BAB I
Pendahuluan
A.
Sejarah
Pers
Sekitar 3.400 tahun yang lalu, di
Mesir, Kaisar Amenhotep III (1405 – 1367 SM) merobak sistem pemerintahan,
diantaranya membuka cara baru jalur komunikasi.
Kaisar yang naik tahta diusia 15 tahun itu, mengutus ratusan “wartawan”
membawa “surat berita” untuk seluruh
pejabat ke semua Provinsi . Tindakan ini
dianggap cikal bakal lahirnya jurnalistik.
Lislie G. Moeller dari Universitas
Lowa Amerika Serikat dalam tulisan ensiklopedi berjudul The New
Book of Knowledge, meskipun tidak menjelaskan secara rinci perihal diatas, akan tetapi, adanya berita tertulis
yang disampaikan oleh utusan raja kepada pejabatnya dianggap ada kesamaan
dengan profesi wartawan.
“……..,
mungkin karena ada berita tertulis yang disampaikan oleh utusan raja kepada para pejabat diseluruh negeri.
Jadi, ini ada kesamaan dengan profesi wartawan sekarang dan ini terjadi
dinegara yang memiliki peradaban tinggi dimasa silam yang sangat jauh.”[1]
Pada masa Sriwijaya dan Majapahit,
utusan itu disebut penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman
dari raja kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi
tempat ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong.
Sementara, pada kekaisaran Romawi,
2500 tahun lalu, setiap peristiwa penting sehari-hari seperti penobatan,
kunjungan tamu agung dipublikasikan di papan pengumuman. Maka, munculah istilah jurnalis atau diurna yang artinya sehari-hari. Istilah
lainnya, acta diurna, acta populi
atau acta publica.
Senat pun demikian. Mereka mempublikasikan
aktivitasnya, antara lain mengenai perundang-undangan atau peraturan. Kegiatan
ini disebut acta senatus atau commentarii senates yang diprakarsai
senator Tiberius pada tahun 1 masehi.
Kala itu, ada yang bekerja sebagai
penyalin pengumuman. Salinan tersebut dijual kepada mereka yang enggan berdesak-desakan di depan papan
pengumuman atau mereka yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi. Namun, cara ini
berbeda dengan Amenhotep III dan penyeranta.
Aktifitas tersebut terus menerus
berjalan, seriring perkembangan, mengalami berbagai perubahan. Mulai dari
istilah, praktek dan bentuk penyajiannya. Selain istilah jurnalis, ada juga yang
menyebut wartawan, reporter dan pers.
Menurut P. J. Zoetmulder dalam
bukunya, Kamus Jawa Kuno – Indonesia , Istilah wartawan, berasal dari kata
sanskerta, wrtta. Artinya digerakan,
terjadi, lalu, lewat, soal, peristiwa, tindakan, tingkah laku, atau bisa juga
berarti berita. Istilah wartawan
digunakan pada masa kemerdekaan sebagai pengganti kata jurnalis pada masa zaman
Belanda.
Sementara, istilah reporter diambil dari dunia birokrat
pada abad 15. Pada waktu itu, para birokrat patut dijadikan tauladan lantaran
tulisan mereka itu rapi, jelas, bagus, jujur dan objektif. Penggunaan istilah
itu dengan maksud agar para wartawan bekerja seperti birokrat tersebut.
Sedangkan istilah pers (bahasan belanda) dan press (bahasa inggris) muncul setelah
mesin cetak ditemukan pada tahun 1450 oleh Johannes Gutenberg, warga Sungai
Rhein, Kota Mainz, Jerman. Pria itu merintis pembuatan mesin cetak sejak 10
tahun sebelumnya. Lamanya pembuatan mesin cetak itu lantaran sulitnya mendapat
jenis kayu yang tidak susah digunakan untuk mengukir huruf dan kuat untuk dipakai
mencetak banyak dan tahan ditekan berulang-ulang. Pers
atau press atinya ditekan.[2]
Awalnya mesin cetak sangat
sederhana dan hanya digunakan untuk membuat selebaran terkait suatu peristiwa. Itu
pun disebarkan dalam bentuk panflet ke kedai kopi. Penyebaran ke café, muncul,
setelah Columbus menemukan India Barat, 1492. Dalam pelayarannya, mereka
mencari emas, permata dan rempah-rempah ke Asia. Sejak itu, Eropa
berbondong-bondong mengikutinya sehingga pelabuhan ramai. Disitulah mereka bercerita dan saling bertukar
informasi.[3]
Lama – kelamaan, mesin cetak makin
canggih dan dapat mencetak banyak, misalnya mesin cetak menggunakan timah
hingga cetak off set. Makanya, baru
169 tahun, sejak mesin cetak ditemukan, muncullah surat kabar pertama di dunia.
Namanya Avisa Relation Oder Zeitung,
di Augsburg Jerman, yang secara rutin terbit mingguan sejak 15 Januari
1609. Sementara koran yang terbit tiap
harinya yakni Daily Courant di London
1702. Meskipun demikian, sebelumnya banyak juga Koran yang sudah terbit namun hilang
timbul.
Namun kehadiran pers, ibaratkan “nyamuk
yang menganggu,” khususnya bagi penguasa. Lembaga jurnalistik itu dianggap
mampu mempengaruhi opini publik. Hitam kata pers, maka hitam pula anggapan
masyarakat terhadap pemerintah. Begitu juga sebaliknya. Contohnya saja, bila
pers memberitakan bahwa pemerintah korup, tidak pro rakyat, dll. Maka
terbentuklah opini demikian. Padahal bisa saja, berita itu benar atau sebaliknya.
Begitu besarnya pengaruh pers dalam menggiring opini publik.
Mengantisipasi hal tersebut, Kerajaan
Inggris pada abad 16 memberlakukan hukum yang keras terhadap pers. Setiap berita yang hendak
diterbitkan, wajib disensor terlebih dahulu. Bahkan, agar mudah dikontrol
pemerintah, kantor penerbitannya wajib dekat istana. Parahnya lagi, bila
pemerintah menilai pers melakukan kesalahan maka hukumannya adalah pancung bagi
pimpinan redaksinya. Hukuman teringan adalah potong lidah. Sistem ini dikenal
dengan istilah autoritarian.
Di Amerika, keberadaan pers pun
mendapat tekanan dari pemerintah. pada tahun 1690, koran pertama bernama Public Onccurrences Both Foreign and
Domestic yang didirikan Benjamin Harris baru sekali terbit langsung
dibredel oleh Gubernur Massachussets lantaran dinilai kontra pemerintah.
Selain autoritarian, ada juga totalitarian.
Artinya, sistem ini lebih kepada pers sebagai alat propaganda
pemerintah. Dalam sistem ini, informasi dimonopoli oleh pemerintah. lembaga pers
berada dibawah kekuasaan pemerintah dan tidak ada pers swasta. Sistem ini berlaku di Uni Soviet.
Kemudian libertarian. Sistem ini lahir
setelah revolusi Prancis dan kemerdekaan Amerika Serikat lebih dari 200
tahun yang lalu. Dengan sistem ini, kebebasan pers dijunjung tinggi. Namun
dalam perjalannya, pers akhirnya dikuasai oleh para pengusaha. Pers telah
berkembang menjadi industri. Koran dan majalah dicetak dengan percetakan
canggih dan itu butuh modal besar. Karena penguasa memiliki modal, maka
lama-kelamaan, pengusahan menjadi
penguasa pers.
Lalu, timbul persoalan. Kepentingan
pengusahan kerap bersebarangan dengan kepentingan masyarakat. Kemanakah pers
harus berpihak. Maka munculah
sistem baru, yakni sistem tanggung jawab sosial. Disinilah pers harus bersandar
kepada kepentingan umum.
Untuk itu, dibutuhkan kemerdekaan
pers. Pasalnya, kemerdekaan pers
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat
penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat terjamin.
Kemerdekaan menyampaikan pikiran dan
pendapat sesuai hati nurani merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki (HAM). Ini diperlukan untuk
menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Namun pers sebagai wahana komunikasi, penyebar informasi dan
pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan
peranannya dengan cara-cara professional.
Seperti yang disampaikan Jacoeb Oetama,
tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo,
Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, bahwa kebebasan pers akan lebih bermanfaat
jika disertai peningkatan professional
competence, termasuk didalamnya professional
ethic.[4]
Di Indonesia, kemerdakaan pers
sesungguhnya telah diatur di dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Namun,
sejauh mana kemerdekaan itu
dilindungi apakah kemerdekaan itu berjalan sebagaimana mestinya. Hal inilah
yang akan penulisan uraikan dalam bab berikutnya
2.
Sejarah
Pers di Indonesia
Seperti uraian yang penulis sampaikan
diatas, bahwa di Indonesia, cikal bakal lahirnya jurnalistik sudah dimulai pada
masa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Para penyampai berita itu dikenal dengan
istilah penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja
kepada khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat
ramai atau mengumpulkan orang dengan memukul gong.[5]
Menurut Maskun, pengaruh jurnalis
Eropa merambah ke Indonesia berawal dari Gubernur Jenderal Belanda, Jan
Pieterszon Coen (1587 – 1629) yang bertugas di Indonesia kala itu. Ia memprakarsai
penerbitan newsletter yang dinamakan Memorie der Nouvelles, 1615. Caranya
nyaris sama dengan Amenhotep III, yakni mengirim surat yang berisi
berita-berita dari Nederland dan disebarkan dari Jakarta untuk kalangan pejabat
VOC yang tinggal jauh di Ambon.
Namun yang menerima newsletter tersebut hanya orang-orang
yang dianggap penting. Soalnya salinan surat tersebut terbatas yakni hanya 30
eksemplar. Pada masa itu di Indonesia belum ada mesin cetak, mesin stensil,
apalagi mesin fotokopi dan faks, sehingga salinan harus ditulis tangan. Jadi,
tidak mungkin menulis lebih banyak dari itu.
Pada 7 Agustus 1744, dicetaklah
surat kabar pertama di Indonesia, Bataviasche
Nouvelles en Politique Rainsonnementen (Berita dan Penalaran Politik
Batavia) dalam bentuk kertas folio. Sebenarnya, keinginan menerbitkan Koran
saat itu banyak mendapat hambatan dari pemerintah VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie, Perkumpulan Dagang India Timur). [6]
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo
dalam bukunya Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, keinginan
untuk menerbitkan Koran baru terwujud setelah Jenderal Gustaaf Willem Baron van
Imhoff memimpin VOC. Penerbit surat
kabar pertama di Indonesia yakni Jans Erdmans Jordens dengan izin kontrak
selama tiga tahun pada tahun 1744.
Namun keberadaannya langsung
dibredel oleh Pimpinan VOC di Belanda, 1745. Lantaran perjalanan laut Belanda –
Indonesia memakan waktu 7 bulan, surat larangan itu baru sampai pada 20 Juni
1746. Dan Koran itu hanya sempat beredar selama 2 tahun.
Seperti halnya pers dunia,
kebebasan pers di Indonesia juga mengalami pasang surut. Berbagai sengketa dan
penindasan menjadi ciri khas hubungan pers dengan pihak berwenang di Indonesia.
Penguasa melakukan kontrol ketat terhadap pers mulai dari izin, regulasi,
sensor, swasensor, interogasi, penahan, pengasingan hingga pembredelan. Bahkan
pers juga mengalami kekerasan secara fisik dalam menjalankan tugas-tugas
jurnalistiknya dilapangan.
3.
Fungsi
dan Peran Pers
Awalnya norma yang mengakui adanya kebebasan pers sebagai bagian dari HAM
dimulai dari keberadaan
United Nation (UN) Charter (Piagam
PBB) yang dilahirkan tahun 1945. Jika UN Charter berkaitan dengan
kesepakatan atas keberadaan negara-negara bebas dalam perdamaian, disusul
kemudian dengan UN Declaration of Human Rights yang dikeluarkan tahun
1948 yang menjamin hak azasi manusia. Dan kemudian penjabaran hak azasi yang
lebih spesifik dengan hak-hak dalam UN Convenant on Civil and Political
Rights pada tahun 1966.
Sebagai bangsa beradab, sudah barang
tentu Indonesia yang menyatakan diri
sebagai anggota PBB, setelah ikut menandatangani setiap deklarasi maupun
covenant yang disepakati, akan mengakui dan menghormati norma sosial tersebut.
Tetapi sikap dalam menghadapi norma ini
kadang mendua, di satu pihak mengakuinya, tetapi masih diikuti dengan catatan
yang berdalih. Dalih bahwa setiap bangsa memiliki normanya sendiri, sering
diajukan untuk mengabaikan norma yang dicita-citakan sebagai landasan bersifat
universal.
Perbedaan nilai yang terkandung dalam
norma yang dinyatakan sebagai kesepakatan antar bangsa, dengan norma lokal dari
suatu bangsa, perlu dijadikan titik tolak dalam mempelajari etika sosial maupun
etika profesi. Kandungan nilai kejahiliyahan dan keutamaan dari suatu norma
agaknya dapat dijadikan dasar dalam menilai kebaikan norma yang ada, yang
bersifat normatif absolut maupun deskriptif relatif.
Dengan adanya
anggapan bahwa norma profesi jurnalisme di Indonesia harus berdasarkan norma
sosial yang dianut secara khas oleh bangsa Indonesia, karenanya memiliki ciri
khas sebagai Jurnalisme Pancasila atau Pers Pancasila.
Maka Fungsi
imperatif pers Indonesia yang dibentuk oleh norma sosial Pancasila tentunya
dapat menjadi dasar kurikulum dalam mempelajari etika profesi jurnalisme di
Indonesia. Norma ini dapat dipandang bersifat normatif absolut. Untuk itu perlu
dilihat tafsir mengenai HAM dalam norma sosial ini, mengingat nilai inilah yang
menjadi dasar dalam fungsi imperatif profesi jurnalisme.
Selain sumber nilai yang bersifat lokal
dan spesifik bagi bangsa Indonesia, keberadaan profesi jurnalisme dapat pula
dipelajari dari sumber nilai yang diterima dalam pergaulan antar bangsa. Untuk
itu dapat disimak kutipan berikut ini:
Deklarasi
Hak Azasi Manusia PBB, pasal 19:
Setiap orang berhak atas kebebasan
memiliki dan menyatakan pendapat; hak ini meliputi kebebasan memiliki pendapat
tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima dan ikut ambil bagian dalam
kegiatan informasi dan gagasan melalui setiap macam media dan tanpa memandang
batas wilayah.
Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, pasal 19:
1.
Setiap orang mempunyai
hak untuk mempunyai pendapat tanpa gangguan.
2.
Setiap orang mempunyai
hak akan kebebasan menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan gagasan apa pun, tanpa
memandang batas-batas, baik secara lisan, melalui tulisan ataupun cetakan,
dalam bentuk seni, atau melalui media lain menurut pilihannya.
3.
Pelaksanaan hak-hak
yang disebut dalam ayat 2 pasal ini membawa kewajiban-kewajiban dan
tanggungjawab khusus. Oleh karena itu,pelaksanaan hak-hak tersebut bisa dikenai
pembatasan-pembatasan tertentu, tertapi pembatasan-pembatasan ini hanya
diperkenankan sepanjang ditetapkan dalam undang-undang dan perlu:
a)
Untuk menghormati
hak-hak dan nama baik orang lain;
b)
Untuk melindungi
keamanan nasional dan ketertiban umum (ordrepublic), atau kesehatan masyarakat
dan kesusilaan.
Kata
kunci dalam seluruh persoalan media adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki
pendapat secara bebas. Untuk membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta –
fakta yang selengkap mungkin.
Dari
sini diperlukan media komunikasi yang bebas, yang dapat menyampaikan informasi
secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan fakta-fakta
selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi warga masyarakat untuk
membentuk pendapatnya.[7]
Oleh karena itu, kemerdekaan
pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat
penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 terjamin.
Kemerdekaan menyampaikan pikiran dan
pendapat sesuai hati nurani merupakan hak yang sangat hakiki. Ini diperlukan
untuk menegakan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun pers sebagai wahana komunikasi, penyebar
informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak,
kewajiban dan peranannya dengan cara-cara professional.
Menurut
Jacoeb Oetama, tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga
Pers DR. Soetomo, Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, mengatakan kebebasan pers
akan lebih bermanfaat jika disertai peningkatan professional competence, termasuk didalamnya professional ethic.
Menurut Ashadi Siregar, dalam
makalahnya yang disampaikan pada Sidang Dewan Pers,
Departemen Penerangan RI, Yogyakarta 26 Mei 1999, bahw profesi jurnalisme, terkait dengan hak
pihak lain. Dengan kata lain, keberadaan profesi jurnalisme pada dasarnya
bertolak dari kepentingan pihak lain. Inilah yang menjadi paradigma dari
profesi jurnalisme. Karenanya tindakan profesional seorang jurnalisme sesungguhnya
menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari hak dan kepentingan pihak lain
Sementara pada
pasal 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan pers berasaskan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Pasal 3 Ayat (1)
fungsi pers adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol
sosial. Ayat (2) menyebutkan bahwa pers dapat berfungsi sebagai lembaga
ekonomi. Untuk menjalankan fungsinya, pers diberi jaminan perlindungan hukum
sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan (4) undang-undang yang sama.
Merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang
– undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
jelas menyebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada kita
dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakan
anugerah- Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlndungan madan martabat manusia.
Pasal 1 angka 6 juga
menyebutkan bawah pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan sesorang atau
sekelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disegaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan / atau mencabut HAM sesorang atau
kelompok orang yang dijamin UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatrkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan hukum
yang berlaku.
Aspek hukum lainnya yang
mengakui kemerdekaan pers sebagai bagian dari HAM, juga dimulai abad ke 7 di
Madinah yang dilebih dikenal Piagam Madinah. dari Inggris dengan piagam magna charta pada tahun 1215.
B.
Permasalahan
Meskipun secara
hukum kebebasan pers diakui dunia dan dilindungi oleh negara, di jamin dalam
konstitusi dan undang – undang, namun perlakuan yang didapat oleh insan pers
tidak demikian. Masih ditemukan pengingkaran terhadap norma hukum dimaksud. Bahkan
tidak sedikit pula yang mengalami kekerasan secara pisik yang mengakibatkan
hilangnya nyawa insan pers dalam menjalani tugas jurnalistiknya.
Pertanyaan yang
muncul adalah sejauh mana kemerdekaan itu dilindungi
dan apakah pers dalam menjalankan fungsi serta perannya sudah sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Hal ini pula yang
membuat penulis tertarik untuk menuliskan makalah yang berjudul “Perlindungan Kebebasan Pers Sebagai Bagian Dari HAM Ditinjau Dari Aspek Hukum.”
C.
Tujuan dan manfaat
penulisan
1.
Tujuan penulisan
a.
Untuk melengkapi tugas
mata kuliah
b.
Sebagai sumbangan
pemikiran yang bersifat ilmiah, khusus dibidang perlindungan kebebasan pers sebagai bagian dari HAM serta peran,
fungsi, hak dan kewajiban lembaga pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang
bertanggung jawab.
2.
Manfaat penulisan
a.
Menambah pengetahuan
penulis khususnya dibidang
perlindungan kebebasan pers sebagai bagian dari HAM serta peran,
fungsi, hak dan kewajiban lembaga pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang
bertanggung jawab..
b.
Menambah pengetahuan
dan pengalaman penulis dalam membuat karya ilmiah
D.
Pendekatan
Pendekatan yang
dilakukan dalam penulisan ilmiah ini yakni yuridis normatif dan sejarah hukum dalam bingkai fisalaf hukum.
E.
Sumber Data
Data kepustakaan
terdiri dari
1.
Bahan Hukum primer :
Peraturan yang berhubungan dengan objek seperti UUD 1945 dan peraturan terkait
objek penuilsan.
2.
Bahan Hukum Sekunder : literatur
atau bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan objek penulisan
3.
Bahan Hukum Tertier :
terdiri kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan Kamus Hukum
F.
Sistematika Penulisan
Penulisan
makalah ini dibagi dalam tiga bab, yang mana tiap babnya dibagi
dalam beberapa sub-sub bab. Maksud dan tujuannya adalah guna mempermudah
mengurai dan pembahasan. Berikut sistematika penulisannya :
Pada
bab I, berisikan pendahuluan. Bab ini penulis menguraikan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, menjelaskan
pendekatan penulisan, sumber data dan menjelaskan sistematika penulisan yang
merupakan dasar bagi penulisan pada bab-bab berikutnya.
Pada
bab II, membahas mengenai Sejauh mana kemerdekaan pers itu dilindungi Negara
dan peran, fungsi, hak dan kewajiban lembaga
pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang
bertanggung jawab.
Pada
bab III berisikan kesimpulan
dan saran yang merupakan bab penutup. Kesimpulan ini merupakan inti dari
permasalahan yang dibahas dan terdiri dari saran-saran yang penulis anggap
perlu dari bab-bab yang telah dikemukakan sebelumnya.
Pembahasan
Kemerdekaan Pers di
Indonesia
Sebelum
penulis menguraikan sejauh mana kemerdekaan pers itu dilindungi Negara dan
bagaimana peran, fungsi, hak dan kewajiban pers dalam menjalankan kemerdekaan
pers yang bertanggung jawab. Ada baiknya penulis jabarkan terlebih dahulu
sejarah pers di Indonesia.
A. Perjalanan Pers di Indonesia.
Di
Indonesia, cikal bakal lahirnya jurnalistik sudah dimulai pada masa Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit. Para penyampai berita itu dikenal dengan istilah
penyeranta. Kerjanya berkeliling menyampaikan pengumuman dari raja kepada
khalayak ramai. Mereka berjalan kaki atau berkuda mendatangi tempat ramai atau
mengumpulkan orang dengan memukul gong.
Pengaruh
jurnalis Eropa merambah ke Indonesia berawal dari Gubernur Jenderal Belanda,
Jan Pieterszon Coen (1587 – 1629) yang bertugas di Indonesia kala itu. Ia
memprakarsai penerbitan newsletter
yang dinamakan Memorie der Nouvelles, 1615.
Caranya nyaris sama dengan Amenhotep III, yakni mengirim surat yang berisi
berita-berita dari Nederland dan disebarkan dari Jakarta untuk kalangan pejabat
VOC yang tinggal jauh di Ambon.
Namun yang menerima newsletter tersebut hanya orang-orang
yang dianggap penting. Soalnya salinan surat tersebut terbatas yakni hanya 30
eksemplar. Pada masa itu di Indonesia belum ada mesin cetak, mesin stensil,
apalagi mesin fotokopi dan faks, sehingga salinan harus ditulis tangan. Jadi,
tidak mungkin menulis lebih banyak dari itu.
Pada 7 Agustus 1744, dicetaklah
surat kabar pertama di Indonesia, Bataviasche
Nouvelles en Politique Rainsonnementen (Berita dan Penalaran Politik
Batavia) dalam bentuk kertas folio. Sebenarnya, keinginan menerbitkan Koran
saat itu banyak mendapat hambatan dari pemerintah VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie, Perkumpulan Dagang India Timur).[8]
Menurut Abdurrachman Surjomihardjo
dalam bukunya “Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia,” keinginan
untuk menerbitkan Koran baru terwujud setelah Jenderal Gustaaf Willem Baron van
Imhoff memimpin VOC.
Penerbit surat kabar pertama di
Indonesia yakni Jans Erdmans Jordens dengan izin kontrak selama tiga tahun pada
tahun 1744. Namun keberadaannya langsung dibredel oleh Pimpinan VOC di Belanda,
1745. Lantaran perjalanan laut Belanda – Indonesia memakan waktu 7 bulan, surat
larangan itu baru sampai pada 20 Juni 1746. Dan Koran itu hanya sempat beredar
selama 2 tahun.
Sementara
Hanif Hoesein dalam tulisannya, ”Selintas Sejarah Kebebasan Pers di Indonesia,”
mengatakan tekanan terhadap pers di
Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC melalui berbagai bentuk aturan hukum.
Pada tahun 1712 VOC
melarang suratkabar yang berisi berita-berita dagang, karena VOC takut kalah
dalam persaingan dagang akibat berita-berita tersebut. Selanjutnya pada tahun
1856 diberlakukan Drukpers Reglement
dengan sensor preventif; dan tahun 1931 Belanda mengeluarkan lagi Presbreidel Ordonantie dengan sensor
represif.
Kemudian Selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang, beberapa
penerbitan pers “sengaja dibangun” untuk mengobarkan semangat Perang Asia Timur
Raya, akan tetapi beberapa penerbitan pers nasionalis yang sudah ada, mendapat
pengawasan represif yang cukup ketat. Pembatasan terhadap kebebasan pers pada
era penjajahan Jepang dilakukan melalui UU No.16 tahun 1942 dengan sensor
preventif, yang dikenal dengan “Osamu
Sere.”
Sepertinya, kebebasan pers di
Indonesia memang mengalami tantangan besar. Berbagai sengketa dan penindasan
menjadi ciri khas hubungan pers dengan pihak berwenang di Indonesia. Penguasa
melakukan kontrol ketat terhadap pers mulai dari izin, regulasi, sensor,
swasensor, interogasi, penahan, pengasingan hingga pembredelan. Bahkan pers
juga mengalami kekerasan secara fisik dalam menjalankan tugas-tugas
jurnalistiknya dilapangan.
Bahkan Maskun mengatakan (2006 :
8), kebebasan pers di Indonesia bergantung kepada siapa yang berkuasa. Pada
masa pers dibelenggu tak terhitung banyak darah mengalir, betapa banyak orang
pers dipenjarakan, banyak media yang dibredel dan banyak karyawan-karyawan yang
tiba-tiba menganggur.
A.M. Dewabrata dalam bukunya
“Kalimat Jurnalistik, Panduan Mencermati Penulisan Berita,” menceritakan bahwa
Pimpinan Redaksinya di Koran Pedoman,
Rosihan Anwar berpesan agar hati-hati menulis berita dan memilih berita.
Pemerintah bisa tiap saat membredel Koran. Waktu itu Orde Baru cukup ketat
mengontrol media massa. Meskipun sudah hati
– hati, akhirnya pada kuartal pertama 1974, Pedoman dan belasan media lainya
dibredel seiring peristiwa Malari 15 Januari 1974.[9]
Menurut catatan Warief Djajanto
Basoeri (2006 : 9), sengketa dan penindasan merupakan ciri khas hubungan pers
di Indonesia dari 1774 hingga 1998. Kontrol penguasa penguasa sangat dominan.
Mulai dari izin, regulasi, sensor, swasensor, introgasi, penahan, pengasingan
hingga pembredelan.
Berikut penulis uraikan daftar
Koran dan kasus yang terjadi sejak 1744 hingga saat ini versi Warief,
diantaranya :
Koran dan kasus :
a.
7 Agustus 1744 – Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen, diterbitkan
oleh Jan Erdams Jordens
b.
1746 - Bataviasche Nouvelles en Politique Rainsonnementen dibredel oleh
VOC berkedudukan di Amsterdam
c.
1851 – De Locomotief terbit di Semarang
d.
1852 – Java Bode, Jakarta
e.
1855 – Bromartani, Surakarta, berbahasa jawa.
f.
1856 – Soerat Kabar Bahasa Malaijoe, Surabaya
g.
1902 – Bintang Hindia, Majalah Dwimingguan di Amsterdam, dipimpin oleh
Abdul Rivai
h.
1907 – Medan Prijaji, Bandung, diterbitkan oleh Raden Mas Tirtoadisuryo
i.
1907 – Wartawan bersuara hati nurani
pertama (the first Indonesiaan
newspaperman with a conscience) ditahan di Indonesia (Hindia Belanda saat
itu)
j.
1937 – LKBN Antara didirikan
k.
1945 – Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Pers Perjuangan
l.
1945 – Merdeka, Jakarta
m.
1947 – Waspada, Medan
n.
1948 – Pedoman, Jakarta
o.
1949 – Indonesia Raya, Jakarta
p.
1950 – Soera Merdeka, Semarang
q.
1950 – 1959 – Sistem parlementer. Pers
partisan
r.
1958 – Indonesia Raya dibredel, Pimred Mochtar Lubis masuk keluar tahan
sejak 1956
s.
Awal 1960 – Pers Nasakom
t.
1965 – Harian Rakyat ditutup Angkatan Darat, 46 koran kiri dibredel
u.
1974 – Orde Baru, Pemerintah Presiden
Soeharto mencabut SIT 11 penerbitan pers, termasuk Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian Kami dan The Jakarta
Times
v.
1978 – Pemerintah Soeharto menutup
sementara 7 koran, termasuk Kompas,
Merdeka, Sinar Harapan, dan Pelita
w.
1994 – Pemerintah Orde Baru mencabut
SIUPP majalah Tempo
x.
1998 – 21 Mei Soeharto lengser
y.
1999 – UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers
Sistem bredel berakhir. Sensor dihapus dan perizinan ditiadakan bagi media pers
cetak.[10]
Jika melihat uraian diatas, dari
1744 hingga 1945 tak banyak perusahaan pers didirikan. Selain kondisinya tidak
memungkinkan secara teknis, namun hal itu tidak terlepas dari pengaruh
kediktatoran penguasa kala itu. Pembredelan dan penahanan wartawan lantaran
bersuara hati nurani terjadi. Sepertinya Pemerintah VOC dan Jepang menerapkan
sistem authoritarian kala itu.
B. Dilema Kebebasan pers.
Lantas bagaimana kebebasan pers pasca kemerdekaan.
Jika dilihat dari waktu, perkembangan pers dapat dibagi dalam periode sebagai
berikut :
a. Periode 1945 – 1950
Periode
ini pers berperan sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pasca teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk juga diantaranya pers dan yang
diperebutkan itu adalah peralatan percetakan.
Sejak
itu, pers di Indonesia semakin kuat dan dapat dilihat dengan mulai beredarnya
Koran, antara lain Kedaulatan Rakyat, Pers Perjuangan (Yogyakarta) dan Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News
Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Kemudian
disusul Waspada, Pedoman dan Indonesia Raya.
Meskipun
demikian, bukan berarti kemerdekaan pers terjamin. Pasalnya, didalam konstitusi
kita, perlindungan terhadap kebebasan pers tidak atur secara tegas. Undang –
undang Dasar Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa kebebasan mengeluarkan pikiran
dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
Perihal
ini menunjukan belum adanya kesadaran para pembentuk undang-undang bahwa
kebebasan pers adalah bagian dari demokrasi. Sepertinya politik hukum yang
mengarah untuk mewujudkan kebebasan pers adalah bagian dari kedaulatan rakyat
dan menjadi unsur esensial untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang demokrasi, masih jauh dari yang diharapkan.
Selain
itu, kemerdekaan pers bagian dari kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi
manusia yang hakiki, yang diperlukan untuk menegakan keadilan dan kebenaran,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak masuk
dalam pertimbangan para pembuat norma dasar bangsa ini.
Hal
ini juga pernah diungkapkan Ashadi Siregar dalam tulisannya yang berjudul Prospek
Kebebasan Pers Dalam Perkembangan Demokrasi.
Ia mengatakan Sumber hukum primer tentulah dari konsitusi. Tetapi para pendiri
RI, kendati umumnya menggunakan pers sebagai sarana perjuangan, tidak secara
eksplisit memasukkan hak warga negara untuk menyampaikan dan memperoleh
informasi.
Kemudian,
institusi pers hanya dilihat sebagai bagian dari hukum penawaran dan
permintaan, bukan sebagai praksis dari suatu ideologi. Sebagai institusi yang
berada di dua ranah, ranah ekonomi dan ranah politik, pers harus hadir
berlandaskan hukum-hukum ekonomi. Sementara dalam ranah politik, bukan dari
peran politik yang dapat dijalankannya, tetapi dalam posisinya menghadapi
birokrasi negara
Sementara
Hanif
melihat, faktor penyebabnya saat itu adalah Indonesia tengah
mengalami revolusi fisik. Ada dualisme
sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan yang demokratis berdasarkan UUD
1945, dan pemerintahan otoriter Kolonial Belanda NICA yang kembali ke Indonesia
membonceng tentara Sekutu.
Padahal,
pasca proklamasi, pers Indonesia tengah eforia kebebasan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan inilah yang menurut
pers pada saat itu merupakan kebenaran yang harus dipertahankan. Kebebasan pers saat itu dapat dikategorikan sebagai The Libertarian Theory
Disamping
itu, media massa di satu negara mencerminkan sistem
pemerintahan negara bersangkutan. Dengan kata, lain perkembangan politik dan
sistem pemerintahan amat berpengaruhi terhadap pertumbuhan media, terutama yang
berkaitan dengan kebebasan.
Selain
itu, untuk mengetahui realitas pers di suatu negara secara
mendalam, terlebih dahulu harus dikaji asumsi-asumsi filosofis (dasar dan hakiki) yang diyakini dan
digunakan oleh negara tersebut, terutama menyangkut hakikat manusia, hakikat
negara dan masyarakat, hubungan manusia dengan negara, serta hakikat
pengetahuan dan kebenaran.
Secara
kelembagaan, periode ini juga melahirkan organisasi Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) pada Tanggal 9 Pebruari
1946 yang menempatkan diri sebagai organisasi kejuangan
bersama organisasi lainnya. Pada masa tersebut, NKRI yang berusia muda
mengintervensi – bahkan mensubordinatkan – organisasi wartawan PWI, tetapi
untuk satu tujuan yang mulia, kemerdekaan itu sendiri. Kondisi PWI yang
demikian, tidak dapat dilepaskan dari kenyataan historis bahwa NKRI yang masih
berusia muda sangat memerlukan dukungan dari seluruh segmen masyarakat, dan hal
ini tidak berarti mengekang kebebasan wartawan.
b. Periode 1950 – 1957.
Pada
1950, hegemoni Belanda masih mempengaruhi sistem pemerintahan di Indonesia.
Pengaruh dari hasil konferensi meja bundar mengharuskan Indonesia merubah UUD
1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan berbentuk
liberal.
Kondisinya pers tetap tertekan walaupun sudah ada jaminan dalam pasal 7 KRIS, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat. Pasalnya, peraturan pelaksanaan terhadap pasal-pasal KRIS belum ada. Sementara pasal-pasal karet “hatzaai artikelen” KUHP dan Presbreidel-ordonantie 1931 masih tetap
berlaku.
Meskipun
berada dalam batas-batas hukum tersebut, pers Indonesia masih
tetap melakukan fungsinya, namun tidak lagi semata-mata mengobarkan semangat
perjuangan, tetapi sudah melaksanakan fungsi “social control” terhadap kekuasaan.
KRIS hanya bertahan satu tahun, kemudian diganti dengan UUD Sementara (UUDS)
dengan menganut sistem pemerintahan parlementer yang mengadopsi sistem pemerintahan negara-negara Anglo Saxon.
Perkembangan kebebasan pers pada era ini dapat dikatakan dalam keadaan
baik, termasuk perkembangan fisik.
Kisaran
tahun 1950 – 1953, surat kabar berkembang menjadi 75
penerbitan dengan oplah 630.000 eksemplar. Pada saat ini mulai terbit surat
kabar partai politik dan surat kabar partisan. Satu tonggak sejarah bagi
kebebasan pers pada era Kabinet Parlementer ini adalah dicabutnya Presbreidel-ordonantie - 1931 dengan UU
No. 23 Tahun 1954, karena bertentangan dengan pasal 19 juncto 33 UUDS
Terjadinya
perubahan kabinet sebanyak 6 kali, tidak lepas dari pengaruh pers kala itu.
Kadang kala, disamping berhadapan dengan
parlemen dan kabinet, dikalangan pers tidak jarang terjadi polemik, terutama
antara surat kabar partai/partisan yang memerintah dengan surat kabar yang
menempatkan diri sebagai oposisi.
Hal
ini ditegaskan Hanif, bahwa masing-masing
media atau institusi pers tersebut memiliki ikatan primordial atau ikatan
ideologis dengan partai-partai tertentu. Dan keterlibatan pers -- seperti
kelompok masyarakat lainnya – dalam kehidupan kenegaraan, bukan dalam konteks
partisipasi yang demokrtis, akan tetapi partisipasi yang oligarkis
Bagitu
juga Maskun. Dia berpendapat bahwa pers pada masa itu dijadikan sebagai alat
propaganda untuk kepentingan partai politik (Parpol) atau dengan sebutan lain
pers partisan. Dengan menganut sistem pemerintahan parlementer dan menjunjung
demokrasi liberal, maka membidani lahirnya banyak Parpol. Eksistensi parpol
menjadi taruhan dan banyak Parpol membidani lahirnya media sebagai corong
mereka.
c. Periode1957 - 1965
Status
Negara dalam keadaan bahaya diberlakukan Presiden Soekarno di seluruh Indonesia
pada tanggal 14 Maret 1957.
Kebijakan itu terkait pemberontakan PRRI
di Sumatera dan Permesta di Sulawesi. Pada Juli 1957, presiden mengumumkan Kabinet Juanda dan menetapkan Manipol Usdek
sebagai Haluan Negara. Periode ini dikenal
dengan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin
dan menempatkan Soekarno sebagai pemimpin yang otoriter.
Lantas
bagaimana pers. Kedudukan serta
fungsinya alat propaganda penguasa untuk mencapai tujuan politik Demokrasi
Terpimpin. Pers yang bertentangan dan bersuara
lantang dibungkam. Berbagai batasan
dilakukan,
diantaranya melakukan sensor atas infromasi ke luar negeri. Jack Russel, koresponden United Press dikecam penguasa, karena United Press mengkritik Sukarno sebagai
pimpinan otoriter yang semakin dekat dengan Komunis. Selama tahun 1957, terjadi
peningkatan yang signifikan terhadap tindakan anti pers oleh penguasa yang
secara keseluruhan mencapai 125 kali tindakan pembatasan kebebasan pers.
Pada tahun 1958, Penguasa Perang Daerah Djakarta (Peperada) mengeluarkan aturan
bagi seluruh penerbitan surat kabar dan majalah wajib
mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1958 untuk memperoleh SIT (Surat Izin
Terbit). Tanggal 1 Oktober 1858, dapat dikatakan sebagai tanggal matinya
kebebasan pers di Indonesia. Walaupun surat kabar dapat terbit, akan tetapi
harus mengikuti kehendak penguasa, dan setiap saat SIT dapat dicabut tanpa
alasan hukum yang jelas. Bahkan, Muchtar Lubis
sebagaimana dikutip Smith, Edwar C
dalam bukunya Sejarah
Pembredelan Pers Di Indonesia, mengatakan sejak 1 Oktober 1958, sejarah pers Indonesia memasuki
periode hitam.
Sejak
itu, tindakan Paperada juga diikuti Penguasa
Perang Tertinggi (Peperti). bahwa seluruh penerbitan suratkabar dan majalah di seluruh
Indonesia wajib memiliki SIT. Pada tahun 1960, secara resmi Menpen
melegalisasikan ketentuan tentang SIT ini dan untuk mendapatkan SIT, semua
penerbitan harus menanda tangani persetujuan atas 19 pasal pernyataan. Pernyataan
tersebut adalah janji penanggung jawab penerbit surat kabar dan majalah yang
berupa ancaman seandainya mereka diberi SIT.
Menurut
Hanif, hal ini dilakukan oleh penguasa untuk mempercepat retooling alat-alat publikasi, terutama
surat kabar dan majalah, sehingga ia dapat menjadi alat dan pendukung revolusi.
Janji penerbit ini selanjutnya merupakan senjata bagi penguasa dalam melakukan
pembredelan pers yang tidak sepaham dengan kekuasaan. Beberapa suratkabar yang dicabut SIT-nya oleh
Menpen sebagai konsekuensi dari janji tersebut, antara lain: Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia,
Star Weekly. Sedangkan Harian Abadi menghentikan
penerbitannya karena tidak bersedia menandatangani 19 persyaratan tersebut.
Pembatasan terhadap kebebasan pers
terus dilakukan pemerintah melalui Menteri Penerangan yang mewajibkan surat kabar di seluruh Indonesia
berafiliasi dengan parpol atau ormas. Saat itu tidak kurang 80 surat kabar di
Indonesia berafiliasi ke sembilan parpol, ormas dan Panca Tunggal (pemerintah). Hal
ini berarti bahwa masyarakat tidak dapat lagi menerbitkan surat kabar apabila
tidak ada partai politik atau ormas yang mendukung. Pemberlakuan
aturan tersebut menunjukan telah terjadinya pengingkaran terhadap pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi negara sebagaimana Dekrit 5 Juli 1959.
Periode
ini, kedudukan dan fungsi pers dikategorikan sebagai pers paprtisan. Pers
dijadikan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai politik. Eksistensi
parpol menjadi taruhan dan banyak Parpol membidani lahirnya media sebagai
corong mereka.
d. Periode Orba (1965 –
1998).
Seperti
yang dikatakan AM. Dewabrata, Pemerintah
Soeharto sangat ketat mengontrol kebebasan pers. Bila mereka bernada
keras dianggap melawan pemerintah. sewaktu-waktu pemerinta bisa saja membredel
Koran.
Masa
ini, Orde baru mulai berkuasa. Pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi.
Pemerintah Soeharto mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan
partai-partai politik menjadi tiga, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Berlakunya aturan
itu pada tahun 1973, berdampak terputusnya hubungan Parpol dan organisasi massa
(Ormas) dengan pers sehingga pers tidak lagi mendapat suntikan dana dari
Parpol.
Sementara
Hanif berbeda. Ia membagi kebebasan pers periode ini atas dua kategori.
Pertama yakni Periode Tahun 1966 – 1974 sebagai Pra Malari (Malapetaka
Januari 14 dan 15 Januari 1974).
Periode
ini terjadi transisi pusat kekuasaan dan kondisi saat itu kacau. Adanya gerakan
30 September atau yang dikenal dengan G.30S PKI pada tahun 1965 merupakan the
turning point dari sistem pemerintahan otoriter demokrasi terpimpin.
Secara de facto maupun
de jure Soekarno masih memiliki kekuasaan yang cukup besar,
sementara tuntutan mahasiswa dan rakyat melalui demonstrasi massa dengan Tiga
Tuntutan Rakyat (Tri Tura), yaitu (1) Bubarkan PKI, (2) Turunkan harga, dan (3)
Bubarkan Kabinet 100 Menteri (bentukan
Soekarno), semakin berlanjut, yang menyebabkan sistim pemerintahan tidak berjalan.
Angkatan Darat yang merasa
dirugikan oleh pemberontakan Komunis, melakukan berbagai
perlawanan terhadap rezim Soekarno. Dalam membentuk opini publik, pihak
Angkatan Darat menerbitkan surat kabar harian Berita Yudha dengan tugas utama
mengumandangkan Pacasilais dan perjuangan ABRI khususnya AD.
Dikelompok mahasiswa menerbitkan Harian
KAMI dalam memobilisir gerakan mereka yang terkenal dengan “Gerakan Ganyang
PKI”.
Subandrio sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam
kabinet 100 menteri bentukan Sukarno, memahami betul betapa ampuhnya media
massa dalam membentuk opini. Maka dari itu, pada akhir 1966 ia memerintahkan sepasukan Cakrabirawa ke
beberapa kantor percetakan surat kabar di Jakarta dan melarang surat kabar tersebut dicetak.
Pada masa ini, ternyata pers di Indonesia tidak saja
mengalami tekanan terhadap content media
tetapi juga mengalami tekanan fisik berupa penyerangan dan intimidasi,
sebagaimana halnya yang pernah dialami pers saat revolusi fisik oleh NICA dan
Sekutu.
Kebebasan
pers kembali ke alam demokrasi disaat Kolonel Soeharto “mengantongi” Surat Perintah 11 Maret 1966.
Soeharto menyatakan partai Komunis sebagai partai
terlarang di Indonesia. Langkah awal membersihkan orang-orang Komunis yang ada
pada penerbitan pers. Salah satunya menutup Kantor Berita Antara selama
10 hari untuk membersihkan karyawan yang terlibat partai komunis.
Pers saat itu bahu-membahu dengan Angkatan Darat dan
mahasiswa dalam membersihkan partai komunis di Indonesia. Era
ini, terjadi ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah
dan tonggak sejarah kebebasan pers karena
pemerintah memberikan kelonggaran dan toleransi terhadap kritikan dan
melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers
yang pada pasal 4 tegas mengatur bahwa terhadap
pers Nasional
tidak dikenakan sensor dan pembredelan.
Pemerintah
kala itu menitik-beratkan memperbaiki perekonomian Negara. Banyak modal asing
masuk ke Indonesia. Efek negatifnya, terjadi korupsi dimana-mana. Banyak
kebijakan pemerintah tidak populis. Beragam kritikan pun dialamatkan ke
pemerintah. akhirnya, hubungan ini mulai meruncing.
Keberanian pers membongkar masalah sosial, masalah
pemerintahan / kekuasaan
dan korupsi di kalangan pemerintah, mengindikasikan bahwa pada era ini pers
Indonesia menganut paham Libertarian,
yang menempatkan manusia tidak targantung kepada kekuasaan dan tidak perlu
dituntun dan diarahkan dalam mencari kebenaran, karena kebenaran itu sendiri
merupakan hak azasi.
Akibatnya,
pemerintah mereduksi kebebasan pers karena dianggap terlalu bebas. Maka,
dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor
19 Tahun 1970 yang
mempertegas keberadaan Dewan Pers yang dibentuk berdasarkan
PP No.5 Tahun 1967, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU
No.11 Tahun 1966. Salah satu wewenang Dewan Pers adalah Memberi pertimbangan
kepada Badan /
Instansi Pemerintah
lainnya, mengenai kebijakan penindakan terhadap perbuatan-perbuatan yang
melanggar UU No.11 Tahun 1966 Pasal 3 Ayat
(3).
Hal ini menjadi kontroversial dalam implementasi kebebasan pers di Indonesia, karena
saran dan pertimbangan Dewan Pers digunakan penguasa sebagai justifikasi
terhadap berbagai tindakan yang dilakukan dalam menekan kebebasan pers di
Indonesia. Dan ini mengingkari pasal 4 - UU No.11
Tahun1966 dan pasal 28 UUD 1945.
Pasca
Malari , 1974 – 1998. Peristiwa Malari
merupakan koreksi atas kebijakan politik dan ekonomi terhadap pemerintahan Orde
Baru setelah 12 tahun berkuasa. Kebijakan pintu terbuka terhadap modal asing,
yang saat itu didominasi oleh pengusaha Jepang, telah dapat meningkatkan
ekonomi Indonesia setelah terpuruk lama.
Namun demikian, negatifnya membuka kesempatan bagi pejabat pemerintah melakukan
korupsi dan menerima suap terutama dari pengusaha Jepang. Peristiwa Malari
tanggal 14 – 15 Januari 1974, diawali dengan penolakan mahasiswa atas
kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka.
Tentang hal ini pada tanggal 29 Desember 1973 surat kabar
Pedoman sebagaimana yang dikutip Togi Simanjuntak dalam bukunya Wartawan
Terpasung – Intervensi Negara di Dalam Tubuh PWI menyebutkan Kalau dewan-dewan mahasiswa menyatakan menolak kedatangan
PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta tanggal 14 sampai 17 Januari nanti, maka
niscaya adalah satu alasan latar belakangnya ialah sikap ‘anti Jepang’ karena
menurut hemat generasi muda, Jepang melalui investasi modalnya menguras
kekayaan dan sumber alam negeri ini, selanjutnya membikin jiwa beberapa pejabat
negara menjadi korup melalui pemberian.
Peristiwa itu dijadikan salah satu justifikasi oleh rezim Orde Baru untuk melakukan
penekanan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Hal ini dimanifestasikan dalam
bentuk pembredelan surat kabar yang dikenal dengan ‘pembrangusan’, yaitu
mencabut Surat Izin Terbit sekaligus Surat Izin Cetak yang
dikeluarkan oleh Laksus Pangkopkamtib.
Surat kabar yang dibredel tidak hanya yang terbit di
Ibukota Negara Jakarta, tetapi juga surat kabar penerbitan pers pada beberapa
kota besar lainnya. Beberapa suratkabar
yang dicabut SIT maupun SIC antara lain harian: Nusantara, Kami, Indonesia Raya, The Jakarta Times, Wenang, Pemuda
Indonesia, Pedoman, dan majalah mingguan Ekspres, (Jakarta), harian Suluh
Berita (Surabaya), Mingguan Mahasiswa Indonesia (Bandung), dan Indonesia Pos (Ujung Pandang).
Langkah penguasa selanjutnya adalah memangkas demokrasi
secara luas, seperti memberlakukan wadah tunggal dan fusi terhadap beberapa
parpol. Pemerintah mengeluarkan dua ketentuan berupa Keputusan Menpen tentang
pengukuhan PWI dan SPS sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan penerbit
pers, serta pengukuhan Serikat Penerbit Surat Kabar sebagai satu-satunya
organisasi percetakan pers.
Disisi
lain, pemerintah juga masih membutuhkan dukungan media massa atau yang biasa
disebut partisipasi aktif masyarakat daam pembangunan. Media berperan sebagai
alat propaganda pemerintah. Hal itu dimanifestasikan dalam bentuk bantuan dan
fasilitas dengan syarat tidak boleh menyinggung keluarga Soeharto, Dwi Fungsi
ABRI dan SARA.
Kemudian,
di awal tahun 1980-an, pasca
Malari, pemerintah mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung
jawab yang diadopsi dari Social
Responsibility Theory of The Press. Dinegara
asalnya, teori
ini muncul atas reaksi terhadap enam tugas pers dari The Libertarian Theori yang sangat bebas dan terlalu terbuka
sehingga kebebasan melupakan etika. Hal ini dikemukakan Komisi Kebebasan Pers
Amerika dalam A Free and Responsibility
Press (1947) dan William E.Hocking dalam bukunya Freedom of the Press: A Framework of
Principle (1947). Walaupun secara umum keduanya menerima keenam
tugas pers menurut teori tradisional (Libertarian),
akan tetapi teori ini tidak puas terhadap interpretasi para pemilik dan
pelaksana media.
Penerapan
teori ini memunculkan masalah. Ada perbedaan persepsi tentang bebas dan
bertanggung jawab. Bebas sesuai kaidah jurnaliskah atau pemerintah. Begitu juga
pengertian bertanggung jawab. Pers bertanggung jawab kepada siapa. Apakah
kepada pembaca yang membutuhkan keterbukaan informasi atau pemerintah dengan
pendekatan keamanan (security approach).
Tidak
adanya batasan hal tersebut ternyata dimanfaatkan
pemerintah untuk mengukung kemerdekaan pers.
Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang mengatur tentang
kehidupan pers, sebagai perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 dan
Undang-undang No.4 Tahun 1967.
Tindak lanjut dari undang-undang itu, pemerintah melalui Menpen juga mengeluarkan Peraturan
Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang Ketentuan Surat Izin Perusahaan Pers (SIUPP)
yang menurut versi pemerintah merupakan penjabaran atas UU Nomor 21 tahun 1982.
Aturan ini dimanifestasikan pembredelan atau istilah lain pencabutan SIUPP.
Cara
lain yang dilakukan yakni melalui himbauan
pejabat pemerintah atau lebih tepat dikatakan sebagai larangan untuk tidak memuat suatu
fakta yang menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun
menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Himbauan
dilakukan antara lain melalui chief
editors meeting, atau melalui telpon oleh pejabat ke dewan redaksi. Hal terakhir ini oleh
berbagai pihak dikatakan sebagai berkembangnya dengan subur ”budaya telpon” di kalangan pejabat
Beragam
tekanan inilah akhirnya membawa kondisi yang sangat memprihatinkan bagi pers.
Kontent berita menjadi mandul, media melakukan self censorship daripada mendapat teguran dari pemerintah. Pers
kehilangan kemerdekaannya dan terkesan tiarap ditengah represipnya tindakan
pemerintah.
Apalagi
pasal 28 UUD 1945 ditafsirkan
meyimpang dari esensi maksudnya dan pers yang telah berhasil dijinakkan
penguasa. Kondisi ini menyebabkan
pers tiarap, menggunakan jurnalisme kepiting, pemberitaan pers cenderung
bergaya euphimisme dalam menyampaikan
kritik,
dan pers menjauhi “kawasan terbatas.” Kritik tidak sesuai dengan apa
yang diinginkan masyarakat.
Pada
rezim Orde Baru ini, tercatat
beberapa surat kabar yang dicabut SIT-nya, yaitu Sinar
Harapan,. Prioritas, dan majalah Tempo,
Detik serta Editor. Periode ini juga
melahirkan pers sebagai industri yang
perkembanganya menjadi
konglomerasi pers, akan tetapi dalam hal kebebasan mengemukakan pendapat
sebagai manifestasi dari social control
function, tidak diperoleh sama sekali.
e. Periode Reformasi
(1998/1999) – sekarang
Era
reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Kran kebebasan itu terbuka
di zaman pemerintahan BJ. Habibie. Pemerintah mempermudah pengurusan SIUP.
Sebelumnya, proses pengurusan SIUP ada 16 tahapan, pasca reformasi hanya 3
tahap saja. Bahkan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUP dicabut
dan pembredelan dilarang.
Gerakan
reformasi 21 Mei 1998 merupaan titik balik bagi pemerintahan Orba dan
memberikan angin segar bagi kebebasan pers. Peralihan kekuasaan dari Soeharto
ke B.J. Habibie yang ditindak-lanjuti oleh Yunus Yoosfiah kala itu menj abat
sebagai Menpen, mencabut Permenpen
No.01/Per/Menpen/1984 Tentang Ketentuan-Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUP); dan SK. Menpen No.214A/Kep/Menpen/1984 Tentang Prosedur dan
Persyaratan Untuk Mendapatkan SIUPP.
Dicabutnya
ketentuan ini, membuka kran sebebas-bebasnya kepada masyarakat untuk membuat
perusahaan pers dan melakukan kontrol sosial. Jumlah penerbitan pers meningkat dengan cepat, sampai 15 April 1999, Deppen
sudah mengeluarkan 852 SIUPP baru. Pada akhir Tahun 2001 penerbitan pers di Indonesia diperkirakan sudah
mencapai 1800 - 2000. Wilayah penerbitan pers juga semakin meluas, tidak hanya
terpusat di ibukota negara dan kota
propinsi, tetapi sudah sampai ke kota kabupaten, bahkan kota kecamatan juga
memiliki surat kabar.
Di bidang kontent media, kebebasan pers dalam kondisi eforia, yang ditunjukkan dalam
isi, gaya pemberitaan serta cara-cara memperoleh informasi yang berbeda dengan
masa Orde Baru. Berbagai batas wilayah pemberitaan, yang masa Orde Baru
dianggap tabu dan berbahaya secara politik, kini seolah-olah sirna diterpa
angin kebebasan.
Bak
lepas kendali begitulah eforia pers saat itu. Bahkan tidak
sedikit pula pengamat mengeluh
bahwa pers kini sudah menceritakan apa saja kecuali yang
benar. Bila pada masa Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggungjawab, pers
Orde Habibie adalah pers yang bebas tapi tidak
bertanggung jawab.[11]
Sungguh
ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka, pers Indonesia cenderung
memperlihatkan performa dan sikap negatif. Di satu sisi, kebebasan agar leluasa
mengembangkan isi pemberitaan. Di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering
kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan
dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya
sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat
memberikan pendidikan kepada masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa
yang bermoral.
Kebebasan
pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi
kebablasan pers. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan
berita politik dan hiburan berbau seks. Media-media tersebut cenderung
mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Terkadang informasi yang disajikan kerap melecehkan masalah agama, ras, suku,
dan kebudayaan lain.
Selain
itu kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan
budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan.
Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan liberalisasi ekonomi juga makin
mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental
dengan upaya komersialisasi.
Sosok
idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai
dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini,
eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk
menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Untuk
lebih jelasnya, terkait peran, fungsi, hak dan kewajiban menjalankan kebebasan
pers yang bebas dan bertanggun jawab di era reformasi, akan penulis uraikan
pada sub bab berikut.
C. Peran, fungsi, hak dan
kewajiban pers dalam menjalankan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
Bicara periode sekarang, meskipun
secara konstitusi kebebasan pers tegas diakui Negara. Bahkan secara
kelembagaan, telah dibentuknya lembaga independen bernama Dewan Pers berdasarkan UU No.
40 / 1999 tentang Pers yang salah satu fungsinya melindungi kemerdekaan pers
dari tangan pihak lain.
Namun nyatanya, kebebasan itu masih
mengalami penjajahan. Ironinya, selain
oleh penguasa, pejabat dan aparat dan masyarakat,
terkadang sebagian insan pers melakukan hal yang sama sehingga menimbulkan
pandangan yang mengkerdilkan profesi jurnalis.
Hal ini bisa saja disebabkan oleh tidak
adanya aturan SIUP dan pembrendelan sebagaimana
telah dihapusnya UU No. 11 Tahun 1966, UU No. 4 Tahun 1967 dan UU No. 1
Tahun 1982. Sehingga membuka kran seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
melahirkan perusahaan pers berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) undang-undang Pers.
Sesungguhnya ini positif dan bentuk nyata dari kebebasan itu.
Namun, juga melahirkan
perusahaan-perusahaan pers yang secara ekonomi tidak mampu membiaya kegiatan
jurnalisnya sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers No. 4 /
Peraturan – DP / 2008 tentang Standar Perusahaan Pers angka 11 dan 12. Dan
ini juga berimbas pada tidak terjaminnya
kesejahteraan wartawan yang bernaung dibawahnya.
Sehingga, tugas jurnalis yang
semestinya menjunjung tinggi etika profesi sesuai Pasal 7 Ayat (2) UU Pers
kerap terabaikan. Biasanya ini dilakukan wartawan-wartawan tanpa surat kabar
atau wartawan bodrex. Secara tidak langsung, keberadaan perusahaan pers yang
tidak bertanggung jawab itu telah merusak kebebasan yang diberikan konstitusi.
Padahal tegas dikatakan Jacoeb Oetama,
tokoh pers nasional, dalam Buku Saku Wartawan, Lembaga Pers DR. Soetomo,
Cetakan ke 2, Juli 2010 Hal vii, bahwa
kebebasan pers akan lebih bermanfaat jika disertai
peningkatan professional competence,
termasuk didalamnya professional ethic.
Pada pasal 2 UU No 40 Tahun 1999
tentang Pers menyebutkan bahwa pers berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan dan supremasi hukum. Pasal 3 Ayat (1) fungsi pers adalah sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Ayat (2) menyebutkan bahwa
pers dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Untuk menjalankan fungsinya, pers
diberi jaminan perlindungan hukum sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), (2), (3) dan
(4) undang-undang yang sama.
Disisi lain, tidak sedikit pula
insan pers mendapatkan kekerasan fisik yang berujung meninggal dunia saat ini.
Contohnya, baru-baru ini, di Palembang, Sumatera Selatan. Wartawan Sriwijaya Post, Arsep Pajario, pada
17 September 2010 mati dibunuh. Kemudian di Tuol Sulawesi Tenggara, Ridwan
Salumun - reporter SUN TV menjadi korban kekerasan masa disaat meliput
kerusuhan di wilayah itu.
Peristiwa yang sama juga dialami
wartawan Radar Bali, Anak Agung (A.A.) Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali
(Jawa
Pos Group. Ia mati dibunuh lantaran
mengungkapkan dugaan kasus korupsi yang dilakukan seorang anggota dewan
setempat. Begitu juga dengan Muhammad Syaifullah, wartawan Kompas yang juga
kepala biro Kompas di Kalimantan. Diduga mati karena tulisannya terkait
persoalan lingkungan.
Selain dibunuh, ada juga mati dalam
keadaan wajar. Contohnya Lukmanul Hakim dari Republika meninggal ketika sedang
meliput SEA Games di Laos. Vincentia Hanni (Kompas) meninggal karena kanker.
Kemudian Yan Arsil (RRI) dan Agus Sofyan (Jurnal Nasional) juga berpulang.
Ketiganya mati dalam bertugas. Dan masih banyak lagi.
Jadi, kemerdekaan pers guna
mewujudkan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur sangat penting untuk
menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis
sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 UUD 1945 terjamin dan dilindungi hukum, nyatanya masih kabur.
Disisi lain, menurut
Ashadi Siregar, profesi jurnalisme erat kaitannya dengan hak pihak
lain. Dengan kata lain, keberadaan profesi jurnalisme pada dasarnya bertolak
dari kepentingan pihak lain. Inilah yang menjadi paradigma dari profesi
jurnalisme. Karenanya tindakan profesional seorang jurnalisme sesungguhnya
menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari hak dan kepentingan pihak lain.
Siapa dan bagaimana kepentingan pihak
lain itu ?
Ini pertanyaan krusial, karena dapat menjerumuskan jurnalis kepada
jawaban-jawaban pragmatis dalam menjalankan fungsi imperatif ini.
Pragmatisme politis mengacu kepada
kepentingan penguasa politik. Pragmatisme komersial akan menunjuk kepada
kepentingan kekuatan modal baik dunia industri maupun perusahaan media. Etika
sebagai landasan moral tentunya tidak akan berurusan dengan kerangka
pragmatisme semacam ini.
Perjalanan dalam sejarah profesi
jurnalisme menunjukkan bahwa berkembang dari yang sifatnya yang pragmatis
kepada landasan moral yang semakin filosofis. Dimulai dari acta diurna pada
masa Julius Caesar yang dikeluarkan untuk kepentingan para elit politik Romawi,
atau lembaran berita yang dikeluarkan oleh dan untuk para pedagang Eropa di
abad 17, merupakan bentuk-bentuk produk jurnalisme yang memiliki sifat
pragmatis yang melekat pada fungsi imperatifnya (Hohenberg, 1973).
Dengan genesis semacam ini profesi
jurnalisme diperkembangkan, dengan landasan filosofisnya. Sehingga jurnalis
tidak lagi hanya semacam hamba sahaya yang mengabdi kepada tuannya dalam
mencatat isi acta diuarna, begitu pula bukan hanya sekadar jurutulis
pedagang kaya di Eropa.
Lewat sejarah peradaban dunia dapat
dibedakan secara tajam profesi jurnalisme dengan profesi kedokteran. Profesi
kedokteran sejak diperkenalkan secara akademik oleh Hippokrates dari era Yunani
kuno, tidak mengalami perubahan yang substansial. Sejak awalnya profesi ini
sudah bertolak dari paradigma yang sama hingga di masa modern ini.
Kalaupun ada perubahan agaknya hanya
melalui pendefinisian kapan dimulai dan berakhirnya kehidupan sebagai akibat
perkembangan teknologi. Sedang penghargaan yang absolut terhadap kehidupan,
tetap adanya.
Profesi jurnalisme bermula dari budak
belian yang memiliki keterampilan membaca dan menulis, karenanya ditugasi oleh
tuannya berlari ke gedung senat untuk menyalin keputusan-keputusan dalam rapat
senat yang dicatat sebagai acta diurna. Begitulah setiap kali menyebut
jurnalis dan jurnalisme, mau tidak mau kita diingatkan dengan leluhurnya di
Romawi kuno sana.
Baru setelah Joseph Pulitzer, juragan suratkabar
World, menghibahkan dana
untuk Universitas Columbia pada awal abad 20 ini, jurnalisme mulai
diperkembangkan pada tingkat universiter. Dengan begitu profesi jurnalisme
mulai bertegak sama halnya dengan profesi lainnya yang telah lebih dulu diasuh
secara akademik.
Fungsi imperatif yang melekat pada
profesi jurnalisme tidak mungkin hilang. Masalahnya hanya
memilih sumber acuan dari fungsi tersebut. Dapat berupa acuan kepentingan
pragmatisme politis atau komersial seperti pada masa lalu. Tetapi dengan
perkembangan filsafat jurnalisme, fungsi imperatif profesi jurnalisme pada era
modern, bertolak dari moral sosial yang mengatasi kepentingan pragmatis. Adapun
landasan moral bagi profesi ini tidak dapat terlepas dari moral sosial yang
melingkupinya.
Dengan demikian sebelum memasuki norma
moral profesi jurnalisme, perlu dilihat moral sosial yang menjadi dasarnya.
Pembicaraan tentang moral sosial biasanya mengarah pada dua aspek, apakah moral
deskriptif yang bersifat relatif ataukah moral normatif yang bersifat absolut.
Sebagai ilustrasi, moral deskriptif
relatif dapat dilihat dari anutan penduduk Mekah di jaman jahiliyah, yang
menganggap anak perempuan tidak berharga dibanding anak laki-laki, karenanya
dapat dibunuh sewaktu bayi.
Sementara Nabi Muhammad membawa moral
normatif absolut yang menghargai kehidupan manusia, termasuk bayi perempuan.
Saat moral normatif absolut diperkenalkan, kaum jahiliyah menentangnya dengan
dalih bahwa mereka sudah punya nilai moral sendiri.
Antara moral deskriptif relatif dengan
normatif absolut dapat saja berbeda. Tetapi dalam sejarah peradaban manusia,
setiap kali nilai lokal dijadikan dasar untuk menentang nilai normatif absolut,
selalu dapat dilihat posisi inferior dari nilai deskriptif relatif tersebut.
Sifat kejahiliyahan terkandung dalam norma deskriptif relatif manakala
dihadapkan dengan norma normatif absolut.
Moral sosial yang menjadi acuan moral
profesi jurnalisme adalah penghargaan atas
hak HAM. Fungsi imperatif dari
profesi jurnalisme adalah untuk memenuhi moral sosial ini. Dengan kata lain,
hak yang dipunyai jurnalis sesungguhnya tidaklah berupa licentia yang
otonom, melainkan untuk memenuhi hak yang bersifat azasi dari manusia.
Karenanya dalam peradaban modern, fungsi imperatif profesi jurnalisme bertolak
dari dorongan filosofis yang bersifat fundamental ini (lihat: Hardjowirogo,
1984; Nickel, 1987).
Karananya kebebasan pers hanya bermakna
jika berkait dengan salah satu dimensi hak azasi manusia, yaitu hak manusia
untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Untuk itu basis dari keberadaan
profesi jurnalisme dan kebebasan pers, tidak dapat dipisahkan sebagai bagian
dari norma kehidupan umat manusia pada abad 20 ini.
Bertolak dari norma inilah peradaban
dunia dibangun, setelah berakhir Perang Dunia II yang telah memporak-porandakan
kehidupan umat manusia di satu pihak, tetapi sekaligus memberi peluang bagi
kebebasan sejumlah bangsa yang diperbudak oleh negara asing. Abad 21 akan
dimasuki dengan fundamen norma sosial yang berasal dari akhir PD II tersebut.
Pelajaran tentang etika profesi
jurnalisme tidak dapat dilepaskan dari pemahaman atas sejumlah norma yang
terkandung mulai dari United Nation (UN) Charter (Piagam PBB) yang
dilahirkan tahun 1945. Jika UN Charter berkaitan dengan kesepakatan atas
keberadaan negara-negara bebas dalam perdamaian, disusul kemudian dengan UN
Declaration of Human Rights yang dikeluarkan tahun 1948 yang menjamin hak
azasi manusia. Dan kemudian penjabaran hak azasi yang lebih spesifik dengan
hak-hak dalam UN Convenant on Civil and Political Rights pada tahun
1966.
Sebagai bangsa beradab, sudah barang
tentu setiap negara yang menyatakan diri sebagai anggota PBB, setelah ikut
menandatangani setiap deklarasi maupun covenant yang disepakati, akan mengakui
dan menghormati norma sosial tersebut.
Tetapi sikap dalam menghadapi norma ini
kadang mendua, di satu pihak mengakuinya, tetapi masih diikuti dengan catatan
yang berdalih. Dalih bahwa setiap bangsa memiliki normanya sendiri, sering
diajukan untuk mengabaikan norma yang dicita-citakan sebagai landasan bersifat
universal.
Perbedaan nilai yang terkandung dalam
norma yang dinyatakan sebagai kesepakatan antar bangsa, dengan norma lokal dari
suatu bangsa, perlu dijadikan titik tolak dalam mempelajari etika sosial maupun
etika profesi. Kandungan nilai kejahiliyahan dan keutamaan dari suatu norma
agaknya dapat dijadikan dasar dalam menilai kebaikan norma yang ada, yang
bersifat normatif absolut maupun deskriptif relatif.
Kemudian adanya bahwa
norma profesi jurnalisme di Indonesia harus berdasarkan norma sosial yang
dianut secara khas oleh bangsa Indonesia, karenanya memiliki ciri khas sebagai
Jurnalisme Pancasila atau Pers Pancasila.
Fungsi imperatif pers Indonesia yang
dibentuk oleh norma sosial Pancasila tentunya dapat menjadi dasar kurikulum
dalam mempelajari etika profesi jurnalisme di Indonesia. Norma ini dapat
dipandang bersifat normatif absolut. Untuk itu perlu dilihat tafsir mengenai
HAM dalam norma sosial ini, mengingat nilai inilah yang menjadi dasar dalam
fungsi imperatif profesi jurnalisme.
Selain sumber nilai yang bersifat lokal
dan spesifik bagi bangsa Indonesia, keberadaan profesi jurnalisme dapat pula
dipelajari dari sumber nilai yang diterima dalam pergaulan antar bangsa sebagaimana yang termaktub dalam deklarasi HAM PBB Pasal
19 dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik, pasal 19.
Kata kunci dalam seluruh persoalan media
adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki pendapat secara bebas. Untuk
membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta – fakta yang selengkap mungkin.
Dari sini diperlukan media komunikasi yang bebas, yang dapat menyampaikan
informasi secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah untuk mendapatkan
fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi warga
masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
Kebebasan pers yang menjadi landasan
bagi profesi jurnalisme, tak lain sebagai bagian dari HAM warga masyarakat
untuk menilai fakta dan membentuk pendapat secara bebas. Dari sini lahir suatu
norma yang sangat menabukan ijin publikasi, pembredelan, sensor dan
pemonopolian sumber dan informasi yang dilakukan penguasa atas media dan
informasi.
Penabuan ini bukan untuk melindungi
profesi media, sebab dia hanya menjalankan fungsi imperatif dari hak warga
masyarakat. Ijin
publikasi, pembredelan, sensor dan monopoli adalah empat tingkatan yang berasal
dari kekuasaan negara maupun pemodal
yang mengabaikan HAM warga masyarakat dalam memperoleh informasi dan membentuk
pendapat. Ada tindakan itu sepenuhnya bersifat sepihak dari penguasa, ada yang
berupa kolaborasi dengan pekerja media jurnalisme.
Ijin publikasi merupakan tindakan
preventif yang menghalangi mekanisne penyampaian informasi dalam masyarakat.
Dengan ijin publikasi ini penguasa negara menentukan siapa tidak dan boleh
menyampaikan informasi. Hak untuk menyelenggaarakan publikasi tidak melekat
kepada pengelola media, melainkan kepada warga masyarakat. Dengan ijin
publikasi, negara
dapat melakukan diskriminasi dalam menentukan siapa yang boleh menyelenggarakan
pengolahan dan penyampaian informasi.
Sementara pemberedelan
berupa pelarangan penyelenggaraan publikasi di tengah warga masyarakat,
selamanya berkaitan dengan tindakan pertama. Masalah ini sangat serius
dipandang dalam pergaulan internasional, karena sekaligus menunjukkan bahwa di
lingkungan negara yang bersangkutan masih ada ijin publikasi. Dengan demikian
setiap kali terjadi pembredelan, masyarakat dunia khususnya pengamat HAM
diingatkan akan adanya ijin publikasi di negara tersebut.
Lebih jauh lagi, sensor merupakan
tindakan penguasa negara dengan menghalangi warganya untuk mendapatkan media
secara keseluruhan, atau bagian tertentu dari media (edisi atau informasi). Misalnya, tindakan pemerintah
Singapura yang membatasi tiras majalah LN yang dapat masuk ke negara ini, atau
tindakan Kejaksaan Agung menghitami bagian tertentu dari majalah LN, merupakan
pelanggaran HAM. Sensor hanya dimungkinkan untuk informasi yang merusak moral
sosial, semacam pornografi. Sementara informasi politik, secara internasional
diasumsikan tidak berkaitan dengan moral sosial.
Tindakan keempat dipandang lebih sulit
diidentifikasi yaitu monopoli media dan informasi. Ini dapat datang dari
kekuasaan negara dan modal. Penguasaan atas media mewujud melalui
terkonsentrasinya media pada kekuasaan tertentu, sehingga tidak menungkinkan
diversifikasi pemilikan media. Tindakan ini lebih buruk lagi jika berakumulasi
dengan tindakan pertama.
Monopoli dapat pula terjadi pada tingkat
informasi, yaitu kecenderungan jurnalis untuk menggunakan sumber-sumber yang
spesifik akibat kepentingan politik atau ekonomi. Pada media siaran, bisa
terjadi berupa pemonopilian jam siaran oleh kekuatan modal. Itu sebabnya dalam
etika siaran radio Amerika Serikat, ada batasan bagi sponsor tunggal.[12]
Ilustrasi di atas sekadar mengingatkan
betapa masalah menopoli media dan informasi dapat terjadi dalam berbagai
bentuk. Sensitivitas pengelola media dalam menghadapi praktek monopoli, baik
yang terjadi karena faktor eksternal dari kekuasaan negara dan modal maupun
internal dari media sendiri merupakan bagian kesadaran etis yang sangat
diperlukan.
Dengan adanya landasan moral yang
berorientasi kepada HAM, jurnalis menjaga kepercayaan warga masyarakat.
Jurnalis berkewajiban untuk memenuhi hak warga masyarakat, dan agar dapat
menjalankan kewajibannya inilah dikenal pengakuan akan kebebasan pers.
Artinya, kebebasan pers bukan hak bagi
jurnalis, tetapi kewajibannya untuk menyelenggarakan jurnalisme untuk memenuhi
HAM sebagai tercantum dalam deklarasi universal hak azasi manusia.
Sering terdengar sebuah pertanyaan retoris,
terutama dari penguasa. Kalau
ada hak azasi, mengapa tidak dibicarakan kewajiban (tanggungjawab) azasi ?. Retorika semacam ini
sangat lazim keluar dari penguasa fasis. Peradaban abad modern, hanya mengenal
Hak Azasi Manusia. Tidak ada Kewajiban Azasi Manusia.
Ini sama halnya dengan Hak Hidup bagi
janin dalam kandungan maupun sesudah lahir, dia memiliki Hak Azasi, tidak ada
kewajiban azasinya. Sebaliknya, peradaban modern mengharuskan adanya sistem
yang memiliki kewajiban (tanggungjawab) untuk menjaga dan menghormati HAM-nya
si janin.
Untuk HAM yang menyentuh media dan
informasi, demikian pula adanya. Setiap penguasa negara yang ikut
menandatangani setiap deklarasi HAM, dengan sendirinya harus mengadakan sistem
yang berkewajiban untuk menjamin terjaga dan terpeliharanya HAM tersebut.
Kalau ingin menegakkan norma deskriptif
relatif yang jahilyah, tidak perlu berlindung di balik kepentingan nasional.
Tidak perlu munafik, seolah-olah menerima HAM, tapi masih diembel-embeli dengan
kepentingan nasional, yang notabene sesungguhnya lebih kepada kepentingan
penguasa.
Dari kerangka pemikiran ini maka
penyelenggaraan media massa merupakan bagian dari sistem yang berkewajiban atau
bertanggungjawab dalam melaksanakan HAM di bidang informasi. Tanggungjawab
jurnalis dimulai saat menghadapi fakta, sampai menyampaikan informasi.
Tanggungjawab ini dalam dua dimensi, etis dan yuridis. Karenanya menerima peran
sebagai jurnalis, pada dasarnya siap menerima tanggungjawab dalam menegakkan
HAM-nya warga masyarakat.
Kesimpulan dan Saran
A.
Kesimpulan
Dilema perlindungan kebebasan pers sebagai bagian dari
HAM di Indonesia dapat dilihat dari beberapa
periode sebagai berikut :
1.
Periode 1945 – 1950
Periode
ini pers berperan sebagai alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pasca teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam
berbagai bidang kehidupan masyarakat, diantaranya pers dan yang diperebutkan
itu adalah peralatan percetakan.
Pada
September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat. Hal itu ditandai dengan
mulai beredarnya koran Soeara Merdeka
(Bandung), Berita Indonesia
(Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta
Indonesia, dan The Voice of Free
Indonesia.
2.
Periode 1950 – 1960.
Pada
masa ini pers dijadikan sebagai alat propaganda untuk kepentingan partai
politik (Parpol) atau dengan sebutan lain pers partisan. Dengan menganut sistem
pemerintahan parlementer dan menjunjung demokrasi liberal, maka membidani
lahirnya banyak Parpol. Eksistensi parpol menjadi taruhan dan banyak Parpol
membidani lahirnya media sebagai corong mereka.
3.
Periode 1970.
Masa
ini, Orde baru mulai berkuasa. Pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi.
Pemerintah Soeharto mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan
partai-partai politik menjadi tiga, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Berlakunya
aturan itu pada tahun 1973, berdampak terputusnya hubungan Parpol dan
organisasi massa (Ormas) dengan pers sehingga pers tidak lagi mendapat suntikan
dana dari Parpol.
4.
Periode 1980.
Periode
ini pers semakin mendapat tekanan dari pemerintah Soeharto. Pers yang
mengkritisi pembangunan dianggap melawan pemerintah. Dampaknya, izin penerbitannya akan dibekukan. Hal itu
tergambar dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984
tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
5.
Periode 1990.
Periode
ini, pers melakukan perlawan terhadap pemerintahan Soeharto. Pers mulai berani
menentang pemerintah. Banyak media mengkritisi kebijakan Orde Baru. Lantaran
dianggap menentang pemerintah, akibatnya, ditahun 1994, tiga majalah mingguan,
diantaranya Tempo, Detik dan Editor dibredel pemerintah.
6.
Periode Reformasi
(1998/1999) – sekarang
Era
reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Kran kebebasan itu terbuka
di zaman pemerintahan BJ. Habibie. Pemerintah mempermudah pengurusan SIUP.
Sebelumnya, proses pengurusan SIUP ada 16 tahapan, pasca reformasi hanya 3
tahap saja. Bahkan berdasarkan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUP dicabut
dan pembredelan dilarang.
Efek positif, banyak melahirkan media. Negatifnya,
kontrol terhadap kebebasan pers oleh Dewan Pers lemah. Ini dapat dilihat dari
maraknya media bodrex dan lembaga pers yang tidak mampu memenuhi kewajibannya
sebagai lembaga ekonomi.
Disisi lain, kemerdekaan pers tidak sepenuhnya juga
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Faktanya masih terjadi pengekangan dalam
menjalankan kebebasan menjalani tugas jurnalis. Bahkan tidak sedikit pula ditemukan
wartawan yang meninggal dunia ketika tengah menjalankan tugasnya maupun akibat
dari karya yang hasilkan. Dan banyak faktor lainnya.
Sistem pemerintahan presidensil dan multi partai dengan
pola pemilihan umum secara langsung hingga ketingkat kepala daerah membawa
media kearah pragmatis politik dan komersial. Seharusnya dalam perkembangan
filsafat jurnalisme, fungsi imperatif profesi jurnalisme pada era modern,
bertolak dari moral sosial yang mengatasi kepentingan pragmatis. Adapun
landasan moral bagi profesi ini tidak dapat terlepas dari moral sosial yang
melingkupinya.
Penulis sependapat dengan Ashadi Siregar yang menyebutkan
bahwa profesi jurnalisme erat kaitannya dengan hak pihak
lain. Dengan kata lain, keberadaan profesi jurnalisme pada dasarnya bertolak
dari kepentingan pihak lain. Inilah yang menjadi paradigma dari profesi
jurnalisme. Karenanya tindakan profesional seorang jurnalisme sesungguhnya
menjalankan fungsi imperatif yang berasal dari hak dan kepentingan pihak lain.
Pragmatisme
politis mengacu kepada kepentingan penguasa politik. Pragmatisme komersial akan
menunjuk kepada kepentingan kekuatan modal baik dunia industri maupun
perusahaan media. Etika sebagai landasan moral tentunya tidak akan berurusan
dengan kerangka pragmatisme semacam ini.
Perjalanan
dalam sejarah profesi jurnalisme menunjukkan bahwa berkembang dari yang
sifatnya yang pragmatis kepada landasan moral yang semakin filosofis. Profesi jurnalisme
diperkembangkan, dengan landasan filosofisnya. Sehingga jurnalis tidak lagi
hanya semacam hamba sahaya yang mengabdi kepada tuannya dalam mencatat isi acta
diuarna, begitu pula bukan hanya sekadar jurutulis pedagang kaya di Eropa.
Fungsi
imperatif yang melekat pada profesi jurnalisme tidak mungkin hilang. Masalahnya hanya
memilih sumber acuan dari fungsi tersebut. Dapat berupa acuan kepentingan
pragmatisme politis atau komersial seperti pada masa lalu. Tetapi dengan
perkembangan filsafat jurnalisme, fungsi imperatif profesi jurnalisme pada era
modern, bertolak dari moral sosial yang mengatasi kepentingan pragmatis. Adapun
landasan moral bagi profesi ini tidak dapat terlepas dari moral sosial yang melingkupinya.
Pembicaraan
tentang moral sosial biasanya mengarah pada dua aspek, apakah moral deskriptif
yang bersifat relatif ataukah moral normatif yang bersifat absolut. Antara
moral deskriptif relatif dengan normatif absolut dapat saja berbeda. Tetapi dalam
sejarah peradaban manusia, setiap kali nilai lokal dijadikan dasar untuk
menentang nilai normatif absolut, selalu dapat dilihat posisi inferior dari
nilai deskriptif relatif tersebut. Sifat kejahiliyahan terkandung dalam norma
deskriptif relatif manakala dihadapkan dengan norma normatif absolut.
Moral
sosial yang menjadi acuan moral profesi jurnalisme adalah penghargaan atas hak HAM. Fungsi imperatif dari profesi jurnalisme adalah untuk memenuhi
moral sosial ini. Dengan kata lain, hak yang dipunyai jurnalis sesungguhnya
tidaklah berupa licentia yang otonom, melainkan untuk memenuhi hak yang
bersifat azasi dari manusia. Karenanya dalam peradaban modern, fungsi imperatif
profesi jurnalisme bertolak dari dorongan filosofis yang bersifat fundamental
ini
Karananya
kebebasan pers hanya bermakna jika berkait dengan salah satu dimensi hak azasi
manusia, yaitu hak manusia untuk membentuk pendapatnya secara bebas. Untuk itu
basis dari keberadaan profesi jurnalisme dan kebebasan pers, tidak dapat
dipisahkan sebagai bagian dari norma kehidupan umat manusia pada abad 20 ini.
Kemudian adanya bahwa norma
profesi jurnalisme di Indonesia harus berdasarkan norma sosial yang dianut
secara khas oleh bangsa Indonesia, karenanya memiliki ciri khas sebagai
Jurnalisme Pancasila atau Pers Pancasila.
Fungsi
imperatif pers Indonesia yang dibentuk oleh norma sosial Pancasila tentunya
dapat menjadi dasar kurikulum dalam mempelajari etika profesi jurnalisme di
Indonesia. Norma ini dapat dipandang bersifat normatif absolut. Untuk itu perlu
dilihat tafsir mengenai HAM dalam norma sosial ini, mengingat nilai inilah yang
menjadi dasar dalam fungsi imperatif profesi jurnalisme.
Selain
sumber nilai yang bersifat lokal dan spesifik bagi bangsa Indonesia, keberadaan
profesi jurnalisme dapat pula dipelajari dari sumber nilai yang diterima dalam
pergaulan antar bangsa sebagaimana yang
termaktub dalam deklarasi HAM PBB Pasal 19 dan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, pasal 19.
Kata
kunci dalam seluruh persoalan media adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki
pendapat secara bebas. Untuk membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta –
fakta yang selengkap mungkin. Dari sini diperlukan media komunikasi yang bebas,
yang dapat menyampaikan informasi secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah
untuk mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan
bagi warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
Dengan
adanya landasan moral yang berorientasi kepada HAM, jurnalis menjaga
kepercayaan warga masyarakat. Jurnalis berkewajiban untuk memenuhi hak warga
masyarakat, dan agar dapat menjalankan kewajibannya inilah dikenal pengakuan
akan kebebasan pers.
Artinya,
kebebasan pers bukan hak bagi jurnalis, tetapi kewajibannya untuk
menyelenggarakan jurnalisme untuk memenuhi HAM sebagai tercantum dalam
deklarasi universal hak azasi manusia.
Dari
kerangka pemikiran ini maka penyelenggaraan media massa merupakan bagian dari
sistem yang berkewajiban atau bertanggungjawab dalam melaksanakan HAM di bidang
informasi. Tanggungjawab jurnalis dimulai saat menghadapi fakta, sampai
menyampaikan informasi. Tanggungjawab ini dalam dua dimensi, etis dan yuridis.
Karenanya menerima peran sebagai jurnalis, pada dasarnya siap menerima
tanggungjawab dalam menegakkan HAM-nya warga masyarakat.
B.
Saran
1.
Norma
yang terkandung mulai dari United Nation (UN) Charter (Piagam PBB) yang
dilahirkan tahun 1945, disusul kemudian dengan UN Declaration of Human
Rights yang dikeluarkan tahun 1948 yang menjamin hak azasi manusia. Dan
kemudian penjabaran hak azasi yang lebih spesifik dengan hak-hak dalam UN
Convenant on Civil and Political Rights pada tahun 1966, sudah seharusnya negara dan semua pihak wajib
menghormati kemerdekaan pers sebagai bagian dari HAM.
2.
Implementasi
pelaksanaan perlindungan kebebasan Pers yang telah diadobsi dalam Pasal 28F Undang
– undang Dasar 1945 dan dikuatkan dengan Undang – undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers kerap tidak sesuai dengan semangat yang diharapkan. Negara sebagai
penjamin kebebasan pers sebagai bagian dari HAM harus kembali menegaskan
posisinya sebagai mitra – bagian dari empat pilar demokrasi – bukan sebagai
penguasa.
3.
Perlu adanya
perevisian Undang - undang nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers terkait peran Dewan Pers, lembaga / perusahaan pers,
dan kegiatan jurnalis yang layak dilindungi serta sanksi yang lebih berat bagi
pihak – pihak yang melanggar ketentuan itu.
4.
Kemudian, perlu
dibuat klasifikasi yang jelas terkait status lembaga / perusahaan pers dan
kegiatan jurnalistik yang patut dilindungi undang – undang pers sehingga dapat
meminimalisir keberadaan media atau wartawan bodrex yang selama ini sangat
menganggu, bertindak diluar etika profesi jurnalistik dan memanfaatkan
kebebasan pers untuk kepentingan pribadi / kelompoknya.
5. Perlu dibuatkan sanksi yang keras bagi pejabat negara,
aparat dan lain – lainnya, yang sengaja melakukan tindakan kekerasan atau
merampas kebebasan pers dalam bentuk lain, baik kepada lembaga pers maupun
wartawannya. Begitu juga upaya yang membatasi hak untuk mendapatkan informasi, berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
6.
Perlu adanya
pembinaan secara berkala baik dari Dewan Pers maupun perusahaan pers terhadap
insan pers yang bernaung didalamnya dengan tujuan agar kegiatan jurnalistik
dilakukan dengan menghormati dan menjunjung etika profesi jurnalistik. Karena seluruh
persoalan media adalah HAM warga masyarakat untuk memiliki pendapat secara
bebas. Untuk membentuk pendapatnya, diperlukan adanya fakta – fakta yang
selengkap mungkin. Dari sini diperlukan media komunikasi yang bebas, yang dapat
menyampaikan informasi secara beragam. Kebebasan jurnalisme adalah untuk
mendapatkan fakta-fakta selengkap-lengkapnya, agar dapat dijadikan bahan bagi
warga masyarakat untuk membentuk pendapatnya.
7.
Perlu adanya
penanam nilai – nilai yang menjadi landasan moral
yang berorientasi kepada HAM, jurnalis menjaga kepercayaan warga masyarakat.
Jurnalis berkewajiban untuk memenuhi hak warga masyarakat, dan agar dapat
menjalankan kewajibannya inilah dikenal pengakuan akan kebebasan pers. Artinya, kebebasan pers
bukan hak bagi jurnalis, tetapi kewajibannya untuk menyelenggarakan jurnalisme
untuk memenuhi HAM sebagai tercantum dalam deklarasi universal hak azasi
manusia.
8.
Penyelenggaraan
media massa merupakan bagian dari sistem yang berkewajiban atau
bertanggungjawab dalam melaksanakan HAM di bidang informasi. Tanggungjawab
jurnalis dimulai saat menghadapi fakta, sampai menyampaikan informasi.
Tanggungjawab ini dalam dua dimensi, etis dan yuridis. Karenanya menerima peran
sebagai jurnalis, pada dasarnya siap menerima tanggungjawab dalam menegakkan
HAM-nya warga masyarakat.
Daftar pustaka
Anonim,
Undang – undang Dasar 1945, Jakarta,
Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------,
Undang – undang No. 40 Tahun 1999 tentang
Pers, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------,
Peraturan Dewan Pers No. 3 / Peraturan –
DP / III / 2008 tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers, Jakarta,
Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------,
Peraturan Dewan Pers No 6 / Peraturan –
DP / V / 2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers No. 03 / SK – DP /
III / 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo
dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------, Piagam Palembang tentang Kesepakatan
Perusahaan Pers Nasional, Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan
Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
----------,
Panduan Jurnalistik Praktis, Mendalami
Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers, Jakarta,
Jakarta, Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, 2010
A.M.
Dewabrata, Kalimat Jurnalistik, Panduan
Mencermati Penulisan Berita, Jakarta, Kompas
Suranto,
Hanif, et.al, Pers Indonesia Pasca
Suharto¸ Jakarta, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Aliansi Jurnalistik
Indonesia, 1999,
Hanif
Hoesin, balitbang.depkominfo.go.id
Ashadi Siregar, Prospek Perkembangan Pers Dalam Perkembangan Demokrasi, ashadisiregar.files.wordpress.com/.../kebebasan-pers-pengembangan-demokrasi.pdf
Ashadi Siregar, Kebebasan Pers dan Pengembangan Demokrasi, ashadisiregar.files.wordpress.com/.../kebebasan-pers-pengembangan-demokrasi.pdf
Ashadi
Siregar, Makalah disampaikan dihadapan Dewan Pers, Departemen Penerangan RI,
Yogyakarta, 26 Mei 1999.
[1] Lihat Panduan Jurnalistik Praktis, Mendalami Penulisan Berita
dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers, Lembaga
Pers Dr. Soetomo dan Friedrich-Ebert-Stiftung, Jakarta, 2010, Hal 5.
[7] Asmadi
Siregar, dalam makalahnya yang disampaikan pada Sidang Dewan Pers , Departemen Penerangan
RI, Yogyakarta 26 Mei 1999.
[9] A. M.
Dewabrata, Kalimat Jurnalistik – Panduan Mencermati Penulisan Berita, Kompas
Media Nusantara, Jakarta 2004, Hal ix.
[12] Ashadi Siregar, loc cit.
isi blognya sangat bermanfaat sekali kak
BalasHapusjual excavator bekas murah