukum.[62] Dengan demikian, menurut Woro Winandi, elemen – elemen dasar sebagai negara hukum wajib terpenuhi, diantaranya asas pengakuan dan perlindungan terhadap HAM, asas legalitas, asas pembagian kekuasaan, asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, serta asas kedaulatan rakyat.[63] Sebagai negara hukum, sudah barang tentu, pengakuan atas HAM yang secara formal harus tercantum dalam peraturan perundang – undangan yang didasari oleh konstitusi sebagai pembatasan dari kekuasaan negara.
Jadi, uraian diatas menggambarkan suatu hubungan pertalian antara negara dan warga, hak asasi yang harus dilindungi negara dan tercantum di dalam konstitusi sebagai falsafah atau norma dasar bernegara. Pandangan ini jelas menghendaki didalam konstitusi Indonesia, sebagai negara hukum, yang mengakui DUHAM dan meratifikasi sejumlah konvensi HAM, wajib mencantumkan HAM dalam konstitusinya yang bersifat fundamental dan menjadi rujukan hukum dibawahnya.
Apalagi, sejarah mencatat juga, pada UUDS 1950 juga telah memuat pasal – pasal tentang HAM yang lebih banyak dibanding UUD 1945 sebelum amandemen. Namun Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan umum 1955 dibubarkan presiden berdasarkan Keppres 150 Tahun 1959 pada tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini mengakibatkan kita kembali pada UUD 1945.
Lebih lanjut, Slamet Marta Wardaya menguraikan sebagai berikut ;
“Kemudian berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang – sidangnya awal orde baru telah menyusun Piagam Hak – hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajibannya Warga Negara. MPRS telah menyampaikan Nota MPRS kepada presiden dan DPR tentang pelaksanaan HAM. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa pemerintahan orde baru pada saat itu bersikap anti terhadap Piagam HAM dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang – undangan. Untuk menghapus kekecewaan itu kepada bangsa Indonesia terhadap Piagam HAM, maka MPR ppada sidang istemewanya tanggal 11 November 1998 mensahkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga – lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.[64]

Sementara itu dalam HAM, sebagaimana yang dituangkan dalam KHA yang telah diratifikasi, manusia memiliki hak, sedangkan kewajiban berada ditangan negara.  Apalagi dalam konteks KHA, anak sebagai pemegang hak dan negara sebagai pihak yang berkewajiban memenuhi HAM anak.[65] Karena konstitusi merupakan perangkat hukum dasar (fundamental law) dalam sebuah negara yang menjadi bagian penting dengan upaya – upaya penegakan hukum sebagaimana pandangan Carl Joachim Friedrich (ahli hukum konstitusi inggris)[66] sudah semestinya hal itu dijadikan semangat bangsa untuk mengakui HAM sebagai hak yang tidak boleh dibatasi oleh siapapun. Apalagi Indonesia termasuk salah satu negara demokrasi yaitu negara yang mengedepankan kelangsungan hidup rakyat dengan baik,[67] terutama anak.
Berkaca pada itu, perihal yang erat kaitannya dengan HAM anak, Indonesia era Orde Baru mengakui dan meratifikasi Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak / KHA) pada tahun 1989 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, Konvensi PBB tersebut menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.[68]
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia mengakui bahwa hak anak merupakan bagian integral dari HAM dan KHA merupakan bagian integral dari instrumen internasional tentang HAM. Konvensi hak anak merupakan instrumen berisi rumusan prinsip – prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai hak – hak anak yang merupakan sebuah perjanjian internasiona mengenai HAM yang memasukan unsur – unsur hak sipil dan politik, serta hak – hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pengakuan ini pula, diimplemantasikan kedalam aturan hukum dibawah UUD 1945, sebagai bentuk perwujudan negara hukum yang menjunjung tinggi asas legalitas, pengakuan dan perlindungan HAM dan asas lainnya.
Berikut penulis uraikan berbagai peraturan berkaitan dengan HAM dan Hak Anak yang diberlakukan sebagai hukum positif di Indonesia sebagai penghormatan terhadap Piagam PBB, DUHAM dan KHA sesuai prinsip – prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas hukum, diantaranya :
1.         Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2.         Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan HAM ;
3.         Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.[69]
Kemudian, dalam era reformasi, menetapkan berbagai peraturan perundang – undangan berspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM internasional, diantaranya :
1.         Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
2.         Intruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunakaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Urusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan ;
3.         Undang – undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan ;
4.         Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
5.         Undang – undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ;
6.         Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 November 2000 tentang HAM ;
7.         Undang – undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Pengadilan HAM ;
8.         Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres Nomor 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi ;
9.         Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa ;
10.     Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
11.     Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja
12.     Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
13.     Konvensi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.[70]
Kembali kepada hak anak sebagaimana yang termaktub dalam KHA, menegaskan 4 (empat) prinsip umum perlindungan hak anak yakni non diskriminasi (Pasal 2), kepentingan yang terbaik buat anak (Pasal 3), Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan (Pasal 6) dan penghargaan atas pendapat anak (Pasal 12) dan telah  disetujui negara – negara anggota Majelis Umum PBB pada Tanggal 20 November 1989. Di dalam KHA juga menyinggung hak – hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pengasuhan pengganti, kesehatan dan kesejahteraan dasar, pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya serta langkah – langkah perlindungan khusus yang semuanya itu mengandung substansi hak – hak anak.[71]
Lebih lanjut, langkah – langkah perlindungan khusus, selain anak berada dalam keadaan darurat, pengungsi anak, anak dalam konflik bersenjata, juga anak yang terlibat dalam sistem administrasi pengadilan anak yang substansinya juga menyebutkan tentang pemulihan fisik dan psikologis anak termasuk reintegrasi sosial[72] yang penulis yakin masuk kedalam hak anak korban kekerasan seksual yang patut dilindungi. Selanjutnya,  anak dalam situasi eksploitasi meliputi, selain eksploitasi ekonomi, penyalahgunaan obat (narkotika), penjualan, perdagangan dan penculikan anak serta eksploitasi dalam bentuk lainnya, anak – anak kelompok kelompok minoritas dan suku terasing, juga disebutkan secara tegas eksploitasi dan kekerasan seksual.
Agar terjamin perlindungannya, KHA dalam Pasal 42 menegaskan bahwa negara peserta akan melakukan daya upaya agar prinsip – prinsip dan ketentuan – ketentuan KHA diketahui secara luas, baik orang dewasa maupun anak – anak (didalam wilayah negara bersangkutan). Ketentuan itu jelas mewajibakan negara peserta untuk menyebarluaskan prinsip dan ketentuan KHA kepada publik dalam negeri dengan tujuan dapat memahami dan memantau perkembangan perlindungan hak anak dimaksud
Dengan demikian, implementasi pengakuan dan perlindungan hak anak dalam Konvensi tentang Hak – hak Anak (KHA) diatas, ditindaklanjuti kedalam peraturan perundang – undangan di Indonesia. Salah satunya Undang – undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Selain itu menurut Rika Saraswati, pengaturan lainnya juga dimasukan ke dalam , sebagai berikut :
1.         Undang – undang Dasar 1945 Pasal 28B Ayat 2
2.         Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143)
3.         Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
4.         Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
5.         Undang – undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12 Ayat (2), dan Pasal 13 Ayat (3))
6.         Undang – undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24).
7.         Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
8.         Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
9.         Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
10.     Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan yang bersifat mendasar.[73]

B.       Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Hak – Hak Anak.
Sebagai negara hukum yang mengakui hak anak sebagai bagian integral dari HAM, sebagaimana didalam KHA yang telah diratifikasi, sudah barang tentu, Indonesia berkewajiban memberikan jaminan perlindungan hukum atas hak – hak anak. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana perlindungan hukum bagi anak korban kekerasan seksual. Karena persoalannya adalah kekerasan seksual itu sudah terjadi dan bentuknya pun beragam[74] serta berdampak buruk terhadap diri pribadi anak baik pisik maupun fisik.[75]
Menurut Saeroni dalam tulisannya “Mewaspadai Kekerasan Seksual Pada Anak Perempuan,” kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling mengerikan karena jenis kekerasan ini biasanya diiringi oleh beberapa bentuk dan jenis kekerasan lainnya, seperti kekerasan fisik, sosiologis maupun psikologis. Ironisnya lagi, pelakunya seringkali orang terdekat atau orang – orang yang telah kenal baik oleh korban, seperti tetangga, saudara, guru, bahkan juga orang tua korban. [76]
Jika demikian, bagaimana dengan perlindungan hukum hak anak korban kekerasan seksual, siapa yang bertanggung jawab memberi perlindungan, dan upaya – upayanya.
1.         Hak anak Korban Kekerasan Seksual.
Menurut penulis, hak anak secara umum terkait dengan masalah diatas sebagaimana termaktub dalam KHA, diantaranya hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh berkembangan (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).
Mengutip Rika Saraswati, hak terhadap kelangsungan hidup ada 8 hak yang termaktub dalam KHA. Lebih spesifik sebagaimana tema diatas, penulis mengambil satu hak yang terkait dengan hal itu, yang patut menjadi perhatian negara dalam memberikan perlindungan, yakni hak memperoleh perlindungan  dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan. Ini dapat dilihat dalam Pasal 19 KHA.
Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu perlindungan anak dari kekerasan, masuk kategori perlindungan dari eksploitasi (6 hak), salah satunya meliputi perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi dan pornograpi. Sedangkan hak untuk tumbuh berkembang (development rights) meliputi bentuk pendidikan (formal maupun nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual dan sosial anak (Pasal 28 KHA). Terkait hal ini, anak korban kekerasan seksual berhak memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.
Terakhir, hak berpartisipasi (participation rights) yaitu hak menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hal ini meliputi 4 (empat) hak, salah satunya untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat.
Sementara itu, dalam Undang – undang Perlindungan Anak,  perihal hak anak diatas juga diatur dalam Pasal 4 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Menurut penulis, ketentuan ini juga berlaku bagi anak korban kekerasan seksual, karena hak untuk mendapat perlindungan dimaksud tetap melekat, hingga tidak terulang lagi kejadian serupa dimasa mendatang kepada dirinya.
Anak korban kekerasan seksual juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial serta memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadi dan kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan (2)).
Mengapa demikian, karena sebagaimana yang dikatakan Devi Anggraini dalam tulisannya “Pelecehan Seksual Pada Anak,” bahwa ;
“Pelecehan seksual berdampak besar terhadap psikologi anak, karena mengakibatkan emosi yang tidak stabil. Oleh karena itu, anak korban pelecehan seksual harus dilindugi dan tidak dikembalikan pada situasi dimana tempat terjadinya pelecehan seksual tersebut dan pelaku pelecehan dijauhkan dari anak korban pelecehan. Hal ini untuk memberi perlindungan pada anak korban pelecehan seksual. Anak – anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan mengalami sejumlah masalah, seperti kehilangan semangat hidup, membenci lawan jenis, dan upaya keinginan untuk balas dendam, bila kondisi psikologisnya tidak ditangani secara serius.”[77]

Apalagi melihat dari bentuk kekerasan seksual, seperti yang diungkapkan Lukman Hakim Nainggolan, :
“Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak (sale children) untuk tujuan prostitusi (child prostitution) dan pornograpi (child phornografy). Kekerasan seksual terhadap atau dengan sebutan lain bisa berupa hubungan seks, baik melalui vagina, penis, oral, dengan menggunakan alat, sampai dengan memperlihatkan alat kelaminnya, pemaksaan seksual, sodomi, oral seks, onani, pelecehan seksual, bahkan perbuatan incest.

Bentuk lainnya, menyentuh alat kelamin korban atau memaksa korban untuk menyentuh alat kelaminnya, melibatkan anak – anak dalam pornograpi, misalnya memperlihatkan gambar atau tulisan erotis dengan tujuan membangkitkan napsu birahi, termasuk juga memperlihatkan kepada anak – anak seperti kondom, gambar orang tanpa busana dan sebagainya.

Menurut Resna dan Darmawan, tindakan penganiayaan seksual dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu pemerkosaan, incest, dan eksploitasi. Pada eksploitasi termasuk prostitusi dan pornograpi.[78]

Secara eksplisit, adapun efek kekerasan seksual terhadap anak antara lain depresi, gangguan jiwa pasca trauma, kecemasan, kencendrungan menjadi korban lebih lanjut, dimasa dewasa dan cedera fisik.[79]
Jadi, dilihat dari segi bentuk, efek dan dampak kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud diatas, serta tujuan perlindungan anak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 UUPA, jelas menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak – hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dab berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Maka dari itu, sudah sepatutnya negara tetap menjamin terlindunginya hak anak korban kekerasan, diantaranya (1) hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (2) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial serta memperoleh pendidikan dan pengajaran agar anak kembali dalam kondisia ideal sedia kalanya.

2.         Upaya Perlindungan Hak dan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual
Sebagaimana tujuan perlindungan anak dalam Pasal 3 UUPA, dan kewajiban negara dan pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak (Pasal 14 – 20), serta sesuai dengan Pasal 42 KHA,  menegaskan bahwa negara peserta akan melakukan daya upaya agar prinsip – prinsip dan ketentuan – ketentuan KHA diketahui secara luas, baik orang dewasa maupun anak – anak (didalam wilayah negara bersangkutan). Ketentuan itu jelas mewajibakan negara peserta untuk menyebarluaskan prinsip dan ketentuan KHA kepada publik dalam negeri dengan tujuan dapat memahami dan memantau perkembangan perlindungan hak anak dimaksud.
Upaya perlindungan terhadap hak anak di dalam UUPA jelas menegaskan bahwa negara dan pemerintah, masyarakat berkewajiban melindungi melindungi hak anak,[80] khususnya korban kekerasan seksual. Secara eksplisit diatur didalam UUPA, diantaranya, pada Pasal 13 Ayat (10) yang berbunyi “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhannya, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran. Kemudian juga kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, dan perlakuan salah lainnya. Pada Ayat (2) bila orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana Ayat (1), maka pelaku diberi pemberatan hukuman.
Kemudian, Pasal 16 Ayat (1) setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Kemudian, pada Pasal 17 Ayat (2), setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. Lalu dipertegas pula pada Pasal 18 yakni setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Lantas bagaimana jaminan perlindungan hak anak korban kekerasan seksual oleh negara dan pemerintah. Sesuai semangat pada pasal 21 UUPA yang tegas mengatakan bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa diskriminasi, maka negara dan pemerintah harus memberikan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22), menjamin perlindungan anak (Pasal 23 Ayat (1)) dan mengawasinya (Pasal 23 Ayat (2)). Pemerintah dan lembaga negara lainnya, juga berkewajiban memberikan perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan seksual sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UUPA.
Upaya perlindungan khusus ini, bagi anak korban tindak pidana (Pasal 64) dan eksploitasi seksual (Pasal 66) antara lain :
a.    Upaya Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum menurut Pasal 64 Ayat (3) :
·      Upaya rehabilitasi, perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi
·      Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial
·      Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara 

b.   Upaya Perliundungan khusus menurut Pasal 66 Ayat (2) :
·      Penyebarluasan dan / atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan / atau seksual.
·      Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi.
·      Perlibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan / atau seksual.
Kemudian ditegaskan juga, sebagai jaminan perlindungan hak anak, bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 66 Ayat (1).
c.    Upaya Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual menurut Pasal 69 Ayat (2) :
·      Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang – undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan.
·      Pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi.
Kemudian ditegaskan juga, sebagai jaminan perlindungan hak anak, bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana yang dimaksud Pasal 69 Ayat (1)
Selain negara, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjamin terlaksananya perlindungan hak anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 UUPA yang menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam perlindungan anak. Sementara orang tua, selain berkewajiban dan bertanggung jawab mengasuh, memelihara, mendidik, juga berkewajiban dan bertanggung jawab melindungi anak (Pasal 26 huruf a).
Dan upaya lainnya, guna meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UUPA, membentuk Komisi Perlindungan Anak yang bersifat independent, dengan beranggotakan 9 orang yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Komisi ini bertugas melakukan sosialisasi seluruh peraturan ketentuan peraturan perundang – undangan berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian juga memberikan laporan dan saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal  74 – 76 UUPA.
Dan agar meminimalisir atau tidak lagi terjadi kekerasan seksual terhadap anak serta guna memberi efek jera kepada pelaku, maka diatur pula sanksi pidana yang disertai denda. Antara lain :
a.    Pasal 80.
1)   Pidana Penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan / atau denda maksimal Rp 72.000.000 (tujuh puluh dua juta rupiah) bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancamanan kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak.
2)   Jika mengakibatkan luka berat, maka pelaku dipidana maksumal 5 (lima) tahun dan / atau denda maksimal Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
3)   Jika mati, maka pelaku dipidana maksimal 10 tahun dan / atau denda Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
4)   Ditambah sepertiga, apabila yang melakukan adalah orangtuanya.

b.   Pasal 81
1)   Pidana penjara minimal 3 tahun maksimal 15 tahun dan denda minimal  60 juta maksimal Rp 300 juta, bagi setiap orang yang sengaja melakukan kekerasan atau ancamanan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain.
2)   Ketentuan ayat (1), berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

c.    Pasal 82
Dipidana maksimal 15 tahun minimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta minimal Rp 60 juta bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Sementara itu, menurut Lukman Hakim Nainggolan, pemberian sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu kebijakan politik kriminal yang menurut pendapatnya masuk dalam upaya penal. Dimana Upaya penal dimaksud yaitu penanggulangan setelah terjadi kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan dengan tujuan agar setiap orang tidak melakukan perbuatan yang sama dan menjadi contoh bagi yang lain jika melakukannya maka dijatuhkan sanksi keras yang sifatnya represif.
Lebih lanjut, dia juga menyebutkan upaya lainnya, yakni upaya nonpenal. Maksudnya adalah usaha – usaha penanggulangan dengan tidak menggunakan sanksi hukum, yang berarti bahwa penanggulangan ini adalah penanggulangan yang lebih bersifat preventif. Misalnya berupa penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha dan kesejahteraan anak remaja, kegiatan patroli dan pengawasa lainnya secara kontinue oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.
Kemudian upaya preventif yaitu upaya penanggulangan yang lebih dititik beratkan pada pencegahan terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.  Kejahatan dapat dikurangi dengan meminimalisir faktor – faktor penyebabnya. Misalnya, faktor menyimpang dari diri pelaku, kondisi yang mendukung, sosial budaya, keberadaan korban dan  banyak lagi.  Terakhir adalah upaya reformatif, yaitu segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang – undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah resedivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang kesemuanya adalah menuju kepada kesembuhan pelaku, sehingga pelaku dapat menjadi manusia yang baik kembali.


 
BAB IV
Kesimpulan dan Saran

A.  Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah penulis sampaikan pada bab terdahulu, kiranya dapat disimpulkan antara lain :
1.      Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif HAM
a.    Bahwa Indonesia sesungguhnya – pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, sudah mengakui HAM di dalam UUD 1945 meskipun tidak secara transparan, bahkan di dalam konstitusi yang mengalami perubahan seperti UUDS 1950 dan Konstitusi RIS, HAM tercantum didalam batang tubuh konstitusi.
b.    Pengaturan HAM anak pada masa Orde Baru pun diakui. Meskipun masih menggunakan UUD 1945 original, namun dalam pelaksanaannya, sebagaimana Deklarasi Universal HAM (DUHAM), diberlakukan beberapa aturan terkait HAM, diantaranya :
§  Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
§  Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan HAM ;
§  Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.
c.    Implementasinya, di masa era reformasi, lahir pula berbagai aturan terkait HAM dan ratifikasi instrumen HAM internasional, diantaranya :
§  Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
§  Intruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunakaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Urusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan ;
§  Undang – undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan ;
§  Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ;
§  Undang – undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ;
§  Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 November 2000 tentang HAM ;
§  Undang – undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Pengadilan HAM ;
§  Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres Nomor 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi ;
§  Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa ;
§  Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
§  Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja
§  Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
§  Konvensi ILO No. 88 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Undang – undang Nomor 36 Tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.
d.   Sementara itu, aturan yang terkait perlindungan hak asasi anak berdasarkan Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak / KHA) 1989 yang disetujui Majelis Umum PBB, kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres Nomor Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, KHA menjadi hukum positif di Indonesia.  Kemudian terjadinya amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali (1998 – 2002), maka ada penegasan terkait HAM anak dalam hukum positif di Indonesia, yakni Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945 dan Undang – undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Dan aturan lainnya yang terkait perlindungan anak antara lain :
§  Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143)
§  Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
§  Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
§  Undang – undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12 Ayat (2), dan Pasal 13 Ayat (3))
§  Undang – undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24).
§  Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
§  Keppres Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak
§  Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
§  Keppres Nomor 88 Tahun 2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan yang bersifat mendasar.

2.      Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Hak – Hak Anak.
Terkait dengan hak anak korban kekerasan seksual ada 4 yakni hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh berkembangan (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).
Hak kelangsungan hidup yang mesti dilindungi bagi anak adalah hak memperoleh perlindungan  dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan. Ini dapat dilihat dalam Pasal 19 KHA.
Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu perlindungan anak dari kekerasan, masuk kategori perlindungan dari eksploitasi (6 hak), salah satunya meliputi perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi dan pornograpi
Hak untuk tumbuh berkembang (development rights) meliputi bentuk pendidikan (formal maupun nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual dan sosial anak (Pasal 28 KHA). Terkait hal ini, anak korban kekerasan seksual berhak memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik
Hak berpartisipasi (participation rights) yaitu hak menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hal ini meliputi 4 (empat) hak, salah satunya untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat.
Upaya perlindungan terhadap hak anak di dalam UUPA jelas menegaskan bahwa negara dan pemerintah, masyarakat berkewajiban melindungi melindungi hak anak, khususnya korban kekerasan seksual. Secara eksplisit diatur didalam UUPA, diantaranya, pada Pasal 13 Ayat (1) dan (2), Pasal 16 Ayat (1), Pasal 17 Ayat (2), dan Pasal 18. Perlindungan hak anak korban kekerasan seksual di lakukan oleh oleh negara dan pemerintah. Sesuai Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 Ayat (1) Pasal 23 Ayat (2). Dan lembaga negara lainnya, juga berkewajiban memberikan perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan seksual sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UUPA. Bahkan negara dan pemerintah melakukan upaya perlindungan khusus ini bagi anak korban tindak pidana, eksploitasi dan kekerasan seksual sebagaimana yang diatur dalam Pasal 64, Pasal 66 dan 69.
Selain itu, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menjamin terlaksananya perlindungan hak anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 UUPA, termasuk juga didalamnya kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 26 huruf a.
Guna meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UUPA, membentuk Komisi Perlindungan Anak yang bersifat independent, dengan beranggotakan 9 orang yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Komisi ini bertugas melakukan sosialisasi seluruh peraturan ketentuan peraturan perundang – undangan berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelahaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian juga memberikan laporan dan saran, masukan dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak sebagaimana yang diatur dalam Pasal  74 – 76 UUPA.
Dan agar meminimalisir atau memberi efek jera bagi pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak maka diatur pula sanksi pidana penjara dan denda di dalam Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82.

B.  Saran
1.    Meskipun Indonesia mengakui HAM dan Hak anak, namun dengan masih maraknya tindak kekerasan seksual terhadap anak maka perlu evaluasi dan pengkajian mendalam terkait aturan perundang – undangan perlindungan guna menentukan kebijakan politik kriminal yang tegas dan berefek jera sehingga dapat menekan pelanggaran HAM, khususnya kekerasan seksual terhadap anak dimaksud.
2.    Upaya non atau penanggulangan yang lebih bersifat preventif perlu ditingkatkan baik oleh negara, pemerintah dan masyarakat. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat menjadi rujukan dalam hal membuat program rehabilitasi, penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat lewat pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha dan kesejahteraan anak remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinue oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.
3.    Kemudian upaya preventif yaitu upaya penanggulangan yang lebih dititik beratkan pada pencegahan terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.  Kejahatan dapat dikurangi dengan meminimalisir faktor – faktor penyebabnya. Misalnya, faktor menyimpang dari diri pelaku, kondisi yang mendukung, sosial budaya, keberadaan korban dan  banyak lagi.  Disamping itu perlu pula upaya reformatif, yaitu segala cara pembaharuan atau perbaikan kepada semua orang yang telah melakukan perbuatan jahat yang melanggar undang – undang. Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah resedivis atau kejahatan ulangan. Upaya ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yang kesemuanya adalah menuju kepada kesembuhan pelaku, sehingga pelaku dapat menjadi manusia yang baik kembali.


















 
Daftar Pustaka


-------,  Convention on the rights of the Children (Konvensi Hak Anak /KHA) 1989
-------,  Undang – undang Dasar 1945
-------,  Undang – undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal Pasal 12 Ayat (2), dan Pasal 13 Ayat (3)
------,    Undang – undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24)
-------,  Undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-------,  Undang – undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
-------,  Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
-------,  Undang – undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
-------,  Undang – undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
-------,  Undang – undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
-------,  Undang – undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
-------,  Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat.
-------,  Keppres Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
-------,  Keppres Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
-------, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan HAM ;
-------,  Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM
Dwi Yanto, Perlindungan HAM Anak Indonesia : Perkembangan, Implementasi dan Rekomendasi, Karya Ilmiah dalam nunutngombe.wordpress.com, 28 Oktober 2010
Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara – Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,  Bandung, 2009


 
Jhon M Echols & Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Cetakan XXIV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Lukman Hakim Nainggolan, Bentuk – bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Equality, Vol 13 No. 1 Februari 2008
Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 3, Prenada Media, Jakarta, 2009.
Muladi, Ed, Bunga Rampai Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam  Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2009
M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan 1,  Reality Publisher, Surabaya, 2009.
Priyambodo RH & Indria Prawitasari, Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo (LPDS)
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009.

Supriyadi W Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Bahan Ajar, Kursus HAM untuk Pengacara X Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Tahun 2005

Undang – undang Perlindungan Anak, Cetakan 1, Fokusmedia, Bandung, 2011

Yudha Pandu, Ed, Undang – Undang HAM, Cetakan ke 5, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, Hal 2.

Yudha Pandu, ed,  Undang – undang Dasar 1945 & Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 2, Indonesia Legal Center Publishing, Bandung, 2010,

http : //www.republika.co.id, 1 Desember 2010.
http://www.detiknews.com, 22 Desember 2010.
http://depkominfo.go.id, 5 April 2010.
http://metronews.fajar.co.id.
http;//www.ykai.net
http://id.wikipedia.org/, 30 April 2011.



[1] Majda El-Muhtaj. HAM dalam Konstitusi Indonesia, Praneda Media, Jakarta, 2005, HlM. 8.
[2] Konstitusi Indonesia UUD 1945 dan Amandemen I,II,III,IV Pustaka Timur, Yogyakarta, 2009, hlm. 101-107.
[3] Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politk­ cet-24, PT Gramedia, Jakarta, 2004, hlm. 128.
[4] Republika, Op Cit, 23 Oktober 2010.
[5] Ibid, 2 November 2010.
[6] Ibid.
[8] Lukman Hakim Nainggolan, Bentuk – bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Bawah Umur, Jurnal Equality, Vol 13 No. 1 Februari 2008, Hal 83.
[9] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009, Hal 15 – 17.
[10] M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan 1,  Reality Publisher, Surabya, 2009, Hal 64 – 65.
[11] Yudha Pandu, Ed, UUD 1945 & Konstitusi Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2010, Hal 30.
[12] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 18 – 19.
[13] Majda El – Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 3, Prenada Media, Jakarta, 2009, Hal v.
[14] http://metronews.fajar.co.id.
[15] http;//www.ykai.net
[16] M. Marwas & Jimmy P, Op Cit, 200 – 201.
[17] Lihat Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
[18] M. Marwas & Jimmy P, Op Cit, Hal 258.
[19] Ibid, Hal 41.
[20] M. Marwas & Jimmy P, Op Cit, Hal 383.
[21] Ibid, Hal 343.
[22] Lukman Hakim Nainggolan, Op Cit, Hal 73.
[23] M. Marwas & Jimmy P, Loc Cit, Hal 231.
[24] Majda El – Muhtaj , Op Cit, Hal 1.
[25] Lihat Priyambodo RH & Indria Prawitasari, Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo (LPDS), Hal 40 – 47.
[26] Yudha Pandu, Ed, Undang – Undang HAM, Cetakan ke 5, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, Hal 2.
[27] Dwi Yanto, Perlindungan HAM Anak Indonesia : Perkembangan, Implementasi dan Rekomendasi, Karya Ilmiah dalam nunutngombe.wordpress.com, 28 Oktober 2010, Hal 1.
[28] Muladi, Ed, Bunga Rampai Hak Asasi Manusia – Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam  Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, 2009, Hal 3.
[29] Jhon M Echols & Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Cetakan XXIV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, Hal 391.
[30] Muladi, Loc Cit, Hal 3.
[31] Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara – Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia,  Bandung, 2009, Hal 160 – 171.
[32] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 1.
[33] Dwi Yanto, Op Cit, Hal 1.
[34] M Marwan & Jimmy P, Op Cit, Hal 449 – 450.
[35] Hendarmin Ranadireksa, Op Cit, Hal 25 – 26.
[36] Hendarmin Ranadireksa, Op Cit, Hal 55 – 58.
[37] M Marwan & Jimmy P, Op Cit, Hal 450.
[38] Lihat Yudha Pandu, Undang – undang Dasar 1945 & Konstitusi Indonesia, Cetakan ke 2, Indonesia Legal Center Publishing, Bandung, 2010, Hal 1 – 22.
[39] Muladi, Loc Cit, Hal 3.
[40] Majda El – Muhtaj, Op Cit, Hal v – ix.
[41] Majda El – Muhtaj, Op Cit, Hal 93 – 102.
[42] Ibid, Hal 94.
[43] Majda El – Muhtaj, Op Cit, Hal 1 – 11.
[44] Muladi, Op Cit, Hal 3 – 4.
[45] Ibid, Hal 4
[46] Muladi, Op Cit, Hal 5.
[47] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 33 – 36.
[48] M Marwah & Jimmy P, Op Cit, Hal 343.
[49] Lukman Hakim Nainggolan, Op Cit, Hal 73.
[51] Majda El – Muhtaj, Op Cit, Hal V.
[52] Rita Saraswati, Op Cit, Hal 24 – 33.
[53] Muladi, Op Cit, Hal 3.
[54] Ibid, Hal 228 – 229.
[55] Baca juga pengertian negara menurut sejumlah pemikir – pemikir besar ketatanegaraan dari zaman Yunani Kuno hingga era modern dalam Hendarmin Ranadireksa, Op Cit, Hal 25 – 28.
[56] Ibid, Hal 28 – 31.
[57] Mahda El – Muhtaj, OP Cit, Hal 23.
[58] Ibid, Hal 93 – 102.
[59] Majda El – Muhtaj, Op Cit Hal 94.
[60] Ibid, 39 – 40.
[61] Majda El – Muhtaj, Op Cit, Hal 40.
[62] M Marwan & Jimmy P, Op Cit, Hal 450.
[63] Muladi, Op Cit, Hal 50.
[64] Muladi, Op Cit, Hal 3 – 4.
[65] Supriyadi W Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, Bahan Ajar, Kursus HAM untuk Pengacara X Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Tahun 2005, Hal 5.
[66] Baca Majd El – Muhtaj, Loc Cit, Hal 7 – 8.
[67] Majda El – Muhtaj, Op Cit, Hal 94 – 102.
[68] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 15 – 16.
[69] Muladi, Op Cit, Hal 4.
[70] Muladi, Op Cit, Hal 5.
[71] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 15 – 24.
[72] Rika Saraswati, Op Cit, 15 – 24.
[73] Rika Saraswati, Op Cit, Hal 33 – 36.
[74] Lihat Lukman Hakim Nainggolan, Op Cit, Hal 73 – 74.
[77] Devianggraini90, Op Cit.
[78] Lukman Hakim Nainggolan, Op Cit, Hal 73.
[79] http://id.wikipedia.org/, 30 April 2011.
[80] Lihat Pasal 14 – 20, Pasal 25 dan Pasal 26 UUPA, Cetakan 1, Fokusmedia, Bandung, 2011, Hal 8 – 11.

1 komentar:

Unordered List

Sample Text

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Facebook

Translate

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Recent

Popular Posts

Recent Posts

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Text Widget