Selasa, 22 Mei 2012


BAB I
Pendahuluan
   A.  Sejarah Pers
Sekitar 3.400 tahun yang lalu, di Mesir, Kaisar Amenhotep III (1405 – 1367 SM) merobak sistem pemerintahan, diantaranya membuka cara baru jalur komunikasi.  Kaisar yang naik tahta diusia 15 tahun itu, mengutus ratusan “wartawan” membawa “surat  berita” untuk seluruh pejabat ke semua Provinsi .  Tindakan ini dianggap cikal bakal lahirnya jurnalistik.
Lislie G. Moeller dari Universitas Lowa Amerika Serikat dalam tulisan ensiklopedi berjudul  The New Book of Knowledge, meskipun tidak menjelaskan secara rinci perihal  diatas, akan tetapi, adanya berita tertulis yang disampaikan oleh utusan raja kepada pejabatnya dianggap ada kesamaan dengan profesi wartawan.
“…….., mungkin karena ada berita tertulis yang disampaikan oleh utusan  raja kepada para pejabat diseluruh negeri. Jadi, ini ada kesamaan dengan profesi wartawan sekarang dan ini terjadi dinegara yang memiliki peradaban tinggi dimasa silam yang sangat jauh.”[1]
Pada masa Sriwijaya dan Majapahit, utusan itu disebut penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong. 
Sementara, pada kekaisaran Romawi, 2500 tahun lalu, setiap peristiwa penting sehari-hari seperti penobatan, kunjungan tamu agung dipublikasikan di papan pengumuman.  Maka, munculah istilah jurnalis atau diurna yang artinya sehari-hari. Istilah lainnya, acta diurna, acta populi atau acta publica.
 Senat pun demikian. Mereka mempublikasikan aktivitasnya, antara lain mengenai perundang-undangan atau peraturan. Kegiatan ini disebut acta senatus atau commentarii senates yang diprakarsai senator Tiberius pada tahun 1 masehi.
Kala itu, ada yang bekerja sebagai penyalin pengumuman. Salinan tersebut dijual kepada mereka yang enggan berdesak-desakan di depan papan pengumuman atau mereka yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi. Namun, cara ini berbeda dengan Amenhotep III dan penyeranta.
Aktifitas tersebut terus menerus berjalan, seriring perkembangan, mengalami berbagai perubahan. Mulai dari istilah, praktek dan bentuk penyajiannya.  Selain istilah jurnalis, ada juga yang menyebut wartawan, reporter dan pers.
Menurut P. J. Zoetmulder dalam bukunya, Kamus Jawa Kuno – Indonesia , Istilah wartawan, berasal dari kata sanskerta, wrtta. Artinya digerakan, terjadi, lalu, lewat, soal, peristiwa, tindakan, tingkah laku, atau bisa juga berarti berita.  Istilah wartawan digunakan pada masa kemerdekaan sebagai pengganti kata jurnalis pada masa zaman Belanda.
Sementara,  istilah reporter diambil dari dunia birokrat pada abad 15. Pada waktu itu, para birokrat patut dijadikan tauladan lantaran tulisan mereka itu rapi, jelas, bagus, jujur dan objektif. Penggunaan istilah itu dengan maksud agar para wartawan bekerja seperti birokrat tersebut.
Sedangkan istilah pers (bahasan belanda) dan press (bahasa inggris) muncul setelah mesin cetak ditemukan pada tahun 1450 oleh Johannes Gutenberg, warga Sungai Rhein, Kota Mainz, Jerman. Pria itu merintis pembuatan mesin cetak sejak 10 tahun sebelumnya. Lamanya pembuatan mesin cetak itu lantaran sulitnya mendapat jenis kayu yang tidak susah digunakan untuk mengukir huruf dan kuat untuk dipakai mencetak banyak dan tahan ditekan berulang-ulang.  Pers atau press atinya ditekan.[2]
Awalnya mesin cetak sangat sederhana dan hanya digunakan untuk membuat selebaran terkait suatu peristiwa. Itu pun disebarkan dalam bentuk panflet ke kedai kopi. Penyebaran ke café, muncul, setelah Columbus menemukan India Barat, 1492. Dalam pelayarannya, mereka mencari emas, permata dan rempah-rempah ke Asia. Sejak itu, Eropa berbondong-bondong mengikutinya sehingga pelabuhan ramai.  Disitulah mereka bercerita dan saling bertukar informasi.[3]
Lama – kelamaan, mesin cetak makin canggih dan dapat mencetak banyak, misalnya mesin cetak menggunakan timah hingga cetak off set. Makanya, baru 169 tahun, sejak mesin cetak ditemukan, muncullah surat kabar pertama di dunia. Namanya Avisa Relation Oder Zeitung, di Augsburg Jerman, yang secara rutin terbit mingguan sejak 15 Januari 1609.  Sementara koran yang terbit tiap harinya yakni Daily Courant di London 1702. Meskipun demikian, sebelumnya banyak juga Koran yang sudah terbit namun hilang timbul.
Namun kehadiran pers, ibaratkan “nyamuk yang menganggu,” khususnya bagi penguasa. Lembaga jurnalistik itu dianggap mampu mempengaruhi opini publik. Hitam kata pers, maka hitam pula anggapan masyarakat terhadap pemerintah. Begitu juga sebaliknya. Contohnya saja, bila pers memberitakan bahwa pemerintah korup, tidak pro rakyat, dll. Maka terbentuklah opini demikian. Padahal bisa saja, berita itu benar atau sebaliknya. Begitu besarnya pengaruh pers dalam menggiring opini publik.
Mengantisipasi hal tersebut, Kerajaan Inggris pada abad 16 memberlakukan hukum yang keras  terhadap pers. Setiap berita yang hendak diterbitkan, wajib disensor terlebih dahulu. Bahkan, agar mudah dikontrol pemerintah, kantor penerbitannya wajib dekat istana. Parahnya lagi, bila pemerintah menilai pers melakukan kesalahan maka hukumannya adalah pancung bagi pimpinan redaksinya. Hukuman teringan adalah potong lidah. Sistem ini dikenal dengan istilah autoritarian.
Di Amerika, keberadaan pers pun mendapat tekanan dari pemerintah. pada tahun 1690, koran pertama bernama Public Onccurrences Both Foreign and Domestic yang didirikan Benjamin Harris baru sekali terbit langsung dibredel oleh Gubernur Massachussets lantaran dinilai kontra pemerintah.  
Selain autoritarian, ada juga totalitarian.  Artinya, sistem ini  lebih kepada pers sebagai alat propaganda pemerintah. Dalam sistem ini,  informasi  dimonopoli oleh pemerintah. lembaga pers berada dibawah kekuasaan pemerintah dan tidak ada pers swasta.  Sistem ini berlaku di Uni Soviet.
Kemudian libertarian. Sistem ini lahir  setelah revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat lebih dari 200 tahun yang lalu. Dengan sistem ini, kebebasan pers dijunjung tinggi. Namun dalam perjalannya, pers akhirnya dikuasai oleh para pengusaha. Pers telah berkembang menjadi industri. Koran dan majalah dicetak dengan percetakan canggih dan itu butuh modal besar. Karena penguasa memiliki modal, maka lama-kelamaan, pengusahan menjadi  penguasa pers.
Lalu, timbul persoalan. Kepentingan pengusahan kerap bersebarangan dengan kepentingan masyarakat. Kemanakah pers harus berpihak. Maka munculah sistem baru, yakni sistem tanggung jawab sosial. Disinilah pers harus bersandar kepada kepentingan umum.
Untuk itu, dibutuhkan kemerdekaan pers. Pasalnya,  kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat terjamin.
Kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki (HAM). Ini diperlukan untuk menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun pers sebagai wahana komunikasi, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan cara-cara professional.
Seperti yang disampaikan Jacoeb Oetama, tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo, Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, bahwa kebebasan pers akan lebih bermanfaat jika disertai peningkatan professional competence, termasuk didalamnya professional ethic.[4]
Di Indonesia, kemerdakaan pers sesungguhnya telah diatur di dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Namun, sejauh mana kemerdekaan itu dilindungi apakah kemerdekaan itu berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah yang akan penulisan uraikan dalam bab berikutnya

2.      Sejarah Pers di Indonesia
Seperti uraian yang penulis sampaikan diatas, bahwa di Indonesia, cikal bakal lahirnya jurnalistik sudah dimulai pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Para penyampai berita itu dikenal dengan istilah penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong.[5]  
Menurut Maskun, pengaruh jurnalis Eropa merambah ke Indonesia berawal dari Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszon Coen (1587 – 1629) yang bertugas di Indonesia kala itu. Ia memprakarsai penerbitan newsletter yang dinamakan Memorie der Nouvelles, 1615. Caranya nyaris sama dengan Amenhotep III, yakni mengirim surat yang berisi berita-berita dari Nederland dan disebarkan dari Jakarta untuk kalangan pejabat VOC yang tinggal jauh di Ambon.
Namun yang menerima newsletter tersebut hanya orang-orang yang dianggap penting. Soalnya salinan surat tersebut terbatas yakni hanya 30 eksemplar. Pada masa itu di Indonesia belum ada mesin cetak, mesin stensil, apalagi mesin fotokopi dan faks, sehingga salinan harus ditulis tangan. Jadi, tidak mungkin menulis lebih banyak dari itu.
Pada 7 Agustus 1744, dicetaklah surat kabar pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) dalam bentuk kertas folio. Sebenarnya, keinginan menerbitkan Koran saat itu banyak mendapat hambatan dari pemerintah VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie, Perkumpulan Dagang India Timur). [6]
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam bukunya Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, keinginan untuk menerbitkan Koran baru terwujud setelah Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff memimpin VOC.  Penerbit surat kabar pertama di Indonesia yakni Jans Erdmans Jordens dengan izin kontrak selama tiga tahun pada tahun 1744.
Namun keberadaannya langsung dibredel oleh Pimpinan VOC di Belanda, 1745. Lantaran perjalanan laut Belanda – Indonesia memakan waktu 7 bulan, surat larangan itu baru sampai pada 20 Juni 1746. Dan Koran itu hanya sempat beredar selama 2 tahun.
Seperti halnya pers dunia, kebebasan pers di Indonesia juga mengalami pasang surut. Berbagai sengketa dan penindasan menjadi ciri khas hubungan pers dengan pihak berwenang di Indonesia. Penguasa melakukan kontrol ketat terhadap pers mulai dari izin, regulasi, sensor, swasensor, interogasi, penahan, pengasingan hingga pembredelan. Bahkan pers juga mengalami kekerasan secara fisik dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya dilapangan.

3.      Fungsi dan Peran Pers
Awalnya norma yang mengakui  adanya kebebasan pers sebagai bagian dari HAM dimulai dari keberadaan United Nation (UN) Charter (Piagam PBB) yang dilahirkan tahun 1945. Jika UN Charter berkaitan dengan kesepakatan atas keberadaan negara-negara bebas dalam perdamaian, disusul kemudian dengan UN Declaration of Human Rights yang dikeluarkan tahun 1948 yang menjamin hak azasi manusia. Dan kemudian penjabaran hak azasi yang lebih spesifik dengan hak-hak dalam UN Convenant on Civil and Political Rights pada tahun 1966.
Sebagai bangsa beradab, sudah barang tentu Indonesia yang menyatakan diri sebagai anggota PBB, setelah ikut menandatangani setiap deklarasi maupun covenant yang disepakati, akan mengakui dan menghormati norma sosial tersebut.
Tetapi sikap dalam menghadapi norma ini kadang mendua, di satu pihak mengakuinya, tetapi masih diikuti dengan catatan yang berdalih. Dalih bahwa setiap bangsa memiliki normanya sendiri, sering diajukan untuk mengabaikan norma yang dicita-citakan sebagai landasan bersifat universal.
Perbedaan nilai yang terkandung dalam norma yang dinyatakan sebagai kesepakatan antar bangsa, dengan norma lokal dari suatu bangsa, perlu dijadikan titik tolak dalam mempelajari etika sosial maupun etika profesi. Kandungan nilai kejahiliyahan dan keutamaan dari suatu norma agaknya dapat dijadikan dasar dalam menilai kebaikan norma yang ada, yang bersifat normatif absolut maupun deskriptif relatif.
Dengan adanya anggapan bahwa norma profesi jurnalisme di Indonesia harus berdasarkan norma sosial yang dianut secara khas oleh bangsa Indonesia, karenanya memiliki ciri khas sebagai Jurnalisme Pancasila atau Pers Pancasila.
Maka Fungsi imperatif pers Indonesia yang dibentuk oleh norma sosial Pancasila tentunya dapat menjadi dasar kurikulum dalam mempelajari etika profesi jurnalisme di Indonesia. Norma ini dapat dipandang bersifat normatif absolut. Untuk itu perlu dilihat tafsir mengenai HAM dalam norma sosial ini, mengingat nilai inilah yang menjadi dasar dalam fungsi imperatif profesi jurnalisme.
Selain sumber nilai yang bersifat lokal dan spesifik bagi bangsa Indonesia, keberadaan profesi jurnalisme dapat pula dipelajari dari sumber nilai yang diterima dalam pergaulan antar bangsa. Untuk itu dapat disimak kutipan berikut ini:
Deklarasi Hak Azasi Manusia PBB, pasal 19:
Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan menyatakan pendapat; hak ini meliputi kebebasan memiliki pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima dan ikut ambil bagian dalam kegiatan informasi dan gagasan melalui setiap macam media dan tanpa memandang batas wilayah.
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, pasal 19:
1.   Setiap orang mempunyai hak untuk mempunyai pendapat tanpa gangguan.
2.   Setiap orang mempunyai hak akan kebebasan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan gagasan apa pun, tanpa memandang batas-batas, baik secara lisan, melalui tulisan ataupun cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya.
3.   Pelaksanaan hak-hak yang disebut dalam ayat 2 pasal ini membawa kewajiban-kewajiban dan tanggungjawab khusus. Oleh karena itu,pelaksanaan hak-hak tersebut bisa dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tertapi pembatasan-pembatasan ini hanya diperkenankan sepanjang ditetapkan dalam undang-undang dan perlu:
a)   Untuk menghormati hak-hak dan nama baik orang lain;
b)   Untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum (ordrepublic), atau kesehatan masyarakat dan kesusilaan.
Kata kunci dalam seluruh persoalan media adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki pendapat secara bebas. Untuk membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta – fakta yang selengkap mungkin.
Dari sini diperlukan media komunikasi yang bebas, yang dapat menyampaikan informasi secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.[7]
Oleh karena itu, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 terjamin.
Kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani merupakan hak yang sangat hakiki. Ini diperlukan untuk menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun pers sebagai wahana komunikasi, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan cara-cara professional.
Menurut  Jacoeb Oetama, tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo, Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, mengatakan kebebasan pers akan lebih bermanfaat jika disertai peningkatan professional competence, termasuk didalamnya professional ethic.
Menurut Ashadi Siregar, dalam makalahnya yang disampaikan pada Sidang Dewan Pers, Departemen Penerangan RI, Yogyakarta 26 Mei 1999, bahw profesi jurnalisme, terkait dengan hak pihak lain. Dengan kata lain, keberadaan profesi jurnalisme pada dasarnya bertolak dari kepentingan pihak lain. Inilah yang menjadi paradigma dari profesi jurnalisme. Karenanya tindakan profesional seorang jurnalisme sesungguhnya menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari hak dan kepentingan pihak lain
Sementara pada pasal 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan pers berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Pasal 3 Ayat (1) fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Ayat (2) menyebutkan bahwa pers dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Untuk menjalankan fungsinya, pers diberi jaminan perlindungan hukum sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) undang-undang yang sama.
Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang – undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM  jelas menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada kita dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugerah-     Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlndungan madan martabat manusia.
Pasal 1 angka 6 juga menyebutkan bawah pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan sesorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik  disengaja maupun tidak disegaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan / atau mencabut HAM sesorang atau kelompok orang yang dijamin UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatrkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan hukum yang berlaku.
Aspek hukum lainnya yang mengakui kemerdekaan pers sebagai bagian dari HAM, juga dimulai abad ke 7 di Madinah yang dilebih dikenal Piagam Madinah. dari Inggris dengan piagam magna charta pada tahun 1215.

B.     Permasalahan
Meskipun secara hukum kebebasan pers diakui dunia dan dilindungi oleh negara, di jamin dalam konstitusi dan undang – undang, namun perlakuan yang didapat oleh insan pers tidak demikian. Masih ditemukan pengingkaran terhadap norma hukum dimaksud. Bahkan tidak sedikit pula yang mengalami kekerasan secara pisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa insan pers dalam menjalani tugas jurnalistiknya.
Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kemerdekaan itu dilindungi dan apakah pers dalam menjalankan fungsi serta perannya sudah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Hal ini pula yang membuat penulis tertarik untuk menuliskan makalah yang berjudul “Perlindungan Kebebasan Pers Sebagai Bagian Dari HAM Ditinjau Dari Aspek Hukum.”

C.     Tujuan dan manfaat penulisan
1.      Tujuan penulisan
a.       Untuk melengkapi tugas mata kuliah
b.      Sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat ilmiah, khusus dibidang perlindungan kebebasan pers sebagai bagian dari HAM serta peran, fungsi, hak dan kewajiban lembaga pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
2.      Manfaat penulisan
a.       Menambah pengetahuan penulis khususnya dibidang perlindungan kebebasan pers sebagai bagian dari HAM serta peran, fungsi, hak dan kewajiban lembaga pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab..
b.      Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam membuat karya ilmiah

D.    Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ilmiah ini yakni yuridis normatif dan sejarah hukum dalam bingkai fisalaf hukum.

E.     Sumber Data
Data kepustakaan terdiri dari
1.      Bahan Hukum primer : Peraturan yang berhubungan dengan objek seperti UUD 1945 dan peraturan terkait objek penuilsan.
2.      Bahan Hukum Sekunder : literatur atau bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan objek penulisan
3.      Bahan Hukum Tertier : terdiri kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Hukum

F.      Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini dibagi dalam tiga bab, yang mana tiap babnya dibagi dalam beberapa sub-sub bab. Maksud dan tujuannya adalah guna mempermudah mengurai dan pembahasan. Berikut sistematika penulisannya :
Pada bab I, berisikan pendahuluan. Bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, menjelaskan pendekatan penulisan, sumber data dan menjelaskan sistematika penulisan yang merupakan dasar bagi penulisan pada bab-bab berikutnya.
Pada bab II, membahas mengenai Sejauh mana kemerdekaan pers itu dilindungi Negara dan peran, fungsi, hak dan kewajiban lembaga pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
Pada bab III berisikan kesimpulan dan saran yang merupakan bab penutup. Kesimpulan ini merupakan inti dari permasalahan yang dibahas dan terdiri dari saran-saran yang penulis anggap perlu dari bab-bab yang telah dikemukakan sebelumnya.

Pembahasan
Kemerdekaan Pers di Indonesia
 Sebelum penulis menguraikan sejauh mana kemerdekaan pers itu dilindungi Negara dan bagaimana peran, fungsi, hak dan kewajiban pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab. Ada baiknya penulis jabarkan terlebih dahulu sejarah pers di Indonesia.

A.    Perjalanan Pers di Indonesia.
Di Indonesia, cikal bakal lahirnya jurnalistik sudah dimulai pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Para penyampai berita itu dikenal dengan istilah penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong.  
Pengaruh jurnalis Eropa merambah ke Indonesia berawal dari Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszon Coen (1587 – 1629) yang bertugas di Indonesia kala itu. Ia memprakarsai penerbitan newsletter yang dinamakan Memorie der Nouvelles, 1615. Caranya nyaris sama dengan Amenhotep III, yakni mengirim surat yang berisi berita-berita dari Nederland dan disebarkan dari Jakarta untuk kalangan pejabat VOC yang tinggal jauh di Ambon.
Namun yang menerima newsletter tersebut hanya orang-orang yang dianggap penting. Soalnya salinan surat tersebut terbatas yakni hanya 30 eksemplar. Pada masa itu di Indonesia belum ada mesin cetak, mesin stensil, apalagi mesin fotokopi dan faks, sehingga salinan harus ditulis tangan. Jadi, tidak mungkin menulis lebih banyak dari itu.
Pada 7 Agustus 1744, dicetaklah surat kabar pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen (Berita dan Penalaran Politik Batavia) dalam bentuk kertas folio. Sebenarnya, keinginan menerbitkan Koran saat itu banyak mendapat hambatan dari pemerintah VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie, Perkumpulan Dagang India Timur).[8]
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam bukunya “Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia,” keinginan untuk menerbitkan Koran baru terwujud setelah Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff memimpin VOC. 
Penerbit surat kabar pertama di Indonesia yakni Jans Erdmans Jordens dengan izin kontrak selama tiga tahun pada tahun 1744. Namun keberadaannya langsung dibredel oleh Pimpinan VOC di Belanda, 1745. Lantaran perjalanan laut Belanda – Indonesia memakan waktu 7 bulan, surat larangan itu baru sampai pada 20 Juni 1746. Dan Koran itu hanya sempat beredar selama 2 tahun.
Sementara Hanif Hoesein dalam tulisannya, ”Selintas Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia,” mengatakan tekanan terhadap pers di Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC melalui berbagai bentuk aturan hukum.
Pada tahun 1712 VOC melarang suratkabar yang berisi berita-berita dagang, karena VOC takut kalah dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut. Selanjutnya pada tahun 1856 diberlakukan Drukpers Reglement dengan sensor preventif; dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi Presbreidel Ordonantie dengan sensor represif.
Kemudian Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, beberapa penerbitan pers “sengaja dibangun” untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur Raya, akan tetapi beberapa penerbitan pers nasionalis yang sudah ada, mendapat pengawasan represif yang cukup ketat. Pembatasan terhadap kebebasan pers pada era penjajahan Jepang dilakukan melalui UU No.16 tahun 1942 dengan sensor preventif, yang dikenal dengan “Osamu Sere.”
Sepertinya, kebebasan pers di Indonesia memang mengalami tantangan besar. Berbagai sengketa dan penindasan menjadi ciri khas hubungan pers dengan pihak berwenang di Indonesia. Penguasa melakukan kontrol ketat terhadap pers mulai dari izin, regulasi, sensor, swasensor, interogasi, penahan, pengasingan hingga pembredelan. Bahkan pers juga mengalami kekerasan secara fisik dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya dilapangan.
Bahkan Maskun mengatakan (2006 : 8), kebebasan pers di Indonesia bergantung kepada siapa yang berkuasa. Pada masa pers dibelenggu tak terhitung banyak darah mengalir, betapa banyak orang pers dipenjarakan, banyak media yang dibredel dan banyak karyawan-karyawan yang tiba-tiba menganggur.
A.M. Dewabrata dalam bukunya “Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita,” menceritakan bahwa Pimpinan Redaksinya di Koran Pedoman, Rosihan Anwar berpesan agar hati-hati menulis berita dan memilih berita. Pemerintah bisa tiap saat membredel Koran. Waktu itu Orde Baru cukup ketat mengontrol media massa. Meskipun sudah hati – hati, akhirnya pada kuartal pertama 1974, Pedoman dan belasan media lainya dibredel seiring peristiwa Malari 15 Januari 1974.[9]
Menurut catatan Warief Djajanto Basoeri (2006 : 9), sengketa dan penindasan merupakan ciri khas hubungan pers di Indonesia dari 1774 hingga 1998. Kontrol penguasa penguasa sangat dominan. Mulai dari izin, regulasi, sensor, swasensor, introgasi, penahan, pengasingan hingga pembredelan.  
Berikut penulis uraikan daftar Koran dan kasus yang terjadi sejak 1744 hingga saat ini versi Warief, diantaranya :
Koran dan kasus :
a.     7 Agustus 1744 – Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen, diterbitkan oleh Jan Erdams Jordens
b.     1746 - Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen dibredel oleh VOC berkedudukan di Amsterdam
c.     1851 – De Locomotief terbit di Semarang
d.     1852 – Java Bode, Jakarta
e.     1855 – Bromartani, Surakarta, berbahasa jawa.
f.      1856 – Soerat Kabar Bahasa Malaijoe, Surabaya
g.     1902 – Bintang Hindia, Majalah Dwimingguan di Amsterdam, dipimpin oleh Abdul Rivai
h.     1907 – Medan Prijaji, Bandung, diterbitkan oleh Raden Mas Tirtoadisuryo
i.       1907 – Wartawan bersuara hati nurani pertama (the first Indonesiaan newspaperman with a conscience) ditahan di Indonesia (Hindia Belanda saat itu)
j.      1937 – LKBN Antara didirikan
k.     1945 – Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Pers Perjuangan
l.       1945 – Merdeka, Jakarta
m.   1947 – Waspada, Medan
n.     1948 – Pedoman, Jakarta
o.     1949 – Indonesia Raya, Jakarta
p.     1950 – Soera Merdeka, Semarang
q.     1950 – 1959 – Sistem parlementer. Pers partisan
r.      1958 – Indonesia Raya dibredel, Pimred Mochtar Lubis masuk keluar tahan sejak 1956
s.      Awal 1960 – Pers Nasakom
t.      1965 – Harian Rakyat ditutup Angkatan Darat, 46 koran kiri dibredel
u.     1974 – Orde Baru, Pemerintah Presiden Soeharto mencabut SIT 11 penerbitan pers, termasuk Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian Kami dan The Jakarta Times
v.     1978 – Pemerintah Soeharto menutup sementara 7 koran, termasuk Kompas, Merdeka, Sinar Harapan, dan Pelita
w.    1994 – Pemerintah Orde Baru mencabut SIUPP majalah Tempo
x.     1998 – 21 Mei Soeharto lengser
y.    1999 – UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers Sistem bredel berakhir. Sensor dihapus dan perizinan ditiadakan bagi media pers cetak.[10]
Jika melihat uraian diatas, dari 1744 hingga 1945 tak banyak perusahaan pers didirikan. Selain kondisinya tidak memungkinkan secara teknis, namun hal itu tidak terlepas dari pengaruh kediktatoran penguasa kala itu. Pembredelan dan penahanan wartawan lantaran bersuara hati nurani terjadi. Sepertinya Pemerintah VOC dan Jepang menerapkan sistem authoritarian kala itu.

B.     Dilema Kebebasan pers.
Lantas bagaimana kebebasan pers pasca kemerdekaan. Jika dilihat dari waktu, perkembangan pers dapat dibagi dalam periode sebagai berikut :
a.   Periode 1945 – 1950
Periode ini pers berperan sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasca teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk juga diantaranya pers dan yang diperebutkan itu adalah peralatan percetakan.
Sejak itu, pers di Indonesia semakin kuat dan dapat dilihat dengan mulai beredarnya Koran, antara lain Kedaulatan Rakyat, Pers Perjuangan (Yogyakarta) dan Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Kemudian disusul Waspada, Pedoman dan Indonesia Raya.
Meskipun demikian, bukan berarti kemerdekaan pers terjamin. Pasalnya, didalam konstitusi kita, perlindungan terhadap kebebasan pers tidak atur secara tegas. Undang – undang Dasar Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Perihal ini menunjukan belum adanya kesadaran para pembentuk undang-undang bahwa kebebasan pers adalah bagian dari demokrasi. Sepertinya politik hukum yang mengarah untuk mewujudkan kebebasan pers adalah bagian dari kedaulatan rakyat dan menjadi unsur esensial untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokrasi, masih jauh dari yang diharapkan.
Selain itu, kemerdekaan pers bagian dari kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang hakiki, yang diperlukan untuk menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak masuk dalam pertimbangan para pembuat norma dasar bangsa ini.
Hal ini juga pernah diungkapkan Ashadi Siregar dalam tulisannya yang berjudul Prospek Kebebasan Pers Dalam Perkembangan Demokrasi. Ia mengatakan Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri RI, kendati umumnya menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara eksplisit memasukkan hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh informasi.
Kemudian, institusi pers hanya dilihat sebagai bagian dari hukum penawaran dan permintaan, bukan sebagai praksis dari suatu ideologi. Sebagai institusi yang berada di dua ranah, ranah ekonomi dan ranah politik, pers harus hadir berlandaskan hukum-hukum ekonomi. Sementara dalam ranah politik, bukan dari peran politik yang dapat dijalankannya, tetapi dalam posisinya menghadapi birokrasi negara
 Sementara Hanif melihat, faktor penyebabnya saat itu adalah Indonesia tengah mengalami revolusi fisik. Ada dualisme sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan yang demokratis berdasarkan UUD 1945, dan pemerintahan otoriter Kolonial Belanda NICA yang kembali ke Indonesia membonceng tentara Sekutu.
Padahal, pasca proklamasi, pers Indonesia tengah eforia kebebasan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan inilah yang menurut pers pada saat itu merupakan kebenaran yang harus dipertahankan. Kebebasan pers saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory
Disamping itu, media massa di satu negara mencerminkan sistem pemerintahan negara bersangkutan. Dengan kata, lain perkembangan politik dan sistem pemerintahan amat berpengaruhi terhadap pertumbuhan media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan.
Selain itu, untuk mengetahui realitas pers di suatu negara secara mendalam, terlebih dahulu harus dikaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini dan digunakan oleh negara tersebut, terutama menyangkut hakikat manusia, hakikat negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara, serta hakikat pengetahuan dan kebenaran.
Secara kelembagaan, periode ini juga melahirkan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada Tanggal 9 Pebruari 1946 yang  menempatkan diri sebagai organisasi kejuangan bersama organisasi lainnya. Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda mengintervensi – bahkan mensubordinatkan – organisasi wartawan PWI, tetapi untuk satu tujuan yang mulia, kemerdekaan itu sendiri. Kondisi PWI yang demikian, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan historis bahwa NKRI yang masih berusia muda sangat memerlukan dukungan dari seluruh segmen masyarakat, dan hal ini tidak berarti mengekang kebebasan wartawan.

b.   Periode 1950 – 1957.
Pada 1950, hegemoni Belanda masih mempengaruhi sistem pemerintahan di Indonesia. Pengaruh dari hasil konferensi meja bundar mengharuskan Indonesia merubah UUD 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan berbentuk liberal.
 Kondisinya pers tetap tertekan walaupun sudah ada jaminan dalam pasal 7 KRIS, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pasalnya, peraturan pelaksanaan terhadap pasal-pasal KRIS belum ada. Sementara pasal-pasal karet “hatzaai artikelen” KUHP dan Presbreidel-ordonantie 1931 masih tetap berlaku.
Meskipun berada dalam batas-batas hukum tersebut, pers Indonesia masih tetap melakukan fungsinya, namun tidak lagi semata-mata mengobarkan semangat perjuangan, tetapi sudah melaksanakan fungsi “social control” terhadap kekuasaan.
KRIS hanya bertahan satu tahun, kemudian diganti dengan UUD Sementara (UUDS) dengan menganut sistem pemerintahan parlementer yang mengadopsi sistem pemerintahan negara-negara Anglo Saxon. Perkembangan kebebasan pers pada era ini dapat dikatakan dalam keadaan baik, termasuk perkembangan fisik.
Kisaran tahun 1950 – 1953, surat kabar berkembang menjadi 75 penerbitan dengan oplah 630.000 eksemplar. Pada saat ini mulai terbit surat kabar partai politik dan surat kabar partisan. Satu tonggak sejarah bagi kebebasan pers pada era Kabinet Parlementer ini adalah dicabutnya Presbreidel-ordonantie - 1931 dengan UU No. 23 Tahun 1954, karena bertentangan dengan pasal 19 juncto 33 UUDS
Terjadinya perubahan kabinet sebanyak 6 kali, tidak lepas dari pengaruh pers kala itu. Kadang kala, disamping berhadapan dengan parlemen dan kabinet, dikalangan pers tidak jarang terjadi polemik, terutama antara surat kabar partai/partisan yang memerintah dengan surat kabar yang menempatkan diri sebagai oposisi.
Hal ini ditegaskan Hanif, bahwa masing-masing media atau institusi pers tersebut memiliki ikatan primordial atau ikatan ideologis dengan partai-partai tertentu. Dan keterlibatan pers -- seperti kelompok masyarakat lainnya – dalam kehidupan kenegaraan, bukan dalam konteks partisipasi yang demokrtis, akan tetapi partisipasi yang oligarkis
Bagitu juga Maskun. Dia berpendapat bahwa pers pada masa itu dijadikan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai politik (Parpol) atau dengan sebutan lain pers partisan. Dengan menganut sistem pemerintahan parlementer dan menjunjung demokrasi liberal, maka membidani lahirnya banyak Parpol. Eksistensi parpol menjadi taruhan dan banyak Parpol membidani lahirnya media sebagai corong mereka.

c.    Periode1957 -  1965
Status Negara dalam keadaan bahaya diberlakukan Presiden Soekarno di seluruh Indonesia pada tanggal 14 Maret 1957. Kebijakan itu terkait pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi. Pada Juli 1957, presiden mengumumkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek sebagai Haluan Negara. Periode ini dikenal dengan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin dan menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter.
Lantas bagaimana pers. Kedudukan serta fungsinya alat propaganda penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi Terpimpin. Pers yang bertentangan dan bersuara lantang dibungkam. Berbagai batasan dilakukan, diantaranya melakukan sensor atas infromasi ke luar negeri. Jack Russel, koresponden United Press dikecam penguasa, karena United Press mengkritik Sukarno sebagai pimpinan otoriter yang semakin dekat dengan Komunis. Selama tahun 1957, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap tindakan anti pers oleh penguasa yang secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers.
Pada tahun 1958, Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan aturan bagi seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin Terbit). Tanggal 1 Oktober 1858, dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, akan tetapi harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa alasan hukum yang jelas. Bahkan, Muchtar Lubis sebagaimana dikutip Smith, Edwar C dalam bukunya Sejarah Pembredelan Pers Di Indonesia, mengatakan sejak 1 Oktober 1958, sejarah pers Indonesia memasuki periode hitam.
Sejak itu, tindakan Paperada juga diikuti Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). bahwa seluruh penerbitan suratkabar dan majalah di seluruh Indonesia wajib memiliki SIT. Pada tahun 1960, secara resmi Menpen melegalisasikan ketentuan tentang SIT ini dan untuk mendapatkan SIT, semua penerbitan harus menanda tangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan. Pernyataan tersebut adalah janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah yang berupa ancaman seandainya mereka diberi SIT.
Menurut Hanif, hal ini dilakukan oleh penguasa untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi. Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan pembredelan pers yang tidak sepaham dengan kekuasaan.  Beberapa suratkabar yang dicabut SIT-nya oleh Menpen sebagai konsekuensi dari janji tersebut, antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, Star Weekly. Sedangkan Harian Abadi menghentikan penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut.
Pembatasan terhadap kebebasan pers terus dilakukan pemerintah melalui Menteri Penerangan yang mewajibkan surat kabar di seluruh Indonesia berafiliasi dengan parpol atau ormas. Saat itu tidak kurang 80 surat kabar di Indonesia berafiliasi ke sembilan parpol, ormas dan Panca Tunggal (pemerintah). Hal ini berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan surat kabar apabila tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Pemberlakuan aturan tersebut menunjukan telah terjadinya pengingkaran terhadap pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli 1959.
Periode ini, kedudukan dan fungsi pers dikategorikan sebagai pers paprtisan. Pers dijadikan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai politik. Eksistensi parpol menjadi taruhan dan banyak Parpol membidani lahirnya media sebagai corong mereka.

d.   Periode Orba (1965 – 1998).
Seperti yang dikatakan AM. Dewabrata, Pemerintah  Soeharto sangat ketat mengontrol kebebasan pers. Bila mereka bernada keras dianggap melawan pemerintah. sewaktu-waktu pemerinta bisa saja membredel Koran.
Masa ini, Orde baru mulai berkuasa. Pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi. Pemerintah Soeharto mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Berlakunya aturan itu pada tahun 1973, berdampak terputusnya hubungan Parpol dan organisasi massa (Ormas) dengan pers sehingga pers tidak lagi mendapat suntikan dana dari Parpol.
Sementara Hanif berbeda. Ia membagi kebebasan pers periode ini atas dua kategori. Pertama  yakni Periode Tahun 1966 – 1974 sebagai Pra Malari (Malapetaka Januari 14 dan 15 Januari 1974).
Periode ini terjadi transisi pusat kekuasaan dan kondisi saat itu kacau. Adanya gerakan 30 September atau yang dikenal dengan G.30S PKI pada tahun 1965 merupakan the turning point dari sistem pemerintahan otoriter demokrasi terpimpin.
Secara de facto maupun de jure Soekarno masih memiliki kekuasaan yang cukup besar, sementara tuntutan mahasiswa dan rakyat melalui demonstrasi massa dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tri Tura), yaitu (1) Bubarkan PKI, (2) Turunkan harga, dan (3) Bubarkan Kabinet 100 Menteri (bentukan Soekarno), semakin berlanjut, yang menyebabkan sistim pemerintahan tidak berjalan.
Angkatan Darat yang merasa dirugikan oleh pemberontakan Komunis, melakukan berbagai perlawanan terhadap rezim Soekarno. Dalam membentuk opini publik, pihak Angkatan Darat menerbit­kan surat kabar harian Berita Yudha dengan tugas utama menguman­dangkan Pacasilais dan perjuangan ABRI khususnya AD. Dikelompok mahasiswa menerbitkan Harian KAMI dalam memobilisir gerakan mereka yang terkenal dengan “Gerakan Ganyang PKI”.
Subandrio sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam kabinet 100 menteri bentukan Sukarno, memahami betul betapa ampuhnya media massa dalam membentuk opini. Maka dari itu, pada akhir 1966 ia memerintahkan sepasukan Cakrabirawa ke beberapa kantor percetakan surat kabar di Jakarta  dan melarang surat kabar tersebut dicetak.
Pada masa ini, ternyata pers di Indonesia tidak saja mengalami tekanan terhadap content media tetapi juga mengalami tekanan fisik berupa penyerangan dan intimidasi, sebagaimana halnya yang pernah dialami pers saat revolusi fisik oleh NICA dan Sekutu.
Kebebasan pers kembali ke alam demokrasi disaat Kolonel Soeharto “mengantongi” Surat Perintah 11 Maret 1966. Soeharto menyatakan partai Komunis sebagai partai terlarang di Indonesia. Langkah awal membersihkan orang-orang Komunis yang ada pada penerbitan pers. Salah satunya menutup Kantor Berita Antara selama 10 hari untuk membersihkan karyawan yang terlibat partai komunis.
Pers saat itu bahu-membahu dengan Angkatan Darat dan mahasiswa dalam membersihkan partai komunis di Indonesia. Era ini, terjadi ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah dan tonggak sejarah kebebasan pers karena pemerintah memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap kritikan dan melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang pada pasal 4 tegas mengatur bahwa terhadap pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan.
Pemerintah kala itu menitik-beratkan memperbaiki perekonomian Negara. Banyak modal asing masuk ke Indonesia. Efek negatifnya, terjadi korupsi dimana-mana. Banyak kebijakan pemerintah tidak populis. Beragam kritikan pun dialamatkan ke pemerintah. akhirnya, hubungan ini mulai meruncing.
Keberanian pers membongkar masalah sosial, masalah pemerintahan / kekuasaan dan korupsi di kalangan pemerintah, mengindikasikan bahwa pada era ini pers Indonesia menganut paham Libertarian, yang menempatkan manusia tidak targantung kepada kekuasaan dan tidak perlu dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu sendiri merupakan hak azasi.
Akibatnya, pemerintah mereduksi kebebasan pers karena dianggap terlalu bebas. Maka, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1970 yang mempertegas keberadaan Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan PP No.5 Tahun 1967, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No.11 Tahun 1966. Salah satu wewenang Dewan Pers adalah Memberi pertimbangan kepada Badan / Instansi Pemerintah  lainnya, mengenai kebijakan penindakan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar UU No.11 Tahun 1966 Pasal 3 Ayat (3).
   Hal ini menjadi kontroversial dalam implementasi kebebasan pers di Indonesia, karena saran dan pertimbangan Dewan Pers digunakan penguasa sebagai justifikasi terhadap berbagai tindakan yang dilakukan dalam menekan kebebasan pers di Indonesia. Dan ini mengingkari pasal 4  - UU No.11 Tahun1966 dan pasal 28 UUD 1945.
Pasca Malari , 1974 – 1998. Peristiwa Malari merupakan koreksi atas kebijakan politik dan ekonomi terhadap pemerintahan Orde Baru setelah 12 tahun berkuasa. Kebijakan pintu terbuka terhadap modal asing, yang saat itu didominasi oleh pengusaha Jepang, telah dapat meningkatkan ekonomi Indonesia setelah terpuruk lama.
Namun demikian, negatifnya membuka kesempatan bagi pejabat pemerintah melakukan korupsi dan menerima suap terutama dari pengusaha Jepang. Peristiwa Malari tanggal 14 – 15 Januari 1974, diawali dengan penolakan mahasiswa atas kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka.
Tentang hal ini pada tanggal 29 Desember 1973 surat kabar Pedoman sebagaimana yang dikutip Togi Simanjuntak dalam bukunya Wartawan Terpasung – Intervensi Negara di Dalam Tubuh PWI menyebutkan Kalau dewan-dewan mahasiswa menyatakan menolak kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta tanggal 14 sampai 17 Januari nanti, maka niscaya adalah satu alasan latar belakangnya ialah sikap ‘anti Jepang’ karena menurut hemat generasi muda, Jepang melalui investasi modalnya menguras kekayaan dan sumber alam negeri ini, selanjutnya membikin jiwa beberapa pejabat negara menjadi korup melalui pemberian.
Peristiwa itu dijadikan salah satu justifikasi oleh rezim Orde Baru untuk melakukan penekanan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Hal ini dimanifestasikan dalam bentuk pembredelan surat kabar yang dikenal dengan ‘pembrangusan’, yaitu  mencabut Surat Izin Terbit sekaligus Surat Izin Cetak yang dikeluarkan  oleh Laksus Pangkopkamtib.
Surat kabar yang dibredel tidak hanya yang terbit di Ibukota Negara Jakarta, tetapi juga surat kabar penerbitan pers pada beberapa kota besar lainnya.  Beberapa suratkabar yang dicabut SIT maupun SIC antara lain harian: Nusantara, Kami, Indonesia Raya, The Jakarta Times, Wenang, Pemuda Indonesia, Pedoman, dan majalah mingguan Ekspres, (Jakarta), harian Suluh Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang).
Langkah penguasa selanjutnya adalah memangkas demokrasi secara luas, seperti memberla­kukan wadah tunggal dan fusi terhadap beberapa parpol. Pemerintah mengeluarkan dua ketentuan berupa Keputusan Menpen tentang pengukuhan PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan penerbit pers, serta pengukuhan Serikat Penerbit Surat Kabar sebagai satu-satunya organisasi percetakan pers.
Disisi lain, pemerintah juga masih membutuhkan dukungan media massa atau yang biasa disebut partisipasi aktif masyarakat daam pembangunan. Media berperan sebagai alat propaganda pemerintah. Hal itu dimanifestasikan dalam bentuk bantuan dan fasilitas dengan syarat tidak boleh menyinggung keluarga Soeharto, Dwi Fungsi ABRI dan SARA.
Kemudian, di awal tahun 1980-an, pasca Malari, pemerintah mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung jawab yang diadopsi dari Social Responsibility Theory of The Press.  Dinegara asalnya, teori ini muncul atas reaksi terhadap enam tugas pers dari The Libertarian Theori yang sangat bebas dan terlalu terbuka sehingga kebebasan melupakan etika. Hal ini dikemukakan Komisi Kebebasan Pers Amerika dalam A Free and Responsibility Press (1947) dan William E.Hocking dalam bukunya Freedom of the Press: A Framework of  Principle (1947). Walaupun secara umum keduanya menerima keenam tugas pers menurut teori tradisional (Libertarian), akan tetapi teori ini tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan pelaksana media.
Penerapan teori ini memunculkan masalah. Ada perbedaan persepsi tentang bebas dan bertanggung jawab. Bebas sesuai kaidah jurnaliskah atau pemerintah. Begitu juga pengertian bertanggung jawab. Pers bertanggung jawab kepada siapa. Apakah kepada pembaca yang membutuhkan keterbukaan informasi atau pemerintah dengan pendekatan keamanan (security approach).
 Tidak adanya batasan hal tersebut ternyata dimanfaatkan pemerintah untuk mengukung kemerdekaan pers. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur tentang kehidupan pers, sebagai perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 dan Undang-undang No.4 Tahun 1967.
Tindak lanjut dari undang-undang itu, pemerintah melalui Menpen juga mengeluarkan Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP) yang menurut versi pemerintah merupakan penjabaran atas UU Nomor 21 tahun 1982. Aturan ini dimanifestasikan pembredelan atau istilah lain pencabutan SIUPP.
Cara lain yang dilakukan yakni melalui himbauan pejabat pemerintah atau lebih tepat dikatakan sebagai larangan untuk tidak memuat suatu fakta yang menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Himbauan dilakukan antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui telpon oleh pejabat ke dewan redaksi. Hal terakhir ini oleh berbagai pihak dikatakan sebagai berkembangnya dengan subur ”budaya telpon” di kalangan pejabat
Beragam tekanan inilah akhirnya membawa kondisi yang sangat memprihatinkan bagi pers. Kontent berita menjadi mandul, media melakukan self censorship daripada mendapat teguran dari pemerintah. Pers kehilangan kemerdekaannya dan terkesan tiarap ditengah represipnya tindakan pemerintah.
Apalagi pasal 28 UUD 1945 ditafsirkan meyimpang dari esensi maksudnya dan pers yang telah berhasil dijinakkan penguasa. Kondisi ini menyebabkan pers tiarap, menggunakan jurnalisme kepiting, pemberitaan pers cenderung bergaya euphimisme dalam menyampaikan kritik, dan pers menjauhi kawasan terbatas.” Kritik tidak sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat.
Pada rezim Orde Baru ini, tercatat beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya, yaitu Sinar Harapan,. Prioritas, dan  majalah Tempo, Detik serta Editor. Periode ini juga melahirkan pers sebagai industri yang perkembanganya menjadi konglomerasi pers, akan tetapi dalam hal kebebasan mengemukakan pendapat sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali.
e.    Periode Reformasi (1998/1999) – sekarang
Era reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Kran kebebasan itu terbuka di zaman pemerintahan BJ. Habibie. Pemerintah mempermudah pengurusan SIUP. Sebelumnya, proses pengurusan SIUP ada 16 tahapan, pasca reformasi hanya 3 tahap saja. Bahkan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUP dicabut dan pembredelan dilarang.
Gerakan reformasi 21 Mei 1998 merupaan titik balik bagi pemerintahan Orba dan memberikan angin segar bagi kebebasan pers. Peralihan kekuasaan dari Soeharto ke B.J. Habibie yang ditindak-lanjuti oleh Yunus Yoosfiah kala itu menj abat sebagai Menpen, mencabut Permenpen No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUP); dan SK. Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 Tentang Prosedur dan Persyaratan Untuk Mendapatkan SIUPP.
Dicabutnya ketentuan ini, membuka kran sebebas-bebasnya kepada masyarakat untuk membuat perusahaan pers dan melakukan kontrol sosial. Jumlah penerbitan pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, Deppen sudah mengeluarkan 852 SIUPP baru. Pada akhir Tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia diperkirakan sudah mencapai 1800 - 2000. Wilayah penerbitan pers juga semakin meluas, tidak hanya terpusat di  ibukota negara dan kota propinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan juga memiliki surat kabar.
Di bidang kontent media, kebebasan pers dalam kondisi eforia, yang ditunjukkan dalam isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang berbeda dengan masa Orde Baru. Berbagai batas wilayah pemberitaan, yang masa Orde Baru dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini seolah-olah sirna diterpa angin kebebasan.
 Bak lepas kendali begitulah eforia pers saat itu. Bahkan tidak sedikit pula pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah menceritakan apa saja kecuali yang benar. Bila pada masa Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggung­jawab, pers Orde Habibie adalah pers yang bebas tapi tidak bertanggung jawab.[11]
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap negatif. Di satu sisi, kebebasan agar leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral.
Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan berbau seks. Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan. Terkadang informasi yang disajikan kerap melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain.
Selain itu kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi.
Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Untuk lebih jelasnya, terkait peran, fungsi, hak dan kewajiban menjalankan kebebasan pers yang bebas dan bertanggun jawab di era reformasi, akan penulis uraikan pada sub bab berikut.

C.    Peran, fungsi, hak dan kewajiban pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
Bicara periode sekarang, meskipun secara konstitusi kebebasan pers tegas diakui Negara. Bahkan secara kelembagaan, telah dibentuknya lembaga independen bernama Dewan Pers berdasarkan UU No. 40 / 1999 tentang Pers yang salah satu fungsinya melindungi kemerdekaan pers dari tangan pihak lain.
Namun nyatanya, kebebasan itu masih mengalami penjajahan. Ironinya, selain oleh penguasa, pejabat dan aparat dan  masyarakat, terkadang sebagian insan pers melakukan hal yang sama sehingga menimbulkan pandangan yang mengkerdilkan profesi jurnalis.
Hal ini bisa saja disebabkan oleh tidak adanya aturan SIUP dan pembrendelan sebagaimana  telah dihapusnya UU No. 11 Tahun 1966, UU No. 4 Tahun 1967 dan UU No. 1 Tahun 1982. Sehingga membuka kran seluas-luasnya bagi masyarakat untuk melahirkan perusahaan pers berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) undang-undang Pers. Sesungguhnya ini positif dan bentuk nyata dari kebebasan itu.
Namun, juga melahirkan perusahaan-perusahaan pers yang secara ekonomi tidak mampu membiaya kegiatan jurnalisnya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers No. 4 / Peraturan – DP / 2008 tentang Standar Perusahaan Pers angka 11 dan 12. Dan ini  juga berimbas pada tidak terjaminnya kesejahteraan wartawan yang bernaung dibawahnya.
Sehingga, tugas jurnalis yang semestinya menjunjung tinggi etika profesi sesuai Pasal 7 Ayat (2) UU Pers kerap terabaikan. Biasanya ini dilakukan wartawan-wartawan tanpa surat kabar atau wartawan bodrex. Secara tidak langsung, keberadaan perusahaan pers yang tidak bertanggung jawab itu telah merusak kebebasan yang diberikan konstitusi.
Padahal tegas dikatakan Jacoeb Oetama, tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo, Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, bahwa kebebasan pers akan lebih bermanfaat jika disertai peningkatan professional competence, termasuk didalamnya professional ethic.
Pada pasal 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa pers berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Pasal 3 Ayat (1) fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Ayat (2) menyebutkan bahwa pers dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Untuk menjalankan fungsinya, pers diberi jaminan perlindungan hukum sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) undang-undang yang sama.
Disisi lain, tidak sedikit pula insan pers mendapatkan kekerasan fisik yang berujung meninggal dunia saat ini. Contohnya, baru-baru ini, di Palembang, Sumatera Selatan.  Wartawan Sriwijaya Post, Arsep Pajario, pada 17 September 2010 mati dibunuh. Kemudian di Tuol Sulawesi Tenggara, Ridwan Salumun - reporter SUN TV menjadi korban kekerasan masa disaat meliput kerusuhan di wilayah itu.
Peristiwa yang sama juga dialami wartawan Radar Bali, Anak Agung (A.A.) Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali (Jawa Pos Group. Ia mati dibunuh lantaran mengungkapkan dugaan kasus korupsi yang dilakukan seorang anggota dewan setempat. Begitu juga dengan Muhammad Syaifullah, wartawan Kompas yang juga kepala biro Kompas di Kalimantan. Diduga mati karena tulisannya terkait persoalan lingkungan.
Selain dibunuh, ada juga mati dalam keadaan wajar. Contohnya Lukmanul Hakim dari Republika meninggal ketika sedang meliput SEA Games di Laos. Vincentia Hanni (Kompas) meninggal karena kanker. Kemudian Yan Arsil (RRI) dan Agus Sofyan (Jurnal Nasional) juga berpulang. Ketiganya mati dalam bertugas. Dan masih banyak lagi.
Jadi, kemerdekaan pers guna mewujudkan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 terjamin dan dilindungi hukum, nyatanya masih kabur.
Disisi lain, menurut Ashadi Siregar, profesi jurnalisme erat kaitannya dengan hak pihak lain. Dengan kata lain, keberadaan profesi jurnalisme pada dasarnya bertolak dari kepentingan pihak lain. Inilah yang menjadi paradigma dari profesi jurnalisme. Karenanya tindakan profesional seorang jurnalisme sesungguhnya menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari hak dan kepentingan pihak lain.
Siapa dan bagaimana kepentingan pihak lain itu ? Ini pertanyaan krusial, karena dapat menjerumuskan jurnalis kepada jawaban-jawaban pragmatis dalam menjalankan fungsi imperatif ini.
Pragmatisme politis mengacu kepada kepentingan penguasa politik. Pragmatisme komersial akan menunjuk kepada kepentingan kekuatan modal baik dunia industri maupun perusahaan media. Etika sebagai landasan moral tentunya tidak akan berurusan dengan kerangka pragmatisme semacam ini.
Perjalanan dalam sejarah profesi jurnalisme menunjukkan bahwa berkembang dari yang sifatnya yang pragmatis kepada landasan moral yang semakin filosofis. Dimulai dari acta diurna pada masa Julius Caesar yang dikeluarkan untuk kepentingan para elit politik Romawi, atau lembaran berita yang dikeluarkan oleh dan untuk para pedagang Eropa di abad 17, merupakan bentuk-bentuk produk jurnalisme yang memiliki sifat pragmatis yang melekat pada fungsi imperatifnya (Hohenberg, 1973).
Dengan genesis semacam ini profesi jurnalisme diperkembangkan, dengan landasan filosofisnya. Sehingga jurnalis tidak lagi hanya semacam hamba sahaya yang mengabdi kepada tuannya dalam mencatat isi acta diuarna, begitu pula bukan hanya sekadar jurutulis pedagang kaya di Eropa.
Lewat sejarah peradaban dunia dapat dibedakan secara tajam profesi jurnalisme dengan profesi kedokteran. Profesi kedokteran sejak diperkenalkan secara akademik oleh Hippokrates dari era Yunani kuno, tidak mengalami perubahan yang substansial. Sejak awalnya profesi ini sudah bertolak dari paradigma yang sama hingga di masa modern ini.
Kalaupun ada perubahan agaknya hanya melalui pendefinisian kapan dimulai dan berakhirnya kehidupan sebagai akibat perkembangan teknologi. Sedang penghargaan yang absolut terhadap kehidupan, tetap adanya.
Profesi jurnalisme bermula dari budak belian yang memiliki keterampilan membaca dan menulis, karenanya ditugasi oleh tuannya berlari ke gedung senat untuk menyalin keputusan-keputusan dalam rapat senat yang dicatat sebagai acta diurna. Begitulah setiap kali menyebut jurnalis dan jurnalisme, mau tidak mau kita diingatkan dengan leluhurnya di Romawi kuno sana.
Baru setelah Joseph Pulitzer, juragan suratkabar World, menghibahkan dana untuk Universitas Columbia pada awal abad 20 ini, jurnalisme mulai diperkembangkan pada tingkat universiter. Dengan begitu profesi jurnalisme mulai bertegak sama halnya dengan profesi lainnya yang telah lebih dulu diasuh secara akademik.
Fungsi imperatif yang melekat pada profesi jurnalisme tidak mungkin hilang. Masalahnya hanya memilih sumber acuan dari fungsi tersebut. Dapat berupa acuan kepentingan pragmatisme politis atau komersial seperti pada masa lalu. Tetapi dengan perkembangan filsafat jurnalisme, fungsi imperatif profesi jurnalisme pada era modern, bertolak dari moral sosial yang mengatasi kepentingan pragmatis. Adapun landasan moral bagi profesi ini tidak dapat terlepas dari moral sosial yang melingkupinya.
Dengan demikian sebelum memasuki norma moral profesi jurnalisme, perlu dilihat moral sosial yang menjadi dasarnya. Pembicaraan tentang moral sosial biasanya mengarah pada dua aspek, apakah moral deskriptif yang bersifat relatif ataukah moral normatif yang bersifat absolut.
Sebagai ilustrasi, moral deskriptif relatif dapat dilihat dari anutan penduduk Mekah di jaman jahiliyah, yang menganggap anak perempuan tidak berharga dibanding anak laki-laki, karenanya dapat dibunuh sewaktu bayi.
Sementara Nabi Muhammad membawa moral normatif absolut yang menghargai kehidupan manusia, termasuk bayi perempuan. Saat moral normatif absolut diperkenalkan, kaum jahiliyah menentangnya dengan dalih bahwa mereka sudah punya nilai moral sendiri.
Antara moral deskriptif relatif dengan normatif absolut dapat saja berbeda. Tetapi dalam sejarah peradaban manusia, setiap kali nilai lokal dijadikan dasar untuk menentang nilai normatif absolut, selalu dapat dilihat posisi inferior dari nilai deskriptif relatif tersebut. Sifat kejahiliyahan terkandung dalam norma deskriptif relatif manakala dihadapkan dengan norma normatif absolut.
Moral sosial yang menjadi acuan moral profesi jurnalisme adalah penghargaan atas hak HAM. Fungsi imperatif dari profesi jurnalisme adalah untuk memenuhi moral sosial ini. Dengan kata lain, hak yang dipunyai jurnalis sesungguhnya tidaklah berupa licentia yang otonom, melainkan untuk memenuhi hak yang bersifat azasi dari manusia. Karenanya dalam peradaban modern, fungsi imperatif profesi jurnalisme bertolak dari dorongan filosofis yang bersifat fundamental ini (lihat: Hardjowirogo, 1984; Nickel, 1987).
Karananya kebebasan pers hanya bermakna jika berkait dengan salah satu dimensi hak azasi manusia, yaitu hak manusia untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Untuk itu basis dari keberadaan profesi jurnalisme dan kebebasan pers, tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari norma kehidupan umat manusia pada abad 20 ini.
Bertolak dari norma inilah peradaban dunia dibangun, setelah berakhir Perang Dunia II yang telah memporak-porandakan kehidupan umat manusia di satu pihak, tetapi sekaligus memberi peluang bagi kebebasan sejumlah bangsa yang diperbudak oleh negara asing. Abad 21 akan dimasuki dengan fundamen norma sosial yang berasal dari akhir PD II tersebut.
Pelajaran tentang etika profesi jurnalisme tidak dapat dilepaskan dari pemahaman atas sejumlah norma yang terkandung mulai dari United Nation (UN) Charter (Piagam PBB) yang dilahirkan tahun 1945. Jika UN Charter berkaitan dengan kesepakatan atas keberadaan negara-negara bebas dalam perdamaian, disusul kemudian dengan UN Declaration of Human Rights yang dikeluarkan tahun 1948 yang menjamin hak azasi manusia. Dan kemudian penjabaran hak azasi yang lebih spesifik dengan hak-hak dalam UN Convenant on Civil and Political Rights pada tahun 1966.
Sebagai bangsa beradab, sudah barang tentu setiap negara yang menyatakan diri sebagai anggota PBB, setelah ikut menandatangani setiap deklarasi maupun covenant yang disepakati, akan mengakui dan menghormati norma sosial tersebut.
Tetapi sikap dalam menghadapi norma ini kadang mendua, di satu pihak mengakuinya, tetapi masih diikuti dengan catatan yang berdalih. Dalih bahwa setiap bangsa memiliki normanya sendiri, sering diajukan untuk mengabaikan norma yang dicita-citakan sebagai landasan bersifat universal.
Perbedaan nilai yang terkandung dalam norma yang dinyatakan sebagai kesepakatan antar bangsa, dengan norma lokal dari suatu bangsa, perlu dijadikan titik tolak dalam mempelajari etika sosial maupun etika profesi. Kandungan nilai kejahiliyahan dan keutamaan dari suatu norma agaknya dapat dijadikan dasar dalam menilai kebaikan norma yang ada, yang bersifat normatif absolut maupun deskriptif relatif.
Kemudian adanya bahwa norma profesi jurnalisme di Indonesia harus berdasarkan norma sosial yang dianut secara khas oleh bangsa Indonesia, karenanya memiliki ciri khas sebagai Jurnalisme Pancasila atau Pers Pancasila.
Fungsi imperatif pers Indonesia yang dibentuk oleh norma sosial Pancasila tentunya dapat menjadi dasar kurikulum dalam mempelajari etika profesi jurnalisme di Indonesia. Norma ini dapat dipandang bersifat normatif absolut. Untuk itu perlu dilihat tafsir mengenai HAM dalam norma sosial ini, mengingat nilai inilah yang menjadi dasar dalam fungsi imperatif profesi jurnalisme.
Selain sumber nilai yang bersifat lokal dan spesifik bagi bangsa Indonesia, keberadaan profesi jurnalisme dapat pula dipelajari dari sumber nilai yang diterima dalam pergaulan antar bangsa sebagaimana yang termaktub dalam deklarasi HAM PBB Pasal 19 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, pasal 19.
Kata kunci dalam seluruh persoalan media adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki pendapat secara bebas. Untuk membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta – fakta yang selengkap mungkin. Dari sini diperlukan media komunikasi yang bebas, yang dapat menyampaikan informasi secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
Kebebasan pers yang menjadi landasan bagi profesi jurnalisme, tak lain sebagai bagian dari HAM warga masyarakat untuk menilai fakta dan membentuk pendapat secara bebas. Dari sini lahir suatu norma yang sangat menabukan ijin publikasi, pembredelan, sensor dan pemonopolian sumber dan informasi yang dilakukan penguasa atas media dan informasi.
Penabuan ini bukan untuk melindungi profesi media, sebab dia hanya menjalankan fungsi imperatif dari hak warga masyarakat. Ijin publikasi, pembredelan, sensor dan monopoli adalah empat tingkatan yang berasal dari kekuasaan negara maupun pemodal yang mengabaikan HAM warga masyarakat dalam memperoleh informasi dan membentuk pendapat. Ada tindakan itu sepenuhnya bersifat sepihak dari penguasa, ada yang berupa kolaborasi dengan pekerja media jurnalisme.
Ijin publikasi merupakan tindakan preventif yang menghalangi mekanisne penyampaian informasi dalam masyarakat. Dengan ijin publikasi ini penguasa negara menentukan siapa tidak dan boleh menyampaikan informasi. Hak untuk menyelenggaarakan publikasi tidak melekat kepada pengelola media, melainkan kepada warga masyarakat. Dengan ijin publikasi, negara dapat melakukan diskriminasi dalam menentukan siapa yang boleh menyelenggarakan pengolahan dan penyampaian informasi.
Sementara pemberedelan berupa pelarangan penyelenggaraan publikasi di tengah warga masyarakat, selamanya berkaitan dengan tindakan pertama. Masalah ini sangat serius dipandang dalam pergaulan internasional, karena sekaligus menunjukkan bahwa di lingkungan negara yang bersangkutan masih ada ijin publikasi. Dengan demikian setiap kali terjadi pembredelan, masyarakat dunia khususnya pengamat HAM diingatkan akan adanya ijin publikasi di negara tersebut.
Lebih jauh lagi, sensor merupakan tindakan penguasa negara dengan menghalangi warganya untuk mendapatkan media secara keseluruhan, atau bagian tertentu dari media (edisi atau informasi). Misalnya, tindakan pemerintah Singapura yang membatasi tiras majalah LN yang dapat masuk ke negara ini, atau tindakan Kejaksaan Agung menghitami bagian tertentu dari majalah LN, merupakan pelanggaran HAM. Sensor hanya dimungkinkan untuk informasi yang merusak moral sosial, semacam pornografi. Sementara informasi politik, secara internasional diasumsikan tidak berkaitan dengan moral sosial.
Tindakan keempat dipandang lebih sulit diidentifikasi yaitu monopoli media dan informasi. Ini dapat datang dari kekuasaan negara dan modal. Penguasaan atas media mewujud melalui terkonsentrasinya media pada kekuasaan tertentu, sehingga tidak menungkinkan diversifikasi pemilikan media. Tindakan ini lebih buruk lagi jika berakumulasi dengan tindakan pertama.
Monopoli dapat pula terjadi pada tingkat informasi, yaitu kecenderungan jurnalis untuk menggunakan sumber-sumber yang spesifik akibat kepentingan politik atau ekonomi. Pada media siaran, bisa terjadi berupa pemonopilian jam siaran oleh kekuatan modal. Itu sebabnya dalam etika siaran radio Amerika Serikat, ada batasan bagi sponsor tunggal.[12]
Ilustrasi di atas sekadar mengingatkan betapa masalah menopoli media dan informasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Sensitivitas pengelola media dalam menghadapi praktek monopoli, baik yang terjadi karena faktor eksternal dari kekuasaan negara dan modal maupun internal dari media sendiri merupakan bagian kesadaran etis yang sangat diperlukan.
Dengan adanya landasan moral yang berorientasi kepada HAM, jurnalis menjaga kepercayaan warga masyarakat. Jurnalis berkewajiban untuk memenuhi hak warga masyarakat, dan agar dapat menjalankan kewajibannya inilah dikenal pengakuan akan kebebasan pers.
Artinya, kebebasan pers bukan hak bagi jurnalis, tetapi kewajibannya untuk menyelenggarakan jurnalisme untuk memenuhi HAM sebagai tercantum dalam deklarasi universal hak azasi manusia.
Sering terdengar sebuah pertanyaan retoris, terutama dari penguasa. Kalau ada hak azasi, mengapa tidak dibicarakan kewajiban (tanggungjawab) azasi ?. Retorika semacam ini sangat lazim keluar dari penguasa fasis. Peradaban abad modern, hanya mengenal Hak Azasi Manusia. Tidak ada Kewajiban Azasi Manusia.
Ini sama halnya dengan Hak Hidup bagi janin dalam kandungan maupun sesudah lahir, dia memiliki Hak Azasi, tidak ada kewajiban azasinya. Sebaliknya, peradaban modern mengharuskan adanya sistem yang memiliki kewajiban (tanggungjawab) untuk menjaga dan menghormati HAM-nya si janin.
Untuk HAM yang menyentuh media dan informasi, demikian pula adanya. Setiap penguasa negara yang ikut menandatangani setiap deklarasi HAM, dengan sendirinya harus mengadakan sistem yang berkewajiban untuk menjamin terjaga dan terpeliharanya HAM tersebut.
Kalau ingin menegakkan norma deskriptif relatif yang jahilyah, tidak perlu berlindung di balik kepentingan nasional. Tidak perlu munafik, seolah-olah menerima HAM, tapi masih diembel-embeli dengan kepentingan nasional, yang notabene sesungguhnya lebih kepada kepentingan penguasa.
Dari kerangka pemikiran ini maka penyelenggaraan media massa merupakan bagian dari sistem yang berkewajiban atau bertanggungjawab dalam melaksanakan HAM di bidang informasi. Tanggungjawab jurnalis dimulai saat menghadapi fakta, sampai menyampaikan informasi. Tanggungjawab ini dalam dua dimensi, etis dan yuridis. Karenanya menerima peran sebagai jurnalis, pada dasarnya siap menerima tanggungjawab dalam menegakkan HAM-nya warga masyarakat.

 Kesimpulan dan Saran
 A.    Kesimpulan
Dilema perlindungan kebebasan pers sebagai bagian dari HAM di Indonesia dapat dilihat dari beberapa periode sebagai berikut :
1.      Periode 1945 – 1950
Periode ini pers berperan sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Pasca teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, diantaranya pers dan yang diperebutkan itu adalah peralatan percetakan.
Pada September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat. Hal itu ditandai dengan mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia.
2.      Periode 1950 – 1960.
Pada masa ini pers dijadikan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai politik (Parpol) atau dengan sebutan lain pers partisan. Dengan menganut sistem pemerintahan parlementer dan menjunjung demokrasi liberal, maka membidani lahirnya banyak Parpol. Eksistensi parpol menjadi taruhan dan banyak Parpol membidani lahirnya media sebagai corong mereka.
3.      Periode 1970.
Masa ini, Orde baru mulai berkuasa. Pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi. Pemerintah Soeharto mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Berlakunya aturan itu pada tahun 1973, berdampak terputusnya hubungan Parpol dan organisasi massa (Ormas) dengan pers sehingga pers tidak lagi mendapat suntikan dana dari Parpol.
4.       Periode 1980.
Periode ini pers semakin mendapat tekanan dari pemerintah Soeharto. Pers yang mengkritisi pembangunan dianggap melawan pemerintah. Dampaknya,  izin penerbitannya akan dibekukan. Hal itu tergambar dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 
5.      Periode 1990.
Periode ini, pers melakukan perlawan terhadap pemerintahan Soeharto. Pers mulai berani menentang pemerintah. Banyak media mengkritisi kebijakan Orde Baru. Lantaran dianggap menentang pemerintah, akibatnya, ditahun 1994, tiga majalah mingguan, diantaranya Tempo, Detik dan Editor dibredel pemerintah.
6.      Periode Reformasi (1998/1999) – sekarang
Era reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Kran kebebasan itu terbuka di zaman pemerintahan BJ. Habibie. Pemerintah mempermudah pengurusan SIUP. Sebelumnya, proses pengurusan SIUP ada 16 tahapan, pasca reformasi hanya 3 tahap saja. Bahkan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUP dicabut dan pembredelan dilarang.
Efek positif, banyak melahirkan media. Negatifnya, kontrol terhadap kebebasan pers oleh Dewan Pers lemah. Ini dapat dilihat dari maraknya media bodrex dan lembaga pers yang tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai lembaga ekonomi.
Disisi lain, kemerdekaan pers tidak sepenuhnya juga berjalan sebagaimana yang diharapkan. Faktanya masih terjadi pengekangan dalam menjalankan kebebasan menjalani tugas jurnalis. Bahkan tidak sedikit pula ditemukan wartawan yang meninggal dunia ketika tengah menjalankan tugasnya maupun akibat dari karya yang hasilkan. Dan banyak faktor lainnya.
Sistem pemerintahan presidensil dan multi partai dengan pola pemilihan umum secara langsung hingga ketingkat kepala daerah membawa media kearah pragmatis politik dan komersial. Seharusnya dalam perkembangan filsafat jurnalisme, fungsi imperatif profesi jurnalisme pada era modern, bertolak dari moral sosial yang mengatasi kepentingan pragmatis. Adapun landasan moral bagi profesi ini tidak dapat terlepas dari moral sosial yang melingkupinya.
Penulis sependapat dengan Ashadi Siregar yang menyebutkan bahwa profesi jurnalisme erat kaitannya dengan hak pihak lain. Dengan kata lain, keberadaan profesi jurnalisme pada dasarnya bertolak dari kepentingan pihak lain. Inilah yang menjadi paradigma dari profesi jurnalisme. Karenanya tindakan profesional seorang jurnalisme sesungguhnya menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari hak dan kepentingan pihak lain.
Pragmatisme politis mengacu kepada kepentingan penguasa politik. Pragmatisme komersial akan menunjuk kepada kepentingan kekuatan modal baik dunia industri maupun perusahaan media. Etika sebagai landasan moral tentunya tidak akan berurusan dengan kerangka pragmatisme semacam ini.
Perjalanan dalam sejarah profesi jurnalisme menunjukkan bahwa berkembang dari yang sifatnya yang pragmatis kepada landasan moral yang semakin filosofis. Profesi jurnalisme diperkembangkan, dengan landasan filosofisnya. Sehingga jurnalis tidak lagi hanya semacam hamba sahaya yang mengabdi kepada tuannya dalam mencatat isi acta diuarna, begitu pula bukan hanya sekadar jurutulis pedagang kaya di Eropa.
Fungsi imperatif yang melekat pada profesi jurnalisme tidak mungkin hilang. Masalahnya hanya memilih sumber acuan dari fungsi tersebut. Dapat berupa acuan kepentingan pragmatisme politis atau komersial seperti pada masa lalu. Tetapi dengan perkembangan filsafat jurnalisme, fungsi imperatif profesi jurnalisme pada era modern, bertolak dari moral sosial yang mengatasi kepentingan pragmatis. Adapun landasan moral bagi profesi ini tidak dapat terlepas dari moral sosial yang melingkupinya.
Pembicaraan tentang moral sosial biasanya mengarah pada dua aspek, apakah moral deskriptif yang bersifat relatif ataukah moral normatif yang bersifat absolut. Antara moral deskriptif relatif dengan normatif absolut dapat saja berbeda. Tetapi dalam sejarah peradaban manusia, setiap kali nilai lokal dijadikan dasar untuk menentang nilai normatif absolut, selalu dapat dilihat posisi inferior dari nilai deskriptif relatif tersebut. Sifat kejahiliyahan terkandung dalam norma deskriptif relatif manakala dihadapkan dengan norma normatif absolut.
Moral sosial yang menjadi acuan moral profesi jurnalisme adalah penghargaan atas hak HAM. Fungsi imperatif dari profesi jurnalisme adalah untuk memenuhi moral sosial ini. Dengan kata lain, hak yang dipunyai jurnalis sesungguhnya tidaklah berupa licentia yang otonom, melainkan untuk memenuhi hak yang bersifat azasi dari manusia. Karenanya dalam peradaban modern, fungsi imperatif profesi jurnalisme bertolak dari dorongan filosofis yang bersifat fundamental ini
Karananya kebebasan pers hanya bermakna jika berkait dengan salah satu dimensi hak azasi manusia, yaitu hak manusia untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Untuk itu basis dari keberadaan profesi jurnalisme dan kebebasan pers, tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari norma kehidupan umat manusia pada abad 20 ini.
Kemudian adanya bahwa norma profesi jurnalisme di Indonesia harus berdasarkan norma sosial yang dianut secara khas oleh bangsa Indonesia, karenanya memiliki ciri khas sebagai Jurnalisme Pancasila atau Pers Pancasila.
Fungsi imperatif pers Indonesia yang dibentuk oleh norma sosial Pancasila tentunya dapat menjadi dasar kurikulum dalam mempelajari etika profesi jurnalisme di Indonesia. Norma ini dapat dipandang bersifat normatif absolut. Untuk itu perlu dilihat tafsir mengenai HAM dalam norma sosial ini, mengingat nilai inilah yang menjadi dasar dalam fungsi imperatif profesi jurnalisme.
Selain sumber nilai yang bersifat lokal dan spesifik bagi bangsa Indonesia, keberadaan profesi jurnalisme dapat pula dipelajari dari sumber nilai yang diterima dalam pergaulan antar bangsa sebagaimana yang termaktub dalam deklarasi HAM PBB Pasal 19 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, pasal 19.
Kata kunci dalam seluruh persoalan media adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki pendapat secara bebas. Untuk membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta – fakta yang selengkap mungkin. Dari sini diperlukan media komunikasi yang bebas, yang dapat menyampaikan informasi secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
Dengan adanya landasan moral yang berorientasi kepada HAM, jurnalis menjaga kepercayaan warga masyarakat. Jurnalis berkewajiban untuk memenuhi hak warga masyarakat, dan agar dapat menjalankan kewajibannya inilah dikenal pengakuan akan kebebasan pers.
Artinya, kebebasan pers bukan hak bagi jurnalis, tetapi kewajibannya untuk menyelenggarakan jurnalisme untuk memenuhi HAM sebagai tercantum dalam deklarasi universal hak azasi manusia.
Dari kerangka pemikiran ini maka penyelenggaraan media massa merupakan bagian dari sistem yang berkewajiban atau bertanggungjawab dalam melaksanakan HAM di bidang informasi. Tanggungjawab jurnalis dimulai saat menghadapi fakta, sampai menyampaikan informasi. Tanggungjawab ini dalam dua dimensi, etis dan yuridis. Karenanya menerima peran sebagai jurnalis, pada dasarnya siap menerima tanggungjawab dalam menegakkan HAM-nya warga masyarakat.

B.     Saran
1.      Norma yang terkandung mulai dari United Nation (UN) Charter (Piagam PBB) yang dilahirkan tahun 1945, disusul kemudian dengan UN Declaration of Human Rights yang dikeluarkan tahun 1948 yang menjamin hak azasi manusia. Dan kemudian penjabaran hak azasi yang lebih spesifik dengan hak-hak dalam UN Convenant on Civil and Political Rights pada tahun 1966, sudah seharusnya negara dan semua pihak wajib menghormati kemerdekaan pers sebagai bagian dari HAM.
2.      Implementasi pelaksanaan perlindungan kebebasan Pers yang telah diadobsi dalam Pasal 28F Undang – undang Dasar 1945 dan dikuatkan dengan Undang – undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers kerap tidak sesuai dengan semangat yang diharapkan. Negara sebagai penjamin kebebasan pers sebagai bagian dari HAM harus kembali menegaskan posisinya sebagai mitra – bagian dari empat pilar demokrasi – bukan sebagai penguasa.
3.      Perlu adanya perevisian Undang  - undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terkait peran Dewan Pers, lembaga / perusahaan pers, dan kegiatan jurnalis yang layak dilindungi serta sanksi yang lebih berat bagi pihak – pihak yang melanggar ketentuan itu.
4.      Kemudian, perlu dibuat klasifikasi yang jelas terkait status lembaga / perusahaan pers dan kegiatan jurnalistik yang patut dilindungi undang – undang pers sehingga dapat meminimalisir keberadaan media atau wartawan bodrex yang selama ini sangat menganggu, bertindak diluar etika profesi jurnalistik dan memanfaatkan kebebasan pers untuk kepentingan pribadi / kelompoknya.
5.      Perlu dibuatkan sanksi yang keras bagi pejabat negara, aparat dan lain – lainnya, yang sengaja melakukan tindakan kekerasan atau merampas kebebasan pers dalam bentuk lain, baik kepada lembaga pers maupun wartawannya. Begitu juga upaya yang membatasi hak untuk mendapatkan informasi, berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
6.      Perlu adanya pembinaan secara berkala baik dari Dewan Pers maupun perusahaan pers terhadap insan pers yang bernaung didalamnya dengan tujuan agar kegiatan jurnalistik dilakukan dengan menghormati dan menjunjung etika profesi jurnalistik. Karena seluruh persoalan media adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki pendapat secara bebas. Untuk membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta – fakta yang selengkap mungkin. Dari sini diperlukan media komunikasi yang bebas, yang dapat menyampaikan informasi secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
7.      Perlu adanya penanam nilai – nilai yang menjadi landasan moral yang berorientasi kepada HAM, jurnalis menjaga kepercayaan warga masyarakat. Jurnalis berkewajiban untuk memenuhi hak warga masyarakat, dan agar dapat menjalankan kewajibannya inilah dikenal pengakuan akan kebebasan pers. Artinya, kebebasan pers bukan hak bagi jurnalis, tetapi kewajibannya untuk menyelenggarakan jurnalisme untuk memenuhi HAM sebagai tercantum dalam deklarasi universal hak azasi manusia.
8.      Penyelenggaraan media massa merupakan bagian dari sistem yang berkewajiban atau bertanggungjawab dalam melaksanakan HAM di bidang informasi. Tanggungjawab jurnalis dimulai saat menghadapi fakta, sampai menyampaikan informasi. Tanggungjawab ini dalam dua dimensi, etis dan yuridis. Karenanya menerima peran sebagai jurnalis, pada dasarnya siap menerima tanggungjawab dalam menegakkan HAM-nya warga masyarakat.







Daftar pustaka

Anonim, Undang – undang Dasar 1945, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------, Undang – undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------, Peraturan Dewan Pers No. 3 / Peraturan – DP / III / 2008 tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------, Peraturan Dewan Pers No 6 / Peraturan – DP / V / 2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers No. 03 / SK – DP / III / 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
 ----------, Piagam Palembang tentang Kesepakatan  Perusahaan Pers Nasional, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------, Panduan Jurnalistik Praktis, Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers, Jakarta, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
A.M. Dewabrata, Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita, Jakarta, Kompas 
Suranto, Hanif, et.al, Pers Indonesia Pasca Suharto¸ Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Aliansi Jurnalistik Indonesia, 1999, 
Hanif Hoesin, balitbang.depkominfo.go.id
Ashadi Siregar, Prospek Perkembangan Pers Dalam Perkembangan Demokrasi, ashadisiregar.files.wordpress.com/.../kebebasan-pers-pengembangan-demokrasi.pdf
Ashadi Siregar, Kebebasan Pers dan Pengembangan Demokrasi, ashadisiregar.files.wordpress.com/.../kebebasan-pers-pengembangan-demokrasi.pdf
Ashadi Siregar, Makalah disampaikan dihadapan Dewan Pers, Departemen Penerangan RI, Yogyakarta, 26 Mei 1999.



[1] Lihat Panduan Jurnalistik Praktis, Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, Jakarta, 2010, Hal 5.
[2] Ibid, Hal 5 – 6.
[3] Ibid, Hal 6.
[4] Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo, Jakarta, 2010, Hal vii.
[5] Op cit, Hal 5.
[6] Op cit, Hal 6 – 7.
[7] Asmadi Siregar, dalam makalahnya yang disampaikan pada Sidang Dewan Pers , Departemen Penerangan RI, Yogyakarta 26 Mei 1999.
[8] Op cit, Hal 6 – 7.
[9] A. M. Dewabrata, Kalimat Jurnalistik – Panduan Mencermati Penulisan Berita, Kompas Media Nusantara, Jakarta 2004, Hal ix.
[10] Op cit, Hal 9 – 10.
[11] Hanif Hosein dalam tulisan makalahnya berjudul Selintas Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia.
[12] Ashadi Siregar, loc cit.

1 komentar:

Unordered List

Sample Text

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Facebook

Translate

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Recent

Popular Posts

Recent Posts

Responsive Ads Here
Selamat Datang di Blog Pribadi Saya. Terima kasih atas kunjungan Anda. Silahkan sampaikan komentar, kritik, serta saran Anda pada bagian yang telah Saya sediakan.

Text Widget